Selasa, 14 Juni 2011

Sebuah catatan di tepian tiga bulan...

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4


Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri.

Sejatinya setiap orang sudah dilengkapi dengan kuas dan catnya masing-masing. Ada yang menorehkan warna-warna menyala teramat dinamis. Namun ada pula yang memulaskan warna-warna pastel yang teduh nan tentram. Ada yang menyapukan warna-warna gelap nan suram. Ada yang membubuhkan warn-warna terang yang jenaka. Semuanya indah. Semunya baik. Dalam spektrum aneka warna itulah kita bisa meletakkan judul “HARMONIS”.Tetapi tak semua sanggup menampilkan warnanya dalam porsinya masing-masing. Tidak semua mau mengungkapkan warnanya dengan campuran kadar warna yang sama sehingga tiadalah yang menonjol atau terabaikan. Sebagian besar orang ingin warnanya yang paling menonjol. Paling menarik. Dan kemudian paling dikagumi.

Tidaklah mudah menciptakan sebuah spektrum warna yang harmonis baik kadar maupun kompisisinya. Diperlukan sebentuk kerendahan hati untuk mau mengatur kadar warna sehingga tidak akan menutupi keteduhan, kejenakaan, kesuraman warna yang lain. Diperlukan sebentuk kerendahan hati untuk merelakan warna-warna lain juga tampil bersama-sama dengan kita. Diperlukan sebentuk kerendahan hati untuk mau diproses sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat tampil memukau sebagaimana adanya. Dan nyatanya walaupun sebentuk, kerendahan hati adalah barang yang mahal dan sulit dilakukan tapi bukan sesuatu yang mustahil.

Selama 3 bulan belajar bersama dengan para aktivis, jemaat, majelis jemaat dan para hamba Tuhan serta karyawan di GKI Darmo Satelit saya belajar banyak akan arti sebuah kerendahan hati. Kerendahan hati tidaklah sama dengan rendah diri. Di dalam kerendahan hati ada tiga hal yang setidaknya saya alami:

Pertama, belajar hidup mau dipimpin oleh skenario Tuhan. Pertanyaan yang mengudara ketika saya menghadapi atau menjalani sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspetasi saya, tidak sesuai dengan rencana saya, adalah “WHY?”, “WHY ME?”! “Mengapa Tuhan?”, “Mengapa harus aku?”. Pertanyaan ini lebih kepada konfirmasi kepada Dia yang mengatur skenario yang terbaik buat hidup manusia. Lama tak ada jawaban. Kadangkala sampai berminggu-minggu. Lalu setelah saya mulai melupakan pertanyaan itu, justru jawabannya muncul. Tetapi minggu-minggu di mana saya terus bertanya-tanya mengapa begini dan mengapa begitu itulah yang justru melatih saya untuk mau hidup di pimpin oleh skenario Tuhan. Tidak selamanya skenario karangan saya itu bisa dipentaskan dalam panggung kehidupan saya. Adakalanya Dia memiliki pertimbangan yang berbeda sehingga beberapa scene dalam hidup saya bisa berubah dengan sangat menakjubkan. Jujur saja awalnya ada rasa tidak mampu menerima, protes, ngambek, uring-uringan. Namun belakangan saya mulai mengamat-amati bahwa barangkali sudah terlalu lama saya merasa pegang kendali atas hidup saya. Ada waktu dimana saya mengemudikan hidup saya sendiri, ada kalanya saya harus mengatakan, “Jesus take the wheel, take it from my hands, cause I can’t do this on my own, I’m letting go, so give me one more chance, save me from this road I’m on, Jesus take the wheel” (lagu yang dipopulerkan oleh pemenang American Idols yang kemudian beralih genre ke musik country). Dan memang benar, untuk bisa menyerahkan kemudi itu pada Dia, dibutuhkan kerendahan hati. Mendidik atau melatih hati kita supaya tunduk pada Dia, sangatlah sulit sebab seringkali kita merasa diri mampu, bisa sehingga tidak lagi butuh siapa-siapa bahkan Tuhan. Dan cara Tuhan melatih hati saya untuk mau rendah hati adalah melalui serangakaian peristiwa yang kemudian saya anggap sebagai modul latihan.

Kedua, belajar dari orang-orang di sekitar saya. Di bagian pertama saya katakan kalau dalam latihan rendah hati itu, Tuhan justru mengirimkan kepada saya orang-orang yang sulit, orang-orang dengan karakter yang kompleks, orang-orang yang over sensitive bahkan orang-orang yang mau menjalankan pelayanan dengan gaya dan aturan yang dibuatnya sendiri (entah orang lain suka atau tidak, tapi begitulah gaya pelayanan yang ditampilkan). Saya sempat mengajukan protes lagi kepada Dia, “Why, Why I have to meet these people? Why? Gak ada orang laen lagi apa? Tetapi jawaban-Nya sangat mengejutkan. Kalau mau belajar rendah hati, maka saya harus mau berhadapan dengan mereka-mereka yang saya anggap memiliki karakter yang susahnya bukan kepalang. Kalau belajar rendah hati maka saya harus mau berelasi dengan mereka yang semaunya sendiri. Sama halnya ketika saya mau belajar sabar, maka seketika itu juga Dia mendatangkan serentetan peristiwa yang meguji batas kesabaran saya sampai di level mana. Saya belajar menjadi diri saya dan memberikan apa saya mampu, melakukan apa yang saya bisa sesuai dengan kemampuan saya. Kalau saya hanyalah jalan kecil, biarlah jalan kecil ini bisa menghantar ke mata air atau ke jalan besar. Kalau saya hanya ilalang, biarlah saya boleh memperkuat tanggul. Pendek kata, biarpun saya tak sehebat si Anu, si Inu, dan si Una atau si Uni, tak apa, saya bisa menjadi saya semampu saya, dan sebaik-baiknya saya. Apakah saya menyesal pernah mengatakan ingin belajar rendah hati? Oh tidak. Saya tidak menyesal. Saya merasa “kok gini sich Tuhan?” memang iya, tetapi saya tidak menyesal dipertemukan dengan suatu konteks yang berbeda dari apa yang biasa saya hadapi. Mengapa? Sebab saya tahu value di balik semua perjumpaan dengan berbagai peristiwa dan orang yang menguras habis energi saya untuk mau belajar hidup rendah hati. Harga yang harus dibayar untuk ini semua bagi saya tidaklah murah. Dan justru di GKI Darmo Satelit-lah saya belajar banyak mengenai kerendahan hati. Sungguh kesempatan dan modul yang mungkin tidak akan saya temui di konteks gereja yang lain. Dan untuk kesempatan 3 bulan ini, saya ucapkan terimakasih banyak sudah turut memproses saya.

Refleksi singkat ini barangkali menjadi semacam kristalisasi perjalanan pelayanan dan kebersamaan saya bersama dengan para aktivis, jemaat, majelis jemaat dan para hamba Tuhan serta karyawan GKI Darmo Satelit. Gereja yang memiliki potensi manusia-manusia yang luar biasa di dukung dengan kemampuan olah finansial yang mumpuni, maka menimba pengalaman di GKI Darmo Satelit adalah kesempatan berharga yang harus disyukuri. Di dalam refleksi singkat nan sederhana ini saya menghaturkan terimakasih sedalam-dalamnya untuk setiap kebaikan hati dari para aktivis, jemaat, majelis jemaat dan para hamba Tuhan serta karyawan di GKI Darmo Satelit serta permohonan maaf jika ada tutur kata ataupun tindakan saya yang tidak berkenan di hati para aktivis, jemaat, majelis jemaat, para hamba Tuhan dan karyawan di GKI Darmo Satelit.

 

 

Y.Defrita R.

Darmo Satelit, medio Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar