Apa yang ada dalam benakmu ketika mendengar kata “jamban”? Ha, benar. Jamban itu tempat membuang kotoran manusia…tempat buang air besar maupun air kecil yang tak hanya berarti air kencing tetapi ingus juga. Selain itu apalagi? Ada yang bilang jamban itu tempat yang menjijikan, bagi saya belum tentu. Tergantung siapa yang punya dan membersihkan jamban itu. Buktinya jamban di rumah saya bersih dan selalu menyenangkan untuk disinggahi. Tapi ada juga yang memandang jamban itu sebagai suatu tempat yang tabu untuk dipercakapkan apalagi ditulis seperti ini. Mungkin orang-orang yang berpendapat demikian berpikir, ‘ngapain sih ngomongin jamban, mendingan ngomongin Luna Maya”. Tetapi ada juga lho orang-orang yang menganggap jamban sebagai “their sacred room”. Whua..jelas saya masuk kelompok ini. Betapa tidak setiap orang harus mengeluarkan aneka bentuk kotoran itu setiap hari (dan sembari membuang kotoran biasanya beberapa dari kita akan menemukan ide cemerlang ketika singgah di jamban). Rutin. Semata-mata agar metabolisme tubuh terjaga. Coba lihat dan sadari, bahwa yang kotor yang keluar dari tubuh kita ini bukan berarti tidak berharga…tanpa mereka keluar rutin setiap hari, maka kesehatan tubuh terganggu dan akan menguras uang puluhan hingga ratusan juta lebih mahal ketimbang harga jamban itu sendiri. Jangan remehkan kotoran yang keluar itu. Saya dan Anda harus mengeluarkannya untuk turut serta dalam metabolisme tubuh yang sehat. Bayangkan kalau tidak ada jamban atau tidak pernah ada orang jenius yang menciptakan jamban…metabolisme tubuh mungkin akan sedikit banyak mengalami gangguan karena kita buang kotoran sembarang bak kucing atau anjing. Maka untuk hal yang mungkin Anda anggap tak senonoh itu, saya justru menghaturkan syukur kepada Allah untuk siapapun dia yang berhasil menemukan ide membuat jamban.
Nah, itu jamban dalam arti yang sebenar-benarnya untuk dijadikan tempat membuang kotoran manusia dan sambil membuang biasanya beberapa orang mendapat inspirasi justru di atas jamban. Sekarang jamban dalam arti kiasan. Bisa toh? Oh ya jelas bisa-bisa saja. Begini kisahnya, suatu siang di perpustakaan kampus, di depan saya laptop menyala dan saya sibuk mengkonsumsi google. Sementara di depan saya ada seorang teman lelaki yang juga asyik berkutat dengan net-booknya. Sesekali saya “ngedumel” sendiri dan dia yang duduk di depan saya hanya senyam senyum. Lalu pada puncaknya dia merasa jengah dengan tingkah saya yang mirip dukun komat kamit sendiri sementara kuping ditutup headset. Dia bertanya, “Ngapain sih ngomong sendiri?” Saya melepas headset dan balik menjawab, “Apaan?” Dia berkata, “Kamu ngapain ngomong sendiri?” Saya menjawab, “Oh, lagi buntu ni otak. Huh…jamban yang buntu aja bisa disedot biar lancar jaya dan mampu menunaikan tugasnya sebagai jamban, lha kalo otak yang buntu? Mana ada tukang sedot otak?” Spontan dia tertawa terbahak –bahak. Dia bilang saya gila sudah menyamakan otak dengan jamban. Saya bilang saya waras! Otak saya tidak beda jauh dengan jamban. Setiap detik saya membuang segala informasi entah baik entah buruk ke dalam jamban saya. Lalu jamban ajaib ini akan mulai menyortir mana yang benar-benar layak bersemayam mana yang tidak. Ini bedanya dengan jamban harafiah! Namun layaknya jamban saya juga yakin kalau otak saya juga punya batas tampung. Mungkin kalau sepitank tempat jamban mengalirkan semua yang masuk padanya sudah penuh, datanglah mas-mas tukang sedot untuk mengurangi isinya. Lha kalau ini kan otak saya! Tidak benar-benar difungsikan dan dimaknai sebagai jamban harafiah. Jadi bagaimana? Setelah tidur 1 jam saya menemukan ide, jamban kiasan ini harus dilengkapi filter yang canggih untuk memilah dan memilih mana yang harus dipirkan dulu mana yang tidak, mengingat setiap saat saya membuang informasi padanya…
Nah, itu jamban kiasan yang pertama. Jamban kiasan yang kedua bukan soal otak namun soal hati saya. Saya mengibaratkan hati saya sebagai jamban. Setiap orang terdekat datang dan membuang segala yang tidak mereka inginkan pada hati saya dan sedikit sekali mereka membuang yang mereka inginkan.. Pada dasarnya disini ada kemiripan fungsi antara jamban harafiah dan jamban kiasan. Setelah mereka membuang segala kesedihan, keluh kesah, kebahagiaan dan masih banyak lagi, mereka akan sedikit merasa ringan dan bisa perlahan melanjutkan “metabolisme” hidupnya. Tetapi saya si jamban, jangan ditanya bagaimana penuhnya hati ini. Kadangkala ingin meledak, tetapi saya tidak tahu harus meledak pada siapa. Pada akhirnya saya menyadari bahwa hati manusia adalah jamban…dan jamban tak pernah seluas lautan yang mampu menerima segala hal dan mengendapkan bahkan mungkin menghancurkannya.
Mungkin bagi Anda tulisan ini aneh atau jorok, silahkan saja menilai demikian, namun bagi saya, layaknya jamban…sesuatu harus dikeluarkan dan ditampung.
Yogyakarta, 19 Maret 2010
Defrita Rufikasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar