“Sanatana dharma” adalah nama asli Hindu. Demikian secuil info yang tercerap di memori saya. Sanatana artinya kekal, sedangkan dharma artinya sifat yang melekat atau menopang keberadaan sesuatu sehingga sesuatu bermakna. Penjelasan lain sempat terselip adalah ketika orang A pindah ke agama lain selain yang dianut sekarang tetap dia harus sembahyang. Begitu pula jika dia pindah lagi. Pokoknya, berapa kali pindah tetap saja dia harus sembahyang. Sebab itulah sifat yang melekat di dalam diri manusia dan membuatnya bermakna. Nampaknya Sanatana dharma lebih dalam pengertiannya ketimbang disejajarkan dengan agama. Dalam pemahaman saya, Sanatana Dharma adalah perasaan atau kepekaan adanya Yang Ilahi yang mendorong kita untuk bersembah pada-Nya.
Saya tidak tahu apakah kadar Sanatana dharma dalam tiap orang berbeda atau tidak. Namun saya meyakini satu hal bahwa perasaan akan adanya Yang Ilahi dan tergerak untuk menyembahNya adalah awal dari lahirnya gagasan-gagasan akan Yang Ilahi itu sendiri. Sehingga tak heran jika kita menjumpai ada banyak nama untuk menggambarkan Yang Ilahi yang biasanya dihubungkan dengan sifat, kekuasaan, dan juga karya tertentu. Hal ini pula yang terjadi di Hindu, ada banyak nama untuk menggambarkan Yang Ilahi misalnya Khrisna, Siwa, Wisnu, dan masih banyak yang lainnya. Sekali lagi nama-nama yang menggambarkan Yang Ilahi ini menarik manusia untuk bersembah kepadanya. Lalu, bagaimana manusia mengembangkan perasaannya terhadap Yang Ilahi?
Rudolf Otto seorang pemikir ilmu-ilmu agama mengemukakan konsep “Numinosum tremendum et fascinosum”.[1] Pertama, manusia merasa takut dan gentar. Manusia memiliki keyakinan bahwa Yang Ilahi itu memiliki kuasa. Sangat dahsyat. Manusia gentar di hadapan Yang Ilahi. Merasa diri kecil tak berdaya ketika menghadapi ke-Maha Kuasa-an Yang Ilahi. Yang kedua, walaupun manusia merasa gentar, tetapi manusia tetap tergerak untuk mendekat dan terpesona akan Yang Ilahi. Manusia merasakan kekuasaan Yang Ilahi itu telah memutar mesin kehidupan ini sedemikian rupa sehingga semua bergerak sesuai dengan fungsinya dan dengan waktunya. Di hadapan kekuasaan Yang Ilahi itulah manusia merasa damai dan tenang…sehingga tergerak untuk bersembah di hadapanNya.
Sekarang mari kita cermati peribadahan kita selama ini. Adakah ibadah-ibadah…sembahyang-sembahyang yang kita lakukan hanya berhenti pada titik “takut dan gentar akan Yang Ilahi?” Pertanyaan itu yang “nyelonong” lewat di pikiran saya tatkala menyaksikan teman-teman dari Narayana Smirti Ashram mengadakan sembahyang atau ibadah pada jam 12.00-12.30 WIB. Mereka mengawali dengan nyanyian puja yang membantu mereka untuk terus mengingat siapa yang mereka cintai dan mereka sembah yaitu Khrisna. Ada nyanyian puja…ada gendang…ada simbal ukuran mini…dan ada tarian. Saya nyaris lupa kalau itu bukan festival budaya tetapi ibadah! Benar-benar mengalir dan benar-benar meriah. Ketika melihat mereka beribadah, saya melihat bahwa mereka melakukan itu semua bukan karena takut tetapi karena cinta! Ini yang belum saya temui di gereja.
Suasana yang terkesan kaku, seolah-olah kita sedang menghadap Sang Raja yang mudah marah…mudah tersinggung jika ada sesuatu yang tak berkenan di hatiNya. Maka dari itu jangan heran jika peribadahan di sebagian gereja mirip dengan protokoler kenegaraan yang formal dan kaku. Saya berpikir apakah ini ibadah yang dikehendaki oleh Yang Ilahi? Atau ini mutlak hasil intepretasi manusia akan Yang Ilahi? Umat yang mencintaiNya datang dengan perasaan takut salah bersembahyang…takut salah nyanyi…takut salah berpakaian…takut salah meletakan cawan dan roti di altar…dan masih banyak bentuk-bentuk ketakutan lainnya yang membuat ibadah menjadi garing. Saya tidak sedang memprovokasi untuk menciptakan ibadah yang hingar bingar namun saya sedang berbicara soal bagaimana ibadah-ibadah itu justru berhenti pada pemaknaan akan Yang Ilahi yang pertama yaitu “takut”. Padahal masih ada yang kedua yaitu “terpesona atau tertarik”. Saya belum bisa melihat bentuk pengejawantahan yang kedua dalam ibadah-ibadah di sebagian gereja. Atau barangkali tidak hanya di gereja yang seperti itu tetapi di agama yang lain mungkin juga begitu…mungkin juga tidak.
Terhadap Yang Ilahi yang menggentarkan dan sekaligus mempesona itu manusia seharusnya menjadi gentar tetapi juga terpesona. Dan semestinya ini mewujud dalam seluruh keberadaan diri kita. Kembali saya terusik dengan pikiran…jangan-jangan Yang Ilahi selama ini tidak menggentarkan dan tidak membuat kita terpesona? Atau kita memang gentar tetapi tidak terlalu terpesona? Entahlah…
(Tulisan ini adalah refleksi kunjungan ke Narayana Smirthi Yogyakarta)
Ini kan asramaku di Maguwoharjo Yogayakarta....
BalasHapusOh berarti kita pernah tatap muka ya? Salam kenal ya...
narayanasmrti.com
mungkin kita memang pernah ketemu ya pas saya dan kawan-kawan sedang mengikuti Sekolah lintas Iman...salam kenal juga :D
Hapus