Jumat, 12 Juni 2009

YANG DITOLAK MANUSIA, DIRANGKUL YESUS (Markus 2:13-17)

Kalian dengarkan keluhanku
Ebbiet G. Ade

Dari pintu ke pintu ku coba tawarkan nama
demi terhenti tangis anakku dan keluh ibunya
tetapi nampaknya semua mata memandangku curiga
seperti hendak telanjangi dan kuliti jiwaku
apakah buku diri ini harus selalu hitam kelam?
apakah dalam sejarah orang harus jadi pahlawan?
sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum
dengan sinar mataNya yang lebih tajan dari matahari.
ref:
Kemanakah sirnanya nurani embun pagi
yang biasanya ramah kini membakar hati
apakah bila terlanjur salah akan tetap dianggap salah
tak ada waktu lagi benahi diri
tak ada tempat lagi untuk kembali
...
kembali dari keterasingan ke bumi beradab
ternyata lebih menyakitkan dari derita panjang
Tuhan tolonglah batin ini agar tak gelap mata
dan sampaikanlah rasa inginku kembali bersatu

Lagu di atas diputar pada saat Pemahaman Alkitab kemarin. Peserta PA diminta mengapresiasi lagu ini. Berikut beberapa komentar yang dilontarkan peserta PA:
  • Penghakiman manusia seolah-olah berlaku seumur hidup.
  • Sesama manusia seakan-akan tidak memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang memiliki masa lalu kelam.
  • Ada kebijaksanaan yang ditemukan dalam syair lagu ini yaitu, justru orang yang disingkirkan, yang mempunyai masa lalu kelam itu berdoa agar dia tidak ikut-ikutan berbuat jahat, tidak gelap mata, dan tidak mendendam pada mereka yang sudah menyingkirkannya.
PA kali ini memang sengaja dibuka dengan kegiatan mendengarkan dan memaknai lagu dari Ebbiet G. Ade. Menurut peserta PA, mereka banyak menjumpai orang-orang yang diberi stempel tertentu karena masa lalu mereka yang pekat. Fenomena menyingkirkan mereka yang dianggap memiliki masa lalu kelam ini seakan-akan membenarkan pepatah kuna "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya orang". Di satu sisi kita merasa kita akan terpengaruh jika kita bergaul dengan mereka yang memiliki masa lalu kelam. Tetapi di sisi lain, kita melihat sikap Tuhan Yesus yang terbuka terhadap siapa saja bahkan terhadap mereka yang dicap sesat, berdosa dsb.
sekarang mari kita lihat teks Markus 2:13-17
Di dalam teks ini, kita melihat bahwa Yesus berjalan melewati jalan utama seusai mengajar orang banyak. Dia berjalan melewati POS Pemungutan cukai yang dikepalai oleh Matius atau Lewi Anak Alfeus. Lewi atau Matius (untuk selanjutnya disebut Matius saja.) adalah seorang Kepala Pemungut Cukai di distrik Kapernaum (bandingkan dengan Zakheus yang juga seorang Kepala Pemungut Cukai di distrik Yerikho). Matius sebagai seorang pemungut cukai amat sangat dibenci oleh masyarakat kala itu. Mengapa? mari kita simak sistem penarikan cukai yang dilakukan saat itu. Pemerintah Roma memberlakukan penarikan pajak bagi daerah-daerah taklukannya. Pemerintah Roma menswastakan penarikan pajak ini, artinya pemerintah Roma tidak menentukan standarisasi berapa pajak yang harus dibayarkan warga. Oleh sebab itu Para Pemungut Cukai ini bebas menentukan bea cukainya. Pemerintah Roma sengaja memilih orang-orang Pribumi,asumsinya adalah orang-orang Pribumi lebih tahu siapa-siapa saja yang musti bayar pajak, dan lebih tahu adat kebiasaan di masyarakat. Nah, di setiap distrik ada 1 kepala pemungut cukai yang bertugas di sana. Kepala pemungut cukai ini boleh mempekerjakan anak-anak buah untuk mempermudah tugasnya. Para anak buah ini memungut cukai dari warga lalu sebagian diambil mereka sendiri, dan sisanya diserahkan ke Kepala Pemungut Cukai. Sebelum diserahkan ke Raja Wilayah, uang itu juga diambil sebagian, lalu sampailah di tangan Raja Wilayah, dan tentu saja diambil juga sebagian dan akhirnya sampai di tangan Pemerintah Roma. Wah, bisa kita bayangkan berapa banyak cukai yang ditarik dari warga jika di setiap aras jabatan, uang itu dinikmati oleh penguasa. Hal inilah yang memicu kebencian dari masyarakat, para pemungut cukai menarik biaya yang besar dan cenderung memeras. Selain itu mereka juga bekerja walau hari Sabat. Mungkin Matius CS merasa amat biasa dicuekin, tidak dianggap, dan dikucilkan dari masyarakat.
Lalu, Yesus melihat Matius dan mengajak dia katanya, "Ikutlah Aku". Kata yang dipakai di sini bukan hanya sekadar mengajak secara harafiah yaitu mengajak berjalan tetapi ajakan untuk menjadi pengikut Yesus (akholoutheo-kalo tidak salah nulis demikianlah bhs.yunaninya). Ajakan ini langsung direspon oleh Matius dengan beranjak dari posnya dan dia segera menuju ke rumahnya dan mengajak anak-anak buahnya untuk makan bersama dengan Yesus. Hal ini digugat oleh orang Farisi, mengapa? karena perjamuan makan bersama menandakan persahabatan. Mereka tidak bisa menerima jika Yesus bersahabat dengan pemungut cukai yang selalu disandingkan dengan perempuan sundal dan para pendosa. Maka mereka bertanya pada murid-murid Yesus mengapa guru mereka mau makan bersama dengan para pemungut cukai. Yesus mendengar protes itu dan dengan bijak menjawab bahwa bukan orang sehat yang butuh tabib, tetapi orang sakit...Dia datang untuk mencari orang berdosa bukan orang benar. Ungkapan ini hendak menekankan misi kedatanganNya di dunia, Yesus datang untuk melakukan pembenaran bagi manusia, dan menyembuhkan mereka...memulihkan mereka.
Sikap yang ditunjukkan oleh Yesus adalah sikap Seseorang yang membuka pintu REKONSILIASI dan REHABILITASI. Yesus menawarkan REKONSILIASI pada Matius sehingga Matius dapat memulihkan relasinya dengan sesama dan Tuhan...selain itu Yesus juga membuka pintu REHABILITASI sehingga Matius menyadari kesalahannya dan bertobat! Sikap Yesus bukan menolak mereka yang dikucilkan masyarakat...bukan ikut-ikutan menyingkirkan mereka tetapi sikap Yesus mematahkan pepatah, "sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya orang". Sikap Yesus justru mencerminkan KEDEWASAAN dan KEBIJAKSANAAN.
Di dalam kehidupan kita sesehari orang-orang yang dikucilkan atau disingkirkan itu ada banyak. Entah mereka yang residivis atau ex-narapidana, mantan pelacur, keturunan orang-orang yang terlibat dalam G30SPKI, atau mereka yang terkena siasat gereja/ penggembalaan khusus. Mereka ini membutuhkan tawaran persahabatan dengan kita bukan penghakiman atau pengucilan! Adakah Anda dan saya mau membuka hati bagi mereka....membuka diri bagi mereka dan menawarkan persahabatan seperti yang Yesus teladankan?


salam



2 komentar:

  1. poinmu mendasar dan bisa ditarik hingga ranah filsafat hukum ttg makna penjara: yakni sebagai bagian dari proses legal untuk memulihkan (baca: merehabilitasi) fungsi sosial para terpidana. jadi hukuman bukan untuk hukuman tetapi untuk memulihkan dimensi sosial yang hakiki dari kemanusiaan setiap orang.

    menarik ya! ternyata "persekutuan" bukan hanya bisnis gereja, tetapi juga negara. betapa dekatnya teologi dengan hidup sekuler.

    BalasHapus
  2. thanx yah buat ikannya...sangat menghibur hatiku yg galau...

    BalasHapus