Senin, 30 November 2009 10.00 WIB
Ketika yang gila dipamerkan…
Bersama dengan 3 teman yang lain kami meluncur ke Bentara Budaya Jogjakarta untuk menikmati pameran fotografi yang diselenggarakan oleh Agung Sukrinda. Pagi ini Bentara Budaya sepi. Hanya tampak kesibukan di kantor Kompas yang bersebelahan dengan gedung Bentara Budaya. Setelah mengisi data pribadi yang diletakkan di meja dekat pintu masuk, kami segera menyusuri jajaran foto yang terpampang di dinding putih. Siapa yang menjadi modelnya? Lelaki atau perempuan? Orang mana asalnya? Pameran ini tidak biasa, sebab yang menjadi model adalah orang-orang yang kita beri label “GILA, EDAN, KENTHIR, SABLENG, SARAP” dan lain sebagainya. Mereka bukan model profesional sekaliber Nadine Chandrawinata atau Naomi Cambell. Mereka juga tidak sedang berpose cantik atau ganteng. Mereka tidak sedang memperagakan busana karya perancang ternama. Foto-foto yang berjajar memenuhi Bentara Budaya ini merekam segala macam ekspresi dan aktivitas orang-orang gila di Daerah Istimewa Jogjakarta. Mereka adalah orang-orang istimewa di daerah istimewa.
Mengapa orang-orang gila yang menjadi fokus foto Agung Sukrinda? Apa sudah tak ada model lain di Jogjakarta? Barangkali demikian komentar kita tatkala melihat foto seorang perempuan yang berlenggak-lenggok mengenakan blouse kuning cerah dan hotpants…atau tatkala memandang lelaki yang tidur telanjang di trotoir. Bukan tidak ada model lain, tetapi agaknya Agung Sukrinda hendak menyadarkan Anda dan saya bahwa orang-orang gila ini ada di dalam gerak masyarakat kita sesehari namun seringnya diabaikan oleh kita. Di dalam katalognya, Agung Sukrinda mengatakan bahwa kehadiran orang-orang gila/gembel/gelandangan di Jogjakarta membuatnya prihatin dan sekaligus tertarik. Ketertarikan ini membuat Agung Sukrinda mengamati dan merenungkan mengapa bisa gila? Ada apa dengan kehidupan mereka? Dan Agung Sukrinda pun teringat akan ungkapan yang tertoreh dalam Kitab Kehidupan, “Ketika aku lapar…kamu memberi aku makan, ketika aku haus…kamu memberi aku minum, ketika aku seorang asing…kamu memberi aku tumpangan, ketika aku telanjang…kamu memberi aku pakaian, ketika aku sakit…kamu merawat aku, ketika aku dalam penjara…kamu mengunjungi aku….dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan terhadap salah satu dari saudaraku yang paling hina ini kamy telah melakukannya untuk aku.” Agaknya pernyataan ini mengetuk hati Agung Sukrinda untuk mengangkat realitas ini ke ranah yang lebih jelas. Mengangkat keberadaan orang-orang gila agar mereka tak sekedar dilewati…tetapi dihampiri…tidak sekedar ditonton tetapi dihayati. Apa bisa? Semoga.
Kalau diamati memang bisa jadi kita bosan mengamati aneka ekspresi dan aktivitas dari orang-orang gila ini. Tetapi Agung Sukindra mengundang Anda dan saya untuk tidak sekedar menonton mereka namun mencoba mengamati mereka…dan menghayati keberadaan mereka…lalu tergerak untuk berbuat sesuatu bagi mereka. Sayangnya tak semua pengunjung pameran ini memahami apa yang disajikan oleh Agung Sukrinda, sehingga komentar bernada lucu dan norak banyak dijumpai di lembaran buku kesan dan pesan yang disediakan. Salah satu komentar yang saya ingat dan membuat saya tertawa adalah: “Aduh kenapa sich modelnya musti orang gila. Pake dipigurain segala. Sayang tauk migurain orang gila, mending juga kalo artis geto.” Benar-benar konyol. Walaupun sah-sah saja orang tersebut berkomentar seperti itu. Apakah ini menunjukkan rendahnya minat masyarakat akan seni fotografi yang mengangkat realita yang terlanjur dipinggirkan? Entahlah.
Saiki Zaman Edan
Mengutip Jula-Juli buatan Romo Sindhunata, SJ
Zamane zaman edan
Kabeh-kabeh dadi walikan
Sing bener dadi sengsara
Sing salah malah mulya.
Saiki edan zamane
Waras edan padha wae
Sing edan ngeler bokonge
Sing waras ngeler susune.
Awan-awan ndhek Malioboro
Wak Dul gendhut irunge dowo
Tak kira wong edan mlaku wudo
Jebule cewek digandheng dudo.
Yang kencing di sini hanya anjing
Wong edan dilarang malah kencing
Negarane kisruh gonjang-ganjing.
Hukume dadi rok cekak dicincang-cincing.
Mari nangis terus ngguya-ngguyu
Mari mendhem terus tura-turu
Senengane ngangkat sumpah palsu
Mergane edan ora duwe malu.
Wong edan gendhong boneka
Bonekane boneka panda
Wong waras gendhong buaya
Dadi edan merga gila harta.
Wong edan iku orang gila
Gila kuasa gila wanita
Gila semat gila pangkat
Gila derajat gila hormat.
Wong edan ndhek prapatan mBadran
Njoged-njoged gak karu-karuan
Korupsi terus habis-habisan
Wong mesthi gak bakal konangan.
Ana wong edan ngarep Gedung Rakyat
Ngedhumel dhewe terus sekarat
Wong cilik terus melarat
Penggedhene malah terus berkhianat.
Tahu goreng Wak Supiyah
Ana wong edan mbrakoti sampah
Negarane saya dadi bubrah
Merga pemimpine wong-wong serakah.
Pinggir dalam kembang kaktus
Ana wong edan kuplukan kakus
Saiki pating sliwer makelar kasus
Merga pejabate akeh sing rakus.
Yogyakarta kota budaya
Lha kok akeh wong sing gila
Apa iku dudu pratanda
Nek kita iki uga kota buaya.
Cicak nguntal baya
Cekap semanten atur kawula.
Jula-juli buatan Romo Sindhu agaknya memberikan warna lain dalam pemaknaan ekspresi, aktivitas dan keberadaan orang-orang gila di sekitar kita. Ketika kita menatap wajah orang-orang gila yang dibekukan kamera, kita sedang menatap wajah kita. Jangan terburu-buru tersinggung. Anda dan saya memang punya sisi GILA…bahkan bisa dibilang setiap orang punya potensi untuk menjadi GILA. Jangan tanyakan ini pada dosen psikologi atau dokter jiwa, bisa jadi mereka tak setuju. Apa buktinya kalau setiap manusia punya sisi GILA? Kegilaan disebabkan oleh obsesi yang berlebihan. Setiap manusia punya obsesi yang kadangkala menjadi berlebihan. Begitu pendapat Romo Sindhu. Seseorang yang terlalu terobsesi pada sesuatu atau sesorang dan mengabaikan realita yang ada bisa jadi dia menjadi gila. Selain itu seseorang yang memutlakan sesuatu dalam hidupnya dan menafikan hal lain bahkan mematikan hal lain bisa juga menjadi gila. Contohnya adalah orang gila di perempatan Badran yang dikisahkan oleh Romo Sindhu. Slamet adalah orang gila yang selalu tertawa dan menari-nari. Slamet tidak mencari uang. Percuma saja Anda melempar uang padanya, alih-alih dijumput menolehpun tidak. Barangkali yang dimiliki oleh Slamet hanyalah kegembiraan saja dan dia mau membagi kegembiraan itu dengan siapa saja yang melintas dan berhenti di perempatan Badran. Akh, seandainya Anda dan saya bisa segembira Slamet, mungkin hidup lebih berwarna. Tetapi Romo Sindhu mengingatkan bahwa bila orang total hanya ingin gembira saja, ia juga bisa menjadi GILA seperti Slamet. Memang hidup ini tidak boleh hanya berisi kegembiraan. Slamet memutlakannya, dan mungkin karena itu dia gila.
Foto-foto yang dipamerkan Agung Sukrinda agaknya bisa menjadi cermin buat Anda dan saya. Cermin yang membuat kita tidak menuduh mereka gila tetapi menyadari bahwa Anda dan saya hidup di Zaman Edan…dan mungkin sudah ikutan edan. Jula-juli Romo Sindhu memperkuat persepsi ini. Bayangkan saja, orang-orang yang mengaku waras seperti Anda dan saya menganggap tabu membicarakan ketelanjangan tubuh lelaki atau perempuan. Namun dengan sengaja menciptakan fashion yang membuka bagian tubuh di sana-sini. Jika dulu bagian-bagin tersebut ditutup kini justru sibuk dipamerkan… sing edan ngeler bokonge, sing waras ngeler susune. Memilih menikmati ketelanjangan perempuan dan lelaki dengan sembunyi-sembunyi…tetapi jijik ketika disodori gambar orang gila yang telanjang dan berkeliaran di jalanan. Mengutuki ketelanjangan…namun membiarkan diri hanyut mengikuti nafsu untuk menikmati ketelanjangan yang disodorkan media.
Ada pula foto orang gila yang sibuk mengunyah sampah. Seolah-olah dia hendak menelan semua sampah itu. Sangat rakus. Orang waras akan merasa jijik melihat apa yang mereka makan dan cara mereka makan. Padahal mereka adalah representasi dari kerakusan yang adalah bagian dari Zaman Edan. Memakan apa saja yang bisa dimakan…memakan siapa saja yang bisa dimakan! Bedanya adalah, orang waras macam Anda dan saya menutup-nutupi kerakusan itu sedangkan orang gila dengan bebas mengekspresikan kerakusan mereka tanpa tedeng aling-aling. Kalau begini beda antara orang waras dan gila menjadi sangat tipis dan kabur…sebab di sana-sini orang-orang waras berperilaku mirip seperti orang gila.
Foto-foto yang ditampilkan Agung Sukrinda bisa jadi sangat monoton dan muram…namun saya melihat Agung Sukrinda sedang mengingatkan Anda dan saya untuk bercermin bahwa ini Zaman Edan….yang mengaku waras ternyata juga edan! Romo Sindhu bertanya, “Tidakkah kita juga gila untuk memuji diri sendiri, membayangkan ketelanjangan kita hingga naik birahinya? Tidakkah kita di dalam lubuk terdalam, kita ini adalah manusia yang gila wanita, sampai kita berani berbuat nekad apa saja, tanpa mengindahkan lagi derajat dan martabat nilai hidup kita? Tidakkah kita sering terlalu tegang dan ngoyo dalam memburu ambisi dan obsesi kita, sampai jiwa kita menjadi tegang sehingga pantulan ketegangan itu menampak dalam wajah kita yang tegang, seram dan depresif? Tidakkah kita suka bicara sendiri, dan melamun serta berkhayal bahwa kita bisa membuat dan melampaui apa saja, termasyk kekodratan dan keterbasan kita? Romo Sindhu bertanya pada kedalaman jiwa kita. Pertanyaan-pertanyaan ini membantu Anda dan saya mengaku waras untuk bercermin pada mereka yang kita sebut gila dan hidup di Zaman Edan.
Defrita Rufikasari
Pulanggeni, 30 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar