Senin, 31 Januari 2011

Menemukan sesuatu dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta

Hari jum'at sore tanggal 28 Januari 2011 saya dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta seusai mengikuti percakapan dengan KKSW GKI SW Jatim dan BPMSW GKI SW Jatim, saya bersama dengan dua orang adik tingkat saya memilih naik bis EKA dengan harapan dapat tiba di Yogyakarta lebih awal sehingga masih ada banyak waktu untuk meluruskan punggung yang sudah remuk ini. Seperti biasa, bis EKA akan berhenti di daerah Caruban,lebih tepatnya di salah satu restauran yang nampaknya ada kerja sama dengan bis EKA. Jam 20.30 saya dan kedua adik tingkat saya makan malam di restauran yang bernama DUTA. Jangan dibayangkan makanan yang kami santap ini benar-benar makanan a la resaturan. Sungguh jauh panggang dari api, begitu kata pepatah. Makanan yang disajikan: ayam bakar (yang sudah dingin-berdasarkan penuturan salah seorang pelayan yang dengan jujur menjawab demikian ketika saya tanya), nasi pecel (lagi-lagi dengan jujur pelayan tersebut mengatakan bahwa nasi pecelnya itu tanpa telor ceplok atau tempe, ya benar-benar nasi dan pecel), bakso (yang niscaya akan membuat anda hipertensi karena terlalu asin, gado-gado, rawon dan soto ayam (nah, ini yang agak lumayan bisa diterima lidah). Yah, tentu saja tidak adil rasanya protes soal makanan dengan harga tiket yang cuma 63 ribu rupiah dikurangi 7 ribu rupiah untuk jatah makan dan minum.
Selepas badan diberi makanan yang ala kadarnya namun patut disyukuri, bis melaju melewati jalur berkelok-kelok dan menanjak dan tentu saja pemandangan di kanan kiri hanyalah pepohonan, maklum ini kan perkebunan milik negara. Sungguh bukan kali pertama ini saya melewati jalanan ini entah siang, pagi, ataupun malam, bahkan sore. Tetapi baru kali ini saya mengamati jalanan aspal yang lumayan bagus walau konon sudah merenggut banyak korban kecelakaan termasuk suami artis Widyowati itu. Tepat di tengah jalan aspal itu ada semacam gundukan kecil yang akan menyala jika lampu mobil mengenainya. Tentu saja jangkauan sinar lampu bis ini membuat pemandangan kelip-kelap kecil di tengah jalan itu menjadi sangat indah. Seolah-olah memandu bus untuk tetap di jalannya walaupun gelap di sekitar dan tidak ada lampu jalan. Bagi siapapun yang menciptakan benda kecil menyala itu saya sungguh sangat berterimakasih.
Tepat ketika saya masih takjub mengamati benda kecil yang menyala itu saya melihat gambaran diri saya. Lho, apa hubungannya? begini, setelah tanggal 21 Desember 2010 kemarin saya dinyatakan lulus dan diberi gelar Sarjana Sains Teologi dari Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, saya merasa senang. Senang karena perjuangan menyerap ilmu dan pengalaman selama 5 tahun di kampus ini sudah selesai. Tapi selain senang, saya juga merasa bingung, bingung yang mendekati kuatir. Saya sampai pada pertanyaan, "Udah lulus terus mau ke mana? mau apa?" serba tidak jelas, walaupun bagi sebagian teman-teman saya, jalan yang akan saya tempuh itu jelas. Tetapi apa yang mereka katakan jelas sekalipun masih melahirkan ketidapastian yang menimbulkan ketakutan.
Persis seperti sopir bis EKA yang sudah ribuan bahkan ratusan juta kali paham jalur Yogya-Surabaya dan sebaliknya pasti melewati Caruban dan kelokan hutan-hutan itu. Tapi tokh demikian tidak ada yang menjaminkan bahwa akan selamat sampai di kota tujuan. Maka keberadaan benda kecil dengan kelip-kelapnya itu sungguh membantu. Walaupun mungkin pak sopir hapal mati jalur dan aneka kelokan dan tanjakan bahkan jalan curam di perbatasan Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah ini namun keberadaan benda kecil menyala itu tidak dapat diabaikan. Dengan melihat jalur benda kecil yang menyala itu, setidak-tidaknya pak sopir tidak keluar marka jalan, tidak bablas masuk hutan atau jurang. Persis seperti sopir bis EKA, barangkali saya sudah tahu step by step yang akan saya lalui, tetapi sungguhpun demikian, saya membutuhkan benda kecil dengan kelip-kelapnya yang memandu saya. Saya tidak mampu berjalan sendiri melewati setiap kelokan, tanjakan dan jalan menurun yang curam. Tidak...saya tidak mampu melakukannya seorang diri. Pada titik itulah saya memutuskan "MENYERAH". Menyerah agar dipandu oleh iman saya. Menyerah agar dibawa melewati setiap tanjakan, kelokan, dan jalan menurun.

Dan, iman itulah yang mampu membuat saya tetap berjalan di jalur yang harus saya lalui, walaupun mungkin iman yang memandu itu hanya kelap kelip kecil, namun ia ada untuk memandu saya...




Yogyakarta, 2011
Defrita Rufikasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar