Ya memang sudah seharusnya, doa itu sealamiah orang bernafas. Kita tidak dapat hidup tanpa pasokan Oksigen yang kita hirup dan menghembuskan Karbondioksida. Tetapi ironisnya sesuatu yang sederhana ini menjadi begitu sulit diwujudkan dalam hidup sesehari. Anda dan saya biasanya akan berdalih bahwa selama 24 jam hidup kita hari ini adalah doa. Ah, yang bener? Yakin? Masa sih? Jika kita beranggapan bahwa 24 jam dalam hidup kita adalah doa, kemungkinan besar Anda dan saya tidak pernah memiliki waktu khusus untuk berdoa. Lho, doa perlu waktu khusus? Ya. Milikilah jam doa yang khusus setiap hari, saya pun dengan tertatih-tatih dan seringkali “bolos” berupaya ada waktu khusus untuk berdoa. Alasan saya sederhana, saya malu sama Tuhan jika hanya dalam kesempatan tertentu saja saya berdoa minta ini dan itu mengungkapkan itu dan ini pada Tuhan, namun saat hidup saya adem ayem saya tidak berdoa lagi. Masa iya saya ngobrol sama Tuhan kalau ada maunya saja, ah…sungguh saya tidak tahu diri sekali.
Berbicara tentang memiliki jam khusus untuk berdoa, sebenarnya Anda dan saya memiliki teladan yaitu Yesus sendiri. Dia setiap pagi bercakap-cakap dengan BapaNya. Yesus mengawali hari dengan berkomunikasi secara khusus dengan BapaNya. Berdiam diri menenangkan hati. Menjelajahi setiap ceruk dan lekuk jiwa kita. Mempercakapkan segala beban hidup, kekuatiran, rasa syukur yang terselip dalam tiap peristiwa. Barangkali ini yang membuat Yesus sanggup taat dan setia pada kehendak BapaNya. Sanggup menjalani setiap kerikil dan batu yang Ia jumpai. Seorang teman pernah mengirimkan sms pada saya, demikian bunyinya, “berapa lama kita berlutut menentukan berapa lama kita berdiri. Orang yang sanggup berlutut di hadapan Tuhan, pasti kuat berdiri di hadapan siapapun dan dalam keadaan apapun.” Ungkapan ini tidak bohong, setidaknya Ibu Teresa sudah menjadi teladan yang lain dari disiplin doa ini. Setiap pagi sebelum mengawali pelayanannya, dia akan berdoa memohon agar dia dimampukan menemukan wajah Kristus dalam tiap orang yang ditemuinya hari itu dan digerakkan oleh belas kasih Kristus untuk merawat mereka.
Hal ini pula yang kemarin sempat disinggung oleh salah satu rekan dalam sesi sharing di Monday Morning Service. Selain soal memiliki waktu khusus untuk berdoa, masih ada sharing lain yang tak kalah menarik untuk direnungkan, setidaknya oleh saya. Ibu Debora menceritakan bahwa hari minggu lalu dia ke Kutoarjo dan bertemu dengan tetangganya yang ternyata sakit diabetes. Hari minggu itu, si bapak yang sakit diabetes ini sedang meringkuk menggigil di sofa. Ibu Debora bercakap-cakap dengannya dalam perjalanan ke rumah sakit. Si bapak menceritakan kisah hidupnya, dia banyak menyakiti hati istrinya dan sekarang dia ingin menceraikan istrinya dan ia sudah memiliki pacar baru yang mau dinikahi segera setelah perceraiannya diluluskan. Di akhir percakapan itulah, si bapak minta didoakan. Ibu debora mendoakannya. Namun kemarin beliau terusik dengan pertanyaan, apakah doanya untuk orang itu akan didengar Tuhan? Apa yang sebenarnya terjadi di dalam doa? Bagaimana kita tahu bahwa Allah menjawab doa-doa kita? Bosworth menulis, “Kita dapat memahami bagaimana doa itu bisa terjawab sekiranya kita percaya bahwa Allah bisa menaruh pikiranNya ke dalam hati kita.” Almarhum Eka Darmaputera berpendapat bahwa tidak hanya pikiran Allah saja yang ada dalam hati kita tetapi juga seluruh diriNya dia pertaruhkan dalam hati Anda dan saya! Kehendaknya mengaliri kehendak kita. Cintanya mengaliri cinta kita. Itulah artinya doa.[1] Anda dan saya perlu meyakini bahwa Allah kita adalah Allah yang mendengar (Yesaya 64:4). Jadi, untuk apa kita ragu berseru padaNya? Mengutip perkataan Frank Laubach, “pray is the mightiest force in the world”, walaupun doa juga adalah the mysterious thing in the world.
Berbicara soal doa, kemarin ada ungkapan seorang teman yang mengatakan bahwa doa itu bukan hanya duduk manis lipat tangan lalu diam menanti keajaiban “abrakadabra” dari Tuhan. Memangnya Tuhan itu tukang sulap? Tetap diperlukan upaya dari diri kita. Menurut almarhum Eka Darmaputera, ada dua aspek dalam doa yaitu “Komuni dan Komisi”. Yang pertama, melalui doa kita bersekutu dengan Allah (communion) dan dalam persekutuan dengan Allah itu kita diberi tugas oleh Allah, inilah komisi (commision). Komuni dan komisi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Keduanya bagaikan dua pembuluh darah utama yang terdapat di jantung doa kita. Oleh sebab itu dua pembuluh itu tak boleh ada yang tersumbat, artinya komuni tanpa komisi adalah persekutuan yang mati dan begitu juga sebaliknya, komisi tanpa komuni adalah aktivitas yang kering dan perlahan akan mati. Stanley Jones mengiaskannya dengan orang yang menyadap pohon karet. Pertama, kulit pohon karet disayat cukup dalam. Pedih. Perih. Melalui alur sayatan itulah getah karet akan mengalir tetes demi tetes dan memenuhi mangkok yang ditempelkan erta-erat ke ujung sayatan untuk menampung getah yang mengalir. Hidup Anda dan saya bagaikan mangkok itu. Melalui doa, Anda dan saya mengkomunikan mangkok kehidupan ke luka sayatan Tuhan kita. Menampung aliran darah kasihNya yang menguatkan dan mengampuni. Dan ketika mangkok itu penuh maka perlu dikosongkan (di-komisi…di bagikan) agar dapat menampung getah yang baru. Doa bukan sulap,tetap diperlukan daya dari diri kita.
Nah, ini yang terakhir, kalau mau diterus-teruskan maka tidak akan pernah ada habisnya kita bicara soal doa yang ternyata punya banyak dimensi. Seorang teman sharing tentang sepasang suami istri, mereka pasangan muda. Mereka berdua dikenal sebagai pasangan yang baik dan terlibat dalam pelayanan di gereja. Kehidupan rumah tangga mereka nampak harmonis dan baik-baik saja. Namun segalanya menjadi runyam, tatkala setelah melahirkan anak mereka, si istri tidak sadarkan diri atau lebih tepatnya disebut koma selama tiga tahun (sampai tulisan ini dibuat). Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Sudah banyak kerabat dan kawan yang memberi saran agar si istri di euthanasia saja, dan si suami dapat menikah lagi dan membentuk keluarga yang baru. Namun si suami berkeras untuk tetap bertahan menunggu sampai istrinya pulih dan membesarkan anak mereka. Dia memiliki kekuatan seperti itu barangkali karena doa yang tiada henti yang dia panjatkan pada DIA yang mau mendengar dan mendampingi. Praktek hidup doa yang tiada henti dia sampaikan pada pemilik hidup bukanlah hal yang gampang. Kadangkala menyelusup perasaan frustasi karena serasa doa tak benar-benar didengar, tak ada respon. Ada perasaan kawatir, takut, pilu melihat istri terbaring selama tiga tahun tanpa membuka mata dan menggerakan badan. Perasaan semacam ini wajar. Tetapi komunikasi yang tiada putus pada Allah Sang Pemilik Hidup menjadi kekuatan yang memampukannya menanggung beban hidup yang berat. Barangkali perspektif Anda dan saya yang mesti diubah, bukan lagi fokus pada apakah doa akan dijawab sesuai pesanan kita, tetapi menghayati proses komunikasi dengan Allah sebagai sebuah latihan untuk mengasah iman kita. Apakah kita hanya memandang pada barang pemberian tetapi lupa pada Sang Pemberi? Selamat merenung….
Selamat berdoa…
Yogyakarta, 23 Maret 2010
Defrita Rufikasari
[1] Eka Darmaputera, 365 anak tangga menuju hidup berkemenangan. P.356
Tidak ada komentar:
Posting Komentar