Kamis, 24 Juli 2014

BAGAIMANA KITA BICARA SELAMA INI?


Tulisan ini bukan tulisan ilmiah, hanya hasil perenungan dan penggalian wombat yang beberapa waktu lalu terhenyak akan dirinya sendiri yang berdialog dengan cara tak cukup santun bagi kawan bicaranya.
           
            Sebulan yang lalu sebelum PEMILU Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, kita memiliki kesibukan baru yang sarat antusiasme yaitu menyaksikan Debat Capres dan Cawapres di berbagai stasiun TV nasional setiap hari Minggu (kecuali debat terakhir pada hari Sabtu). Seusai acara debat selalu ada ulasan dari berbagai pihak terkait tema debat malam itu, ada pula serangan-serangan argument dari masing-masing pihak pengusung, dan tak lupa komentar masyarakat Indonesia di media social. Isinya pun macam-macam ada yang mengomentari penggunaan bahasa, gesture, dan tentu saja konten argument dari masing-masing Capres dan Cawapres.
            Pendek kata, ajang komunikasi dua pasangan Capres dan Cawapres ini menjadi sesuatu yang paling dinantikan. Ya, komunikasi menjadi sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Apalagi di zaman postmo yang “meniadakan” batas ruang dan waktu. Berkomunikasi, berdialog adalah salah satu kata kunci di zaman ini. Tak heran, acara debat menjadi menarik hati karena yang tertampampang bukan sekedar deretan informasi namun apa saja yang tak tersuarakan dengan keras di dalam dialog.
            Banyak orang beranggapan bahwa seandainya orang mau berdialog, mau berkomunikasi maka perdamaian tercapai. Tetapi agaknya kita, khususnya saya perlu melihat pada diri sendiri seperti apa kita bicara selama ini dengan orang-orang di sekitar kita. Setelah khatam memanjakan diri dengan tulisan-tulisan Karen Armstrong, saya tersadar bahwa sebagian besar orang termasuk saya diam-diam mewarisi tradisi Yunani kuno dalam berdialog dengan orang lain.
            Konon kisahnya, di dalam majelis demokratis Athena, para warga belajar untuk berdebat secara KOMPETITIF, menyusun argumen secara logis dan efektif agar menang. Orang-orang berlatih teknik-teknik retorika untuk mengintimidasi lawan bicaranya. Tujuannya sebenarnya sangat primitif yaitu mengalahkan lawan bicaranya bahkan kalau bisa mempermalukan pihak lawan dan membuat pihak lawan MENYEBRANG ke pemikiran kita. Penuh aura penaklukan.
            Sedangkan dialog kedua adalah dialog ala Socrates yang sangat berbeda dengan gaya Athena. Socrates menganjurkan orang untuk menjawab dengan cara yang lebih lembut dan lebih tepat untuk berdialog, berdiskusi dengan orang lain. Maka dialog Socrates ini disebut dialog ruhani yang dirancang untuk menghasilkan perubahan psikologis yang mendalam pada pesertanya. Tujuannya adalah agar tiap orang memahami KEDALAMAN KEBODOHANnya sendiri!
            Wow, sangat mengejutkan setidaknya bagi saya. Betapa tidak, dalam tiap dialog atau diskusi, masing-masing tentu saja enggan ditelanjangi kebodohannya. Namun dialog ala Socrates mensyaratkan sesuatu yang luar biasa tidak mudah (bahkan mungkin tidak cukup masuk akal) untuk dipraktekkan. Dialog ala Socrates membawa implikasi yang luar biasa. Orang akan dihantar pada kenyataan bahwa ia tak tahu apa-apa. Ia yang selama ini mengklaim diri sebagai yang tahu akan orang lain, tahu akan budaya lain, tahu akan tradisi agama lain, bahkan tahu tentang orang-orang yang kita cintai. Dialog ala Socrates membuat kita sadar bahwa kita tidak tahu apa-apa dan terbakar keinginan untuk membuka diri dan mencari tahu. Seperti seekor katak yang menatap langit biru dari dalam sumur. Ia menduga langit biru hanya selingkaran sumur. Tetapi setelah ia sampai di bibir sumur, terperanjatlah ia, langit yang ia kira hanya lingkaran biru kecil ternyata maha luas.
            Dalam terang pemahaman yang baru ini saya sadar, dialog bukan hanya sekedar ajang tukar informasi tetapi “meluangkan tempat untuk yang lain” dalam pikiran, mendengarkan dengan seksama dan tak takut mengakui bahwa argumentasi kawan bicara lebih valid. Bukan semata memegang kaku pendapat masing-masing.
            Yang menarik lagi, Socrates bukan hanya mengajarkan orang untuk menata logikanya dalam berkomunikasi dengan orang lain, namun juga bagaimana cara menyampaikannya kepada orang lain. Harus diakui sekali lagi, kita tidak banyak melakukan dialog seperti itu hari ini. Perdebatan dalam lembaga pemerintahan, media, akademisi, bahkan obrolan sesehari bersifat KOMPETITIF. Tidak cukup bagi kita untuk mencari KEBENARAN, tetapi kita ingin lebih jauh dari itu, KEKALAHAN orang lain, MEMPERMALUKAN orang lain. Sudah jelas, sebagian besar orang termasuk saya terjebak pada dialog pamer ego. Tak sudi mengakui bahwa pihak lain pendapatnya valid atau lebih logis. Dalam hal ini saya terkenang Bapak Prabowo yang dalam beberapa kesempatan debat menyatakan persetujuannya akan argumentasi Bapak Jokowi. Entah apapun motivasinya.
            Dalam dunia kita yang sangat kompetitif dan kontroversial, kita perlu mengembangkan dialog ala Socrates yang sarat belas kasih bukan pamer ego. Kita dan khususnya saya belajar bertanya pada diri sendiri apakah saya ingin menang berargumen, apakah saya ingin mencari kebenaran, apakah saya sedang mencari sanjungan, atau apakah saya siap untuk mengubah pandangan saya jika argumen kawan bicara saya lebih masuk akal?
            Di atas segalanya, saya masih harus belajar mendengarkan. Mendengarkan adalah salah satu kata kunci yang lain dari terciptanya jembatan dialog ala Socrates. Seringkali tanpa kita sadari, kita mendengarkan orang lain berbicara hanya untuk memelintir kata-kata orang itu, menjadikannya senjata untuk menyerang orang itu, atau menjadikannya bahan olok-olokan. Mendengarkan yang sejati menurut Karen Armstrong berarti lebih dari sekedar mendengarkan  kata-kata yang diucapkan. Tetapi kita harus sensitif terhadap pesan yang mendasarinya dan apa yang sebenarnya tidak terucap, tidak tersuarakan. Bahkan kita harus berusaha untuk mendengarkan rasa sakit, ketakutan yang muncul dalam bahasa tubuh, nada suara dan pilihan kiasan.
            Diakhir perenungan ini saya makin terpacu untuk memperhatikan bagaimana saya berbicara dengan orang lain selama ini. Seolah bercermin diri saya bertanya pada jiwa saya, ketika saya berdebat, apakah saya terhanyut oleh kepintaran diri sendiri dan sengaja mempermalukan orang lain? Menyudutkannya demi mendulang pujian? Dan bersengaja menimbulkan rasa sakit pada kawan bicara? Apakah saya menganggap argumentasinya sebagai sebuah serangan pribadi? Apakah argumen saya bertujuan untuk mengembangkan pemahaman atau justru memperburuk situasi? Apakah saya benar-benar mendengarkan kawan bicara saya dengan hati terbuka? Apakah saya membiarkan diri saya “kalah” berargumen? Dan sebelum saya memulai sebuah dialog, saya perlu bertanya pada hati saya apakah saya siap mengubah pikiran saya….




Y. Defrita R.
Akhir Juli 2014

MENCARI dan (berharap) MENEMUKAN JALAN PULANG KE “RUMAH”


Perjalanan pulang atau biasa disebut mudik dari Bandung menuju Wonosobo menjelang Idul Fitri bukanlah pekerjaan mudah. Setidaknya bagi saya, kegiatan ini sangat menguras energy. Bukan hanya bekal minuman yang diperbanyak namun bekal kesabaran harus pula dipacking dengan apik. Supaya hati teredam tiap kali kendaraan terjebak macet.  Dan memang benar, ini kali kedua saya membawa diri saya ke dalam pencobaan. Pulang atau pergi ke suatu tempat jelang libur Idul Fitri. Perjalanan yang menguras stok kesabaran ini pun berlangsung. Diawali dengan kemacetan di daerah Cicadas sampai Cicaheum sampai kemudian macet tiada terkira di daerah Garut dan sekitarnya.
            Tetapi dibalik ketidaknyamanan itu saya bersyukur mata saya selalu mengajak saya untuk menutup. Sekali ini saya bersyukur dengan kemampuan saya tertidur cepat dalam perjalanan. Setidaknya acara tidur ini membuat saya terhindar dari rasa bosan terjebak macet dan rasa nyeri di badan. Dan stok kesabaran saya tidak ludes tergerus macet.
            Benar dugaan saya, perjalanan ini membutuhkan waktu sangat lama. Jam tujuh pagi saya baru tiba di Wonosobo dengan tubuh remuk redam sebagai salah satu dari sekian banyak korban kemacetan arus mudik Lebaran. Tetapi di sela tubuh yang remuk redam saya justru mendapatkan hikmah, mari kita sebut ini sebagai hikmah mudik.
            Di sela-sela ngantuk yang mendera ketika kendaraan saya terjebak macet panjang di Garut, saya menyaksikan wajah-wajah orang yang lelah namun antuasiasme mereka untuk pulang membuat mereka bertahan dengan kegilaan di jalan ini. Ah, ya…benar…sejauh apapun perjalanan yang harus ditempuh, semahal apapun ongkos yang harus dibayar, sesulit apapun rintanganya, semacet apapun, selelah apapun, orang selalu rindu pulang pada sesuatu yang mereka namakan rumah.
            Bicara tentang pulang ke rumah, bagi saya bukan semata rumah secara fisik yang menaungi dari panas, dingin, hujan dan terik matahari. Namun sesuatu atau bahkan mungkin sekali orang yang kita sebut “rumah”. Yang selalu memanggil kita pulang, menunjukkan jalan pulang kepada kita. “Rumah” yang didalamnya kita merasa dicintai, diperlakukan dengan hormat, dan belajar berbagi ruang dengan sesama. “Rumah” dalam arti ini adalah tempat, suasana, orang-orang yang selalu menawarkan kehangatan.
            Ketika pikiran sibuk mengunyah hikmah mudik ini seorang teman mengirimkan pesan via bbm, “selamat mudik ci, selamat menikmati rumah #pengen”.  Saya balas, “I’m on my way home. Ciptakan “rumahmu”. Maksud saya, jika tubuh fisikmu menghalangimu menikmati kehangatan rumah, maka carilah dan ciptakan  sendiri “rumah” yang membuat hatimu kembali menghangat, yang membuat jiwamu dibasuh setelah lelah bertualang. Dia katakan, “I will ci” ah, ayem hatiku mendengar janjinya.
            Kemudian seorang bapak sekaligus kawan perjalanan saya melewati lembah kedukaan beberapa tahun yang lalu bertutur demikian, “Dapat menjadi gambaran kerinduan ingin berjumpa secara dekat dan intimate dengan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan kehidupan)…dan kita bersedia mengambil segala risiko yang harus kita ambil ketika telah memaknai panggilan kehidupan untuk menuju ke sana…kesediaan kita seharusnya kita tempatkan pada panggilan itu…dan bukan organisasi apapun buatan manusia. Itulah arah “spiritual direction” di dunia postmo ini. Banyak orang terbius kemewahan sarana kehidupan kita…dan tidak terbius oleh panggilan kehidupan itu sendiri. Enjoy your living pilgrimage” Tuturan bapak sekaligus kawan ini memang melihatnya dalam konteks yang lebih luas. Bahwa proses pulang ke “rumah” adalah kerinduan yang terpendam akan sesuatu yang terkait dengan tujuan hidup dan selalu membawa resiko.
            Maka sesungguhnya bagi saya acara pulang ke rumah dan “rumah” adalah proses kembali menyusuri jalan yang dulu pernah dilalui atau bahkan mungkin jalan yang baru untuk memunguti hal-hal yang menolong kita membawa pada kepenuhan makna hidup…
            Sesampainya di rumah dengan tubuh lelah, berbaring adalah sebuah obat. Ya, saya sudah sampai di rumah yang menghangatkan saya, yang melegakan.  Namun saya pun masih dalam proses pulang mencari “rumah” bagi jiwa saya…”rumah” bagi hati saya. Sehingga sejauh apapun saya berkelana…sejauh apapun saya berlayar…selelah apapun saya oleh tekanan di luar sana…saya selalu punya tiket pulang…saya selalu punya jalan pulang…saya selalu mendengar seruan untuk pulang…pulang ke “rumah”. Kata seorang bijak bestari, “dimana hartamu berada di situ hatimu berada” bagi saya, “dimana “rumah”mu berada, di situ hatimu berada.”

Selamat pulang..
Selamat mencari dan menemukan “rumah”…




Y.Defrita R.
Akhir Juli 2014