Hidup ini ibarat perjalanan yang lanskapnya selalu berubah-ubah. Kita semua memulai perjalanan bersama-sama, berbagi persahabatan ,kegembiraan, kesedihan dan pengalaman. Merangkumnya lewat kata dan gambar dalam lembar-lembar catatan perjalanan. Sebab dengan demikian kita meninggalkan jejak yang mungkin suatu ketika akan berguna bagi pejalan yang lain…
Sudah puluhan kali saya membaca kisah “Tuhan Maha Tahu Tapi Dia Menunggu” karya Sang Begawan Sastra dari Rusia, Alm. Leo Tolstoy, namun demikian saya selalu terpesona dengan kedalaman ceruk makna dan banyaknya celah permenungan yang menggugah hati dan pikiran saya. Sungguh sebuah karya yang tidak hanya memanjakan otak namun menyegarkan hati. Dalam tulisan ini saya tidak akan menceritakan ulang kisah tersebut (jadi kalau Anda ingin membaca lengkap, silahkan membeli Kumpulan Cerita Leo Tolstoy di toko buku terdekat di kota Anda), saya hanya akan menceritakan secara garis besar pemaknaan apa yang saya temukan.
Kisah diawali dengan seorang lelaki bernama Ivan yang akan pergi ke kota dan dia bermalam di sebuah pondokan bersama teman lama yang dia jumpai di pondokan itu. Namun belum pagi datang, Ivan sudah melanjutkan perjalanannya. Naas tak dapat ditolak, polisi menangkap Ivan dengan tuduhan pembunuhan dan perampokan terhadap teman lamanya. Ivan terkejut karena dia tidak tahu menahu soal pembunuhan, namun sebilah pisau berlumuran darah ditemukan di dalam tas Ivan. Ivan marah, sedih dan bingung atas apa yang terjadi padanya. Ivan dijebloskan ke dalam penjara atas perbuatan yang pernah ia lakukan. Suatu ketika dia dikunjungi istri dan anak-anaknya dan mereka semua meragukan pengakuan jujur Ivan bahwa dia tidak membunuh dan merampok temannya itu. Dalam kesedihan yang mendalam Ivan berkata, “Hanya Tuhanlah yang tahu kejadian yang sebenarnya…”(hal. 42). Tak lama kemudian Ivan dipindahkan ke penjara Siberia, saat itu usianya sudah sangat tua.
Di dalam penjara dia dianggap sebagai kakek yang bijaksana, ia rajin berdoa, membaca buku-buku religi, dan mengikuti paduan suara di gereja dalam penjara. Suatu ketika ada seorang lelaki yang baru saja masuk penjara. Semua narapidana yang lama mengerumuni narapidana yang baru ini untuk lebih mengenalnya, termasuk Ivan duduk di sana. Lelaki ini bernama Makar. Dia menceritakan bahwa dia tidak mencuri, dia sedang membantu mengganti roda kereta kuda milik temannya, namun dia dituduh mencuri. Dia berkata bahwa justru ketika dia membunuh seorang saudagar di dalam pondokan, dia tak dibunuh. Ivan terkejut. Singkat kisah, Ivan akhirnya tahu bahwa orang yang harus mendekam di penjara selama 26 tahun adalah Makar, bukan dirinya. Dia sangat marah, jengkel, sedih namun tidak tahu harus berbuat apa. Suatu malam, dia menjumpai Makar sedang menggali lubang dan berusaha kabur. Makar mengancam Ivan agar tidak memberitahu sipir penjara, dan Ivan membalas dengan, “Aku tak ingin melarikan diri, dibunuh pun bagiku tak mengapa, kau telah membunuhku dua puluh enam tahun yang lalu. Aku hanya akan bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan.”(hal. 47)
Namun sipir pada akhirnya mengetahui bahwa ada seorang narapidana yang ingin kabur, namun belum tahu itu siapa. Semua narapidana ditanyai, termasuk Ivan, namun Ivan memilih tidak menjawab. Makar merasa sudah diselamatkan oleh Ivan. Suatu malam, Makar mendatangi tempat tidur Ivan dan meminta maaf. Makar merasa sangat bersalah dan sangat tidak tenang. Ivan tadinya tak mau memaafkan Makar karena apalah artinya maaf dibandingkan dengan dua puluh enam tahun mendeka di penjara untuk perbuatan yang tak pernah dilakukan. Namun pada akhirnya Ivan memaafkan Makar, dan saat itulah dia merasakan kedamaian.
Seperti yang saya katakan, kisah ini punya banyak ceruk dan celah kaya makna namun sekarang saya hanya ingin berbagi tentang melepaskan beban. Melepaskan beban? Ya. Anda dan saya sebenarnya sedang memanggul beban tak kasat mata yang sungguh dalam kondisi tertentu menjadi sangat memberatkan. Pernah merasa seperti itu? Saya sering merasa seperti itu. Masih agak sulit dibayangkan? Baiklah, apakah Anda menyaksikan iklan salah satu biskuit terkenal yang diawali huruf J? dalam iklan tersebut digambarkan seorang ibu rumah tangga yang memiliki segudang aktivitas dan dipundaknya ada beban tak kasat mata yaitu: membersihkan kulkas (langsung ada gambar kulkas jatuh menimpa pundaknya), membaca buku, membersihkan rumah karena mertua datang, mengantar dan menjemput anak sekolah, dan semua beban itu mengikuti dia selama dia berjalan dan menyeberang. Nah, kadangkala saya dan Anda seperti itu. Walaupun nampaknya senyam-senyum dan sedang mengetik atau membaca sebenarnya di pundak saya dan Anda ada banyak agenda, tugas, dan masalah. Rupa dan bobot beban bisa berbeda namun setiap kita selama masih hidup pasti punya beban di pundak masing-masing. Seperti tokoh Ivan yang memanggul beban kemarahan dan kesedihan karena seolah dunia tidak adil, dia tak bersalah namun harus mendekam di penjara selama 26 tahun untuk menanggung kesalahan orang lain. Beban ini memang tak kasat mata tapi sungguh menyesakkan hati. Dan Makar, dia juga menanggung beban rasa bersalah yang entah bagaimana itu menghantui dia dan membuat dia tidak damai. Seberapa banyak dari kita yang sering merasakan hal yang dialami oleh dua orang tokoh dalam cerita tersebut?
Suatu ketika di sebuah ruang kuliah, seorang dosen masuk kelas dan membawa satu gelas air putih di dalam gelas bening. Seluruh kelas menanti apa yang akan dilakukan oleh dosen tersebut dengan air di gelas bening itu. Dosen itu membaca raut penasaran dari para mahasiswanya. Dia pun memulai kelas, “Kalian lihat dan tahu apa yang sedang saya bawa.” Seluruh kelas mengangguk setuju. Lalu dosen ini sambil tetap memegang gelas berisi air itu dia berlari kecil di depan para mahasiswanya. Setelah itu dia bertanya, “apa yang terjadi dengan air di dalam gelas ini?”. Salah seorang mahasiswa menjawab, “tetap. Tidak berubah.” Lalu dosen ini memegang air di dalam gelas dan dia duduk. Sekali lagi mahasiswa itu menjawab, “tetap. Tidak ada yang berubah.” Dosen itu berkomentas, “Betul. Ia tidak berubah. Lalu apa yang dapat membuat kondisi ini berubah?” Salah seorang mahasiswi menjawab, “Buang saja airnya dan letakkan gelasnya!” Dosen itu tersenyum dan menjawab, “Kamu betul, buanglah airnya dan letakkan gelasnya! Selesai! Untuk kau bawa kemana-mana? Tokh tak ada bedanya!” Seperti itulah kemahatololan yang seringkali saya dan mungkin Anda buat. Membawa gelas beban itu kemana saja sambil mengeluhkan beratnya dan rumitnya serta betapa menekannya beban ini…tapi tak ada perubahan apapun. Saya masih memikul beban itu. Saya masih merasa jengkel. Saya masih marah. Saya masih merasa tidak nyaman…tidak damai. Jelas saja, lha wong gelas bebannya masih saya pegang dari tadi. Dan jangan dikira mudah lho untuk meletakkan beban kita. Butuh proses yang menyakitkan untuk bisa ikhlas meletakkan beban itu dan membiarkan hati kita merasa damai. Itulah yang terjadi pada Ivan dan Makar, dibutuhkan proses yang panjang untuk masing-masing bisa melepaskan bebannya dan merasakan damai.
Kadangkala dalam kondisi yang seperti itu, saya dan mungkin Anda berteriak-teriak memanggil Tuhan dan memintanya memberikan bantuan. Sepertinya saya itu sedang memanggul tas punggung berisi beban-beban yang berat dan saya menunggu tumpangan kendaraan di pinggir jalan. Lalu datang sebuah mobil besar dan nampaknya nyaman. Mobil ini minggir ke arah saya. Sopirnya menurunkan kaca spion dan mengajak saya untuk ikut serta. Saya senang dapat tumpangan gratis. Lalu saya duduk, tapi saya masih merasakan beban di pundak saya. Berat. Lalu saya mulai menggerutu dan sopir itu berkata,”mengapa tak kau letakkan beban di tasmu itu?” Astaganaga! Saya bodoh! Sudah naik mobil kok tas punggung masih dibawa! Inilah ironisnya. Ingin ditolong Tuhan agar merasa damai, sekalinya Tuhan sudah menolong kita masih melolong karena beratnya beban hidup, padahal Tuhan sudah menolong memberikan tumpangan tapi sayangnya saya dan mungkin Anda lebih suka tetap memakai tas ransel dan merasakan beratnya beban. Ironis! Lepas bebas…melepaskan beban hidup kita berarti membiarkan Tuhan melalui orang-orang di sekitar kita dan melalui berbagai peristiwa membantu kita untuk kuat dan tegar menghadapi beratnya beban hidup.
Seorang pemuda bernama Joseph Medicott Scriven menuliskan sebuah lagu yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Yesus Kawan Yang Sejati” (Kidung Jemaat 453) mengajak kita merenung bahwa kadangkala kita membawa beban-beban yang tak perlu kita letakkan di pundak sampai saya dan Anda kehilangan damai sejahtera. Biarlah melalui tulisan syair Joseph Medicott Scriven ini saya dan Anda terus diingatkan akan undangan Tuhan yang mengajak saya dan Anda untuk berani meletakkan beban-beban itu ke dalam tanganNya….
What a friend we have in Jesus all our sins and griefs to bear
Mana ada sahabat yang seperti Yesus yang menanggung segala dosa dan sedih kita.
What a privilege to carry everything to God in prayer.
Kita diberi hak istimewa untuk membawa segala sesuatu kepada Allah dalam doa.
O what peace we oftein forteit, o what needless pain we bear
O betapa kita sering kehilangan damai, o betapa kita menanggung perih yang tidak perlu terjadi.
All because we do not carry everything to God in prayer…
Semua itu gara-gara kita tidak membawa segala sesuatu kepada Allah dalam doa.
Have we trials and temptations? Is there any trouble anywhere?
Apakah kita menghadapi godaan dan pencobaan? Apakah ada suatu persoalan?
We should never be discouraged! Take it to the Lord in prayer!
Tidak perlu berkecil hati! Bawalah itu kepada Tuhan dalam doa!
Can we find a friend so faithful, who will all our sorrows share?
Dapatkah kita menemukan kawan yang begitu setia, yang mau ikut merasakan kesedihan kita?
Jesus knows our every weakness, take it to the Lord in prayer.
Yesus mengetahui segala kelemahan kita, bawalah itu kepada Tuhan dalam doa.
Are we weak and heavy laden, cumbered with a load of care?
Apakah kita lemah dan berbeban berat? Terganggu oleh banyaknya persoalan?
Precious Saviour, still our refuge.
Penebus Mulia, tetap perlindungan kita.
Take it to the Lord in prayer.
Bawalah itu kepada Tuhan dalam doa.
Do thy friend despise, forsake thee?
Apakah teman-teman melupakan dan meninggalkan mu?
Take it to the Lord in prayer.
Bawalah itu kepada Tuhan dalam doa.
In His arms He’ll take and shields thee, thou wilt find a solace there.
Di dalam pelukanNya, Ia memegang dan melindungi mu. Di situ kamu akan mendapatkan penghiburan.
Hari Senin tanggal 22 Maret 2010 saya kebagian tugas memimpin Monday Morning Service di RTB. Dalam kegiatan ibadah Monday Morning Service bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris, sehingga lagu-lagu dan doa juga dalam bahasa inggris, selain itu renungan yang dipakai adalah dari Our Daily Bread. Senin lalu tema yang diberikan oleh ODB adalah “Texting God”. Renungan ini hendak mengungkapkan kecenderungan remaja Amerika untuk mengirimkan short message service sebanyak 2.200/hari. Dan ada pengakuan dari seorang remaja putri Amerika yang mengungkapkan betapa dia tidak dapat hidup tanpa berkomunikasi via sms dengan teman-temannya. Penulis renungan melihat bahwa seharusnya demikian juga komunikasi kita dengan Tuhan. Tiada henti. Di akhir renungan, ODB memberikan tag line, “prayer should become as natural as breathing”.
Ya memang sudah seharusnya, doa itu sealamiah orang bernafas. Kita tidak dapat hidup tanpa pasokan Oksigen yang kita hirup dan menghembuskan Karbondioksida. Tetapi ironisnya sesuatu yang sederhana ini menjadi begitu sulit diwujudkan dalam hidup sesehari. Anda dan saya biasanya akan berdalih bahwa selama 24 jam hidup kita hari ini adalah doa. Ah, yang bener? Yakin? Masa sih? Jika kita beranggapan bahwa 24 jam dalam hidup kita adalah doa, kemungkinan besar Anda dan saya tidak pernah memiliki waktu khusus untuk berdoa. Lho, doa perlu waktu khusus? Ya. Milikilah jam doa yang khusus setiap hari, saya pun dengan tertatih-tatih dan seringkali “bolos” berupaya ada waktu khusus untuk berdoa. Alasan saya sederhana, saya malu sama Tuhan jika hanya dalam kesempatan tertentu saja saya berdoa minta ini dan itu mengungkapkan itu dan ini pada Tuhan, namun saat hidup saya adem ayem saya tidak berdoa lagi. Masa iya saya ngobrol sama Tuhan kalau ada maunya saja, ah…sungguh saya tidak tahu diri sekali.
Berbicara tentang memiliki jam khusus untuk berdoa, sebenarnya Anda dan saya memiliki teladan yaitu Yesus sendiri. Dia setiap pagi bercakap-cakap dengan BapaNya. Yesus mengawali hari dengan berkomunikasi secara khusus dengan BapaNya. Berdiam diri menenangkan hati. Menjelajahi setiap ceruk dan lekuk jiwa kita. Mempercakapkan segala beban hidup, kekuatiran, rasa syukur yang terselip dalam tiap peristiwa. Barangkali ini yang membuat Yesus sanggup taat dan setia pada kehendak BapaNya. Sanggup menjalani setiap kerikil dan batu yang Ia jumpai. Seorang teman pernah mengirimkan sms pada saya, demikian bunyinya, “berapa lama kita berlutut menentukan berapa lama kita berdiri. Orang yang sanggup berlutut di hadapan Tuhan, pasti kuat berdiri di hadapan siapapun dan dalam keadaan apapun.” Ungkapan ini tidak bohong, setidaknya Ibu Teresa sudah menjadi teladan yang lain dari disiplin doa ini. Setiap pagi sebelum mengawali pelayanannya, dia akan berdoa memohon agar dia dimampukan menemukan wajah Kristus dalam tiap orang yang ditemuinya hari itu dan digerakkan oleh belas kasih Kristus untuk merawat mereka.
Hal ini pula yang kemarin sempat disinggung oleh salah satu rekan dalam sesi sharing di Monday Morning Service. Selain soal memiliki waktu khusus untuk berdoa, masih ada sharing lain yang tak kalah menarik untuk direnungkan, setidaknya oleh saya. Ibu Debora menceritakan bahwa hari minggu lalu dia ke Kutoarjo dan bertemu dengan tetangganya yang ternyata sakit diabetes. Hari minggu itu, si bapak yang sakit diabetes ini sedang meringkuk menggigil di sofa. Ibu Debora bercakap-cakap dengannya dalam perjalanan ke rumah sakit. Si bapak menceritakan kisah hidupnya, dia banyak menyakiti hati istrinya dan sekarang dia ingin menceraikan istrinya dan ia sudah memiliki pacar baru yang mau dinikahi segera setelah perceraiannya diluluskan. Di akhir percakapan itulah, si bapak minta didoakan. Ibu debora mendoakannya. Namun kemarin beliau terusik dengan pertanyaan, apakah doanya untuk orang itu akan didengar Tuhan? Apa yang sebenarnya terjadi di dalam doa? Bagaimana kita tahu bahwa Allah menjawab doa-doa kita? Bosworth menulis, “Kita dapat memahami bagaimana doa itu bisa terjawab sekiranya kita percaya bahwa Allah bisa menaruh pikiranNya ke dalam hati kita.” Almarhum Eka Darmaputera berpendapat bahwa tidak hanya pikiran Allah saja yang ada dalam hati kita tetapi juga seluruh diriNya dia pertaruhkan dalam hati Anda dan saya! Kehendaknya mengaliri kehendak kita. Cintanya mengaliri cinta kita. Itulah artinya doa.[1] Anda dan saya perlu meyakini bahwa Allah kita adalah Allah yang mendengar (Yesaya 64:4). Jadi, untuk apa kita ragu berseru padaNya? Mengutip perkataan Frank Laubach, “pray is the mightiest force in the world”, walaupun doa juga adalah the mysterious thing in the world.
Berbicara soal doa, kemarin ada ungkapan seorang teman yang mengatakan bahwa doa itu bukan hanya duduk manis lipat tangan lalu diam menanti keajaiban “abrakadabra” dari Tuhan. Memangnya Tuhan itu tukang sulap? Tetap diperlukan upaya dari diri kita. Menurut almarhum Eka Darmaputera, ada dua aspek dalam doa yaitu “Komuni dan Komisi”. Yang pertama, melalui doa kita bersekutu dengan Allah (communion) dan dalam persekutuan dengan Allah itu kita diberi tugas oleh Allah, inilah komisi (commision). Komuni dan komisi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Keduanya bagaikan dua pembuluh darah utama yang terdapat di jantung doa kita. Oleh sebab itu dua pembuluh itu tak boleh ada yang tersumbat, artinya komuni tanpa komisi adalah persekutuan yang mati dan begitu juga sebaliknya, komisi tanpa komuni adalah aktivitas yang kering dan perlahan akan mati. Stanley Jones mengiaskannya dengan orang yang menyadap pohon karet. Pertama, kulit pohon karet disayat cukup dalam. Pedih. Perih. Melalui alur sayatan itulah getah karet akan mengalirtetes demi tetes dan memenuhi mangkok yang ditempelkan erta-erat ke ujung sayatan untuk menampung getah yang mengalir. Hidup Anda dan saya bagaikan mangkok itu. Melalui doa, Anda dan saya mengkomunikan mangkok kehidupan ke luka sayatan Tuhan kita. Menampung aliran darah kasihNya yang menguatkan dan mengampuni.Dan ketika mangkok itu penuh maka perlu dikosongkan (di-komisi…di bagikan) agar dapat menampung getah yang baru. Doa bukan sulap,tetap diperlukan daya dari diri kita.
Nah, ini yang terakhir, kalau mau diterus-teruskan maka tidak akan pernah ada habisnya kita bicara soal doa yang ternyata punya banyak dimensi. Seorang teman sharing tentang sepasang suami istri, mereka pasangan muda. Mereka berdua dikenal sebagai pasangan yang baik dan terlibat dalam pelayanan di gereja. Kehidupan rumah tangga mereka nampak harmonis dan baik-baik saja. Namun segalanya menjadi runyam, tatkala setelah melahirkan anak mereka, si istri tidak sadarkan diri atau lebih tepatnya disebut koma selama tiga tahun (sampai tulisan ini dibuat). Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Sudah banyak kerabat dan kawan yang memberi saran agar si istri di euthanasia saja, dan si suami dapat menikah lagi dan membentuk keluarga yang baru. Namun si suami berkeras untuk tetap bertahan menunggu sampai istrinya pulih dan membesarkan anak mereka. Dia memiliki kekuatan seperti itu barangkali karena doa yang tiada henti yang dia panjatkan pada DIA yang mau mendengar dan mendampingi. Praktek hidup doa yang tiada henti dia sampaikan pada pemilik hidup bukanlah hal yang gampang. Kadangkala menyelusup perasaan frustasi karena serasa doa tak benar-benar didengar, tak ada respon. Ada perasaan kawatir, takut, pilu melihat istri terbaring selama tiga tahun tanpa membuka mata dan menggerakan badan. Perasaan semacam ini wajar. Tetapi komunikasi yang tiada putus pada Allah Sang Pemilik Hidup menjadi kekuatan yang memampukannya menanggung beban hidup yang berat. Barangkali perspektif Anda dan saya yang mesti diubah, bukan lagi fokus pada apakah doa akan dijawab sesuai pesanan kita, tetapi menghayati proses komunikasi dengan Allah sebagai sebuah latihan untuk mengasah iman kita. Apakah kita hanya memandang pada barang pemberian tetapi lupa pada Sang Pemberi? Selamat merenung….
Selamat berdoa…
Yogyakarta, 23 Maret 2010
Defrita Rufikasari
[1]Eka Darmaputera, 365 anak tangga menuju hidup berkemenangan. P.356