Kamis, 24 Juli 2014

MENCARI dan (berharap) MENEMUKAN JALAN PULANG KE “RUMAH”


Perjalanan pulang atau biasa disebut mudik dari Bandung menuju Wonosobo menjelang Idul Fitri bukanlah pekerjaan mudah. Setidaknya bagi saya, kegiatan ini sangat menguras energy. Bukan hanya bekal minuman yang diperbanyak namun bekal kesabaran harus pula dipacking dengan apik. Supaya hati teredam tiap kali kendaraan terjebak macet.  Dan memang benar, ini kali kedua saya membawa diri saya ke dalam pencobaan. Pulang atau pergi ke suatu tempat jelang libur Idul Fitri. Perjalanan yang menguras stok kesabaran ini pun berlangsung. Diawali dengan kemacetan di daerah Cicadas sampai Cicaheum sampai kemudian macet tiada terkira di daerah Garut dan sekitarnya.
            Tetapi dibalik ketidaknyamanan itu saya bersyukur mata saya selalu mengajak saya untuk menutup. Sekali ini saya bersyukur dengan kemampuan saya tertidur cepat dalam perjalanan. Setidaknya acara tidur ini membuat saya terhindar dari rasa bosan terjebak macet dan rasa nyeri di badan. Dan stok kesabaran saya tidak ludes tergerus macet.
            Benar dugaan saya, perjalanan ini membutuhkan waktu sangat lama. Jam tujuh pagi saya baru tiba di Wonosobo dengan tubuh remuk redam sebagai salah satu dari sekian banyak korban kemacetan arus mudik Lebaran. Tetapi di sela tubuh yang remuk redam saya justru mendapatkan hikmah, mari kita sebut ini sebagai hikmah mudik.
            Di sela-sela ngantuk yang mendera ketika kendaraan saya terjebak macet panjang di Garut, saya menyaksikan wajah-wajah orang yang lelah namun antuasiasme mereka untuk pulang membuat mereka bertahan dengan kegilaan di jalan ini. Ah, ya…benar…sejauh apapun perjalanan yang harus ditempuh, semahal apapun ongkos yang harus dibayar, sesulit apapun rintanganya, semacet apapun, selelah apapun, orang selalu rindu pulang pada sesuatu yang mereka namakan rumah.
            Bicara tentang pulang ke rumah, bagi saya bukan semata rumah secara fisik yang menaungi dari panas, dingin, hujan dan terik matahari. Namun sesuatu atau bahkan mungkin sekali orang yang kita sebut “rumah”. Yang selalu memanggil kita pulang, menunjukkan jalan pulang kepada kita. “Rumah” yang didalamnya kita merasa dicintai, diperlakukan dengan hormat, dan belajar berbagi ruang dengan sesama. “Rumah” dalam arti ini adalah tempat, suasana, orang-orang yang selalu menawarkan kehangatan.
            Ketika pikiran sibuk mengunyah hikmah mudik ini seorang teman mengirimkan pesan via bbm, “selamat mudik ci, selamat menikmati rumah #pengen”.  Saya balas, “I’m on my way home. Ciptakan “rumahmu”. Maksud saya, jika tubuh fisikmu menghalangimu menikmati kehangatan rumah, maka carilah dan ciptakan  sendiri “rumah” yang membuat hatimu kembali menghangat, yang membuat jiwamu dibasuh setelah lelah bertualang. Dia katakan, “I will ci” ah, ayem hatiku mendengar janjinya.
            Kemudian seorang bapak sekaligus kawan perjalanan saya melewati lembah kedukaan beberapa tahun yang lalu bertutur demikian, “Dapat menjadi gambaran kerinduan ingin berjumpa secara dekat dan intimate dengan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan kehidupan)…dan kita bersedia mengambil segala risiko yang harus kita ambil ketika telah memaknai panggilan kehidupan untuk menuju ke sana…kesediaan kita seharusnya kita tempatkan pada panggilan itu…dan bukan organisasi apapun buatan manusia. Itulah arah “spiritual direction” di dunia postmo ini. Banyak orang terbius kemewahan sarana kehidupan kita…dan tidak terbius oleh panggilan kehidupan itu sendiri. Enjoy your living pilgrimage” Tuturan bapak sekaligus kawan ini memang melihatnya dalam konteks yang lebih luas. Bahwa proses pulang ke “rumah” adalah kerinduan yang terpendam akan sesuatu yang terkait dengan tujuan hidup dan selalu membawa resiko.
            Maka sesungguhnya bagi saya acara pulang ke rumah dan “rumah” adalah proses kembali menyusuri jalan yang dulu pernah dilalui atau bahkan mungkin jalan yang baru untuk memunguti hal-hal yang menolong kita membawa pada kepenuhan makna hidup…
            Sesampainya di rumah dengan tubuh lelah, berbaring adalah sebuah obat. Ya, saya sudah sampai di rumah yang menghangatkan saya, yang melegakan.  Namun saya pun masih dalam proses pulang mencari “rumah” bagi jiwa saya…”rumah” bagi hati saya. Sehingga sejauh apapun saya berkelana…sejauh apapun saya berlayar…selelah apapun saya oleh tekanan di luar sana…saya selalu punya tiket pulang…saya selalu punya jalan pulang…saya selalu mendengar seruan untuk pulang…pulang ke “rumah”. Kata seorang bijak bestari, “dimana hartamu berada di situ hatimu berada” bagi saya, “dimana “rumah”mu berada, di situ hatimu berada.”

Selamat pulang..
Selamat mencari dan menemukan “rumah”…




Y.Defrita R.
Akhir Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar