Rabu, 13 Juli 2011

Menerima dan merawat

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4


 

Suatu ketika saat sedang menanti ibadah di mulai, saya duduk bersama dengan sekelompok ibu-ibu yang sedang asyik berbincang-bincang. Awalnya saya tidak memperhatikan apa yang sedang mereka bicarakan. Namun tiba-tiba ada topik menarik yang membuat saya menyimak obrolan mereka. Ibu A, “Opo’o yo aku ne wes metu gerejo, lali mau pendetane iki ngomong opo. Pas ibadah yo mudeng, metu yo lali.” Ibu B menimpali, “Hahahaha…ne bojoku lain neh jeng, pendetane kotbah, de’e turu. Nggak ngrungokne blas. Je mending sampeyan, ngrungokne, tapi lali hehehee…”. Ibu C berkomentar, “wah-wah, sampeyan iku kena ingatan jangka pendek, pas nggon gereja eling, tapi pas metu lali…memori terbatas yo hahahhahaa.” Apa yang dibicarakan oleh ibu-ibu ini setidaknya pernah kita alami. Kita mendengarkan pengkotbah menyampaikan Firman Tuhan, mengangguk-angguk mengerti, tersenyum, tetapi begitu melewati pintu gereja, kita benar-benar lupa pengkotbah tadi bicara apa. Naasnya seringkali yang menancap di pikiran kita adalah dagelan yang dilontarkan si pengkotbah. Bahkan kadang yang diingat hanya asal gereja si pengkotbah kalau kebetulan dia dari luar daerah atau namanya saja.

Kali ini kita akan bersama-sama merenungkan perumpaan Tuhan Yesus tentang seorang penabur yang kemudian ditulis oleh Matius dan disampaikan kepada jemaatnya. Pdt. Andar Ismail mengusulkan agar ketika kita membaca perumpamaan di dalam Alkitab, kita membacanya lewat kacamata jemaat atau komunitas yang mendengarkan atau membaca perumpamaan itu. Oleh sebab itu kita akan sama-sama melihat situasi dan kondisi yang dialami oleh pembaca tulisan Matius.

Matius menyampaikan tulisannya kepada jemaat yang sedang mengalami beban berat. Matius mengisahkan di dalam Matius 9:35-38 bahwa jemaatnya adalah domba yang lelah dan terlantar. Mereka dikatakan demikian sebab mereka mengalami tekanan yang luar biasa mengancam jemaat ini. Tekanan ini berasal dari penguasa politik dan para imam yang berkuasa pada waktu itu. Belum lagi tekanan ekonomi berupa pajak yang terlampau tinggi yang harus dibayarkan kepada penguasa Roma. Selain itu mereka juga berada di bawah tekanan kelompok Yahudi sebab jemaat Matius yang mengikut Yesus ini tidak diakui keberadaannya sebagai sebuah collegium yaitu kelompok keagamaan yang disahkan keberadaannya oleh penguasa Roma. Dan yang terakhir adalah hancurnya Bait Allah simbol identitas diri mereka. Pada akhirnya semua hal itu membuat mereka lelah dan mempertanyakan kembali iman mereka kepada Yesus.

Menyikapi hal ini Matius mengajak pembacanya dulu dan kini untuk menelaah perumpaan yang disampaikan oleh Yesus. Ada satu fakta penting bahwa benih yang ditabur di pinggir jalan adalah benih yang sama dengan yang ditabur di tanah yang baik. Firman yang disampaikan adalah Firman yang sama namun yang membedakan adalah kualitas hati seseorang saat menerima benih Firman itu. Ada 4 kualitas hati yaitu:

 

 

a)      Mereka yang memiliki hati seperti tanah di pinggir jalan.

Mereka adalah orang-orang yang memiliki karakter gemar mengabaikan dan memandang remeh Firman Tuhan. Orang-orang semacam ini adalah orang-orang ang tidak mau ambil pusing dengan Firman Tuhan yang dibaca dan didengar.

b)      Mereka yang memiliki karakter keras.

Benih Firman itu hanya dapat tumbuh sebentar lalu mati karena yang bersangkutan tidak mau menyingkirkan hatinya yang telah membatu. Tidak ada usaha apapun!

c)      Mereka yang memiliki karakter yang dipenuhi oleh berbagai macam “duri” kepahitan dan “semak-semak” kesusahan hidup.

Sekalipun orang-orang ini menerima Firman namun ia tak akan bertumbuh sebab benih itu selalu dihimpit oleh kepahitan dan kesusahan hidup. Mereka adalah orang-orang yang memandang segala sesuatu dengan negatif sebab duri dan semak kepahitan dan kesusahan hidup membuat mereka menjadi orang yang pesimis, apatis dan tenggelam di dalam kepahitan dan kesusahannya. Sekalipun orang lain berkata bahwa Allah itu baik, orang-orang yang dihimpit oleh duri kepahitan dan semak-semak kesusahan hidup sulit percaya bahwa Allah itu baik dan memelihara anak-anakNya.

d)      Mereka yang memiliki hati terbuka untuk menerima benih Firman Tuhan

Sekalipun di dalam bacaan itu kita mendapat kesan bahwa benih yang jatuh itu langsung berbuah 100 kali lipat, 60 kali lipat dan 30 kali lipat namun kita perlu sadar bahwa menanam di tanah yang baik memang mutlak, namun jika tidak dirawat, kita tidak akan menikmati hasilnya. Tidak saja menerima Firman lalu segalanya akan beres dan kita akan merasakan faedahnya! Tetapi selain di awal dituntut keterbukaan hati, maka yang selanjutnya adalah merawat firman itu.

Kondisi jemaat Matius yang terbeban dengan banyak masalah adalah sebuah keadaan dimana mereka diperhadapkan pada pilihan apakah mereka akan tetap merawat benih Firman yang sudah disemai di hati mereka atau justru sebaliknya tidak peduli, mengeraskan hati, atau tenggelam ke dalam masalah-masalah. Iman tidak tumbuh dalam sehari dua hari, ada proses untuk merawatnya.

Melalui perumpamaan 4 jenis tanah itu Matius hendak menunjukkan respon apa yang seharusnya muncul ketika kita menyambut benih Firman itu sekalipun kita sedang dirundung masalah. Akankah kita hidup sebagai orang-orang yang tidak peduli, keras hati, penuh kepahitan dan tenggelam ke dalam kesusahan hidup atau tetap bertahan merawat benih firman itu sekalipun hidup sarat tantangan?

Bagaimana kita menerima dan merawat benih firman itu akan nampak dari buahnya.Tanaman tidak akan tumbuh baik sekalipun sudah di tanam di tanah yang baik kalau kita tidak membersihkan dari semak-semak, duri, hama, jamur, tidak memberi cukup pupuk dan air maka sia-sia usaha menamam itu.

Benih firma yang sudah disemai dalam hati kita perlu dijaga melalui komunikasi yang rutin dengan Allah dan melakukan instropeksi diri, apakah ada batu-batu yang membuat hati kita keras? Apakah ada duri-duri kepahitan dan semak-semak kesusahan hidup yang menghimpit firman di dalam hati kita? atau justru beban, kesusahan, dan masalah yang kita pikul adalah juga bagian dari proses untuk terus merawat firman sekalipun hidup kian rumit dan sulit, hati kita dapat merasakan kekuatan dari benih firman yang ditanam dan dirawat dalam diri kita yang akan mengubahkan cara pandang kita terhadap beban-beban yang kita pikul…pilihan ada di tangan kita…

 

 

Y. Defrita Rufikasari

Disampaikan dalam kotbah Minggu 10 Juli 2011 di Bajem Pacet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar