Bila hendak ada damai di dunia,
bangsa-bangsa mesti hidup dalam damai
Bila hendak ada damai di antara bangsa-bangsa,
kota-kota hendaknya tidak saling berperang
Bila hendak ada damai di kota-kota,
para tetangga harus saling memahami
Bila hendak ada damai di antara para tetangga,
mesti ada keharmonisan di rumah tangga
Bila hendak ada damai di rumah tangga,
kita masing-masing mesti menemukan hati kita
-Lao Tsu, abad ke-6 S.M-
Dalam
perjalanan hidup ini, ada banyak kejutan-kejutan kecil yang disiapkan Tuhan
untuk saya. Termasuk kejutan saya menghadiri Asia-Pacific Student and Youth
Gathering (ASYG) yang diadakan di Bukal Ng Tipan, Taytay Rizal, Filipina dari
30 Agustus-5 September 2013. Kejutan yang menghantarkan saya mengalami
perjumpaan dengan sesama yang memperkaya batin. Sebenarnya, ini adalah kali
pertama Indonesia melalui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
mengikuti forum ASYG. ASYG sendiri adalah forum pertemuan yang diprakarsai oleh
Ecumenical Asia Pacific Students and Youth Network (EASY NET) yang
beranggotakan:
·
International Young Christian
Students (IYCS)
·
International Movement of Catholic
Students (IMCS)
·
Christian Conference of Asia (CCA)
·
World Student Christian Federation
Asia-Pacific (WSCF-AP)
·
Young Mens’ Christian Assosiation
Asia-Pacific (YMCA-AP)
·
World Young Women’s Christian
Association (World YMCA)
·
Asia Pacific Allianceof YMCAs (APAY)
·
International
Young Christian Workers (IYCW)
Dan kini Christian Churches in
Indonesia (CCI) atau PGI menjadi salah satu anggota EASY NET bersamaan dengan
Hong Kong Christian Council dan Hong Kong Christian Students. Sebuah “kemajuan”
yang sangat baik mengingat harus diakui dengan jujur kurangnya partisipasi dari
pemuda-pemudi Kristen Indonesia dalam forum-forum Internasional seperti itu.
Sebagai anggota termuda dan kali pertama bergabung dalam EASY NET, PGI
mengirimkan kurang lebih 35 utusan termasuk di dalamnya Sekretaris Eksekutif
Depera PGI, Frangky Tampubolon yang ikut mendampingi para delegasi dari
Indonesia.
Dari
35 delegasi Indonesia, GKI SW Jateng mengirimkan 6 orang yaitu Pdt. Samuel Adi
Perdana, Pdt. Debora Vivi, Pdt. Bonnie Andreas, Pdt. Surya Samudera Giamsyah,
Haleluya Timbo Hutabarat dan saya. Sebelum berangkat ke Manila, tim dari GKI SW
Jateng sudah “rapat harian” mempersiapkan segala hal yang mungkin diperlukan
selama mengikuti ASYG. Dan syukur, segala macam persiapan itu sangat menolong 6
orang delegasi dari GKI SW Jateng untuk berpartisipasi secara aktif di setiap
kegiatan ASYG.
Asia-Pacific
Student and Youth Gathering kali ini mengambil tema “JUSTICE AND PEACE NOW!”.
Pertemuan ini dalam rangka menyongsong sidang WCC di Busan, Korea Selatan
Oktober 2013 yang memiliki tema: GOD OF LIFE: LEAD US TO JUSTICE AND PEACE.
Melalui ASYG ini dihasilkan berbagai macam rekomendasi dari pemuda-pemudi se
Asia-Pacifik yang akan disampaikan dalam sidang WCC nanti. Dalam rangka
mendukung tema JUSTICE and PEACE NOW! Maka dalam ASYG ada yang namanya EXPOSURE.
Exposure dibagi ke dalam beberapa kelompok dan lokasi yang masing-masing
memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Unik dalam pengertian kasusnya, unik
dalam penanganannya dan unik dalam pemaknaannya. Enam delegasi dari GKI SW
Jateng pun memisahkan diri ke dalam kelompok-kelompok exposure yang sesuai
dengan minatnya. Saya dan Pdt. Bonnie Andreas memilih exposure ke indigenous people di Barangay Laiban,
Tanay Rizal, Filipina. Dalam exposure tersebut saya mendatangi dua desa
(sitio-tagalog) yaitu Sitio Manggahan dan Sitio Magata.
Kata Laiban memiliki akar kata “Laib”
yang berarti “Baga” atau arang. Selama abad ke 16, masyarakat yang tinggal di
Laiban menggunakan arang untuk mengeringkan kulit kayu atau daun yang nantinya
akan mereka gunakan sebagai pakaian. Dari kebiasaan inilah maka munculah nama
Laiban. Pada tahun 2012 populasi di Laiban kurang lebih 4500 orang (2700
perempuan dan 1800 laki-laki). Mata pencaharian mereka adalah bertani,
memancing dan berdagang. Setidaknya ada 10 keluarga yang memiliki kendaraan
umum yang membawa mereka dari barangay ke kota, sitios ke kota dan sebaliknya.
Produk-produk pertanian yang sebagian mereka jual adalah jagung, kelapa,
pisang, alpukat, kacang, jahe, dan ubi serta masih banyak yang lainnya.
Saya dan
kelompok menempuh jarak 33 kilometer untuk mencapai Barangay Laiban, Sitio Manggahan.
Sesampainya di Sitio Manggahan, saya dan teman-teman berkenalan dengan kepala
suku di sana dan mulai mengunjungi kebun kacang panjang, serta mendaki “tembok
batu” untuk mencapai kebun labu. Mengapa saya bilang tembok batu? Kontur dari
bukit ini nyaris tegak lurus seperti batu, dibutuhkan kerjasama yang baik dan
kondisi tubuh yang baik mengingat panasnya luar biasa. Dan karena panasnya luar
biasa itulah saya tidak bisa menikmati perjalanan ini. Saya terus
bertanya-tanya “mau apa sih di kebun
labu? Sesampainya di puncak saya menyaksikan hamparan kebun labu dan hutan di
punggung Siera Madre. Di situlah saya melihat area yang sangat luas dan sangat
indah ini akan diratakan dengan tanah demi pembangunan dam yang akan menyuplai
air dan listrik ke Manila. Padahal penduduk di Sitio Manggahan dan Magata tidak
mendapatkan aliran listrik dari pemerintah.
Tidak sia-sia
pendakian “tembok batu” di siang yang terik itu. Sebab di situlah spot terbaik untuk melihat bagaimana
sekelompok orang dikuasai ketamakan dan rela menghancurkan alam serta penduduk
Barangay Laiban demi sebuah pembangunan yang nyatanya hanya mensejahterakan
sekelompok orang. Pemandangan yang miris
mengingat keramahan dan kesederhanaan penduduk di Sitio Manggahan dan Sitio
Magata, serta keindahan alam yang tidak ada bandingnya. Gunung Siera Madre yang
melindungi dan menghidupi mereka, sungai yang jernih dan tanah yang subur. Akankah
ini semua akan menjadi kenangan?
Penduduk di
Sitio Magata dan Sitio Manggahan sudah berupaya sedemikian rupa agar pembangunan
dam dibatalkan. Dalam perbincangan bersama dengan beberapa keluarga di dua
sitios tersebut, mereka menceritakan bahwa pemerintah Filipina akan menunda
pembangunan dam sampai kurang lebih 2 tahun mendatang. Beberapa menyikapinya
dengan tidak mau bercocok tanam apapun karena bagi mereka janji 2 tahun lagi
itu tidak bisa dipegang karena mereka berurusan dengan pemerintah. Sedangkan
beberapa tetap berusaha bercocok tanam sampai waktunya tiba mereka tidak dapat
lagi tinggal di sana.
Dalam perjalanan ke Sitio Manggahan
saya berjumpa dengan dua orang anak laki-laki bertubuh kurus mengangkut
sekarung arang yang lebih besar dari tubuhnya. Badan mereka hitam oleh arang,
langkah sempoyongan menahan beban karung dan kondisi jalan yang tidak rata.
Rupanya banyak sekali anak-anak di Sitio Manggahan yang tidak bersekolah dan
bekerja sebagai kuli arang demi mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Beberapa
anak yang lebih kecil hanya bermain ke sana ke mari.
Kemiskinan dan penderitaan tidak menghapuskan keceriaan senyum dan suara tawa
mereka. Namun saya meyakini bahwa di lubuk hati mereka yang terdalam, mereka
sangat ingin sekolah. Pergi ke sekolah pagi-pagi bukan pergi mengangkut karung
arang seharian. Sebenarnya ada sekolah di Sitio Magata yang dapat ditempuh dengan
jalan kaki dan menyeberangi sungai dari Sitio Manggahan. Namun beban
perekonomian menuntut anak-anak ini memilih bekerja demi membeli beras bagi
keluarga.
Dari exposure
di Barangay Laiban saya melihat mitos pembangunan yang berlangsung langgeng di
negara-negara berkembang. Pembangunan yang bertujuan menyejahterakan, ternyata
hanya dinikmati beberapa orang saja. Pembangunan justru meminta tumbal
orang-orang seperti di Barangay Laiban-rakyat kecil dan meminta korban dari
Siera Madre-alam.
Satu komentar
dari seorang ibu yang saya jumpai dalam perjalanan ke Sitio Manggahan, “Kalian luar biasa, dari negeri-negeri jauh
mau datang menengok kami. Kalian tahu, pemerintah tidak perlu mengurusi kami. Siera
Madre mengurus kami.” Ibu tadi berbicara dengan penuh semangat dalam bahasa
tagalog yang diterjemahkan oleh teman saya dari Filipina, Christian Lina. Ungkapan
yang diucapkan oleh perempuan sederhana namun pesannya menohok. Sebab seringkali orang-orang dari luar komunitas bertindak
bak mesias, padahal yang paling dibutuhkan mereka adalah “biarkan kami tetap
tinggal di sini bersama alam dan tradisi kami”. Bagaimana di Indonesia? Apakah
ada konteks serupa?
Seperti
tulisan Lao Tsu di atas, saya menemukan diri saya ketika berjumpa dengan Tita (bibi) Ruby, Kuya (abang) Edward (fasilitator dari Harris Memorial
College-Community Extension Services and Development) serta orang-orang di
Sitio Magata dan Sitio Manggahan. Panas terik, lelah dan migrain justru
mengantarkan saya untuk belajar memahami perjuangan mereka. Ya, bila ingin
mewujudkan kedamaian, maka pertama-tama temukan diri kita sendiri. Dari sana
terbit empati dan dorongan untuk melangkah bersama dalam perjalanan panjang
menuju keadilan dan kedamaian…
MARAMING
SALAMAT PO! MABUHAY!
behhh... ibu ini laporannya ditel bangeeetttt....
BalasHapussalam dari kupang... ;)