Ketika saya membuka hubungan dengan
kawan-kawan di seberang pulau dan benua, hanya sepersekian detik kemudian, maka
saya sudah dilimpahi banyak berita. Barangkali itulah sebabnya banyak orang
yang akhirnya terpaku di depan layar komputer, laptop, tablet, smartphone
karena ada banyak berita yang menuntut dicermati entah penting atau tidak.
Beberapa hari belakangan memang saya menjadi kian akrab dengan beberapa sosial
media. Yang awalnya hanya membagi pikiran sekarang berubah menjadi obrol sana
obrol sini. Ya, rapat yang dulunya hanya terjadi di dunia nyata, kini tengah
berlangsung di dunia maya.
Maka suatu
pagi di hari Minggu, saya mendapat kabar dari teman saya di Pakistan bahwa
telah terjadi bom bunuh diri di tengah misa. Beberapa saat kemudian seorang teman
di Tangerang mengirimkan kabar bahwa sebuah gereja katolik di dekat tempat
tinggalnya ditutup. Tak lupa ia mengirimkan selebaran yang berisi ajakan untuk
bersama-sama menolak pembangunan gereja tersebut.
Kemudian
ditambah kabar dari teman saya di Bangladesh yang menceritakan situasi opresif
yang umat Kristen hadapi di Bangladesh. Ya, satu hari Minggu itu saya melihat
wajah Pakistan, wajah Tangerang dan wajah Bangladesh. Wajah penuh duka. Wajah
penuh ketakutan dan kerapuhan.
Teman-teman
saya di Hong Kong, Taiwan, Thailand, Filipina, Jepang, dan Korea serta New
Zealand bersama-sama memanjatkan doa bagi semua orang yang sedang mengalami
penderitaan di Pakistan, Tangerang dan Bangladesh. Dalam sosial media itu pula
beberapa teman menyampaikan keprihatinan dan solidaritasnya.
Pikiran
saya terbang pada sebuah ingatan ketika saya di Hong Kong, seorang teman
bertanya tentang kabar penutupan gereja, penyerangan terhadap komunitas
Ahmadiyah dan Syiah. Ah…berita tentang negera saya sudah menyeberangi lautan
mendahului saya. Tak banyak yang bisa saya ceritakan padanya. Sebab kata-kata
yang tidak diwujudkan menjadi tindakan akan membawa petaka, begitu kata William
Blake.
Namun
ketika pertanyaannya beralih “Apa kontribusi gerejamu?” saya hanya diam. Saya
mungkin yang bodoh dan tidak tahu apa saja karya yang sudah dibuat oleh gereja
saya. Maka saya diam daripada salah bicara. Saya mengalihkan pandangan pada
kapel pagoda yang menjadi kelabu karena taifun berhari-hari.
Dan
kini di sini, di rumah saya duduk dan menyimak semua berita yang disampaikan
oleh teman-teman saya dengan duka yang mendalam. Benarkah kebrutalan bisa
dilawan? Saya berjuang mati-matian untuk meyakini bahwa Indonesia akan menjadi
lebih baik, bahwa dunia akan menjadi damai. Namun jam demi jam, berita dari
pelosok negeri nampaknya makin runyam.Siapapun yang menjadi presiden, entah
dari partai politik mana pun yang berkuasa, apa pun rancangan-rancangan ekonomi
mereka, atau bahkan ketika hal itu tidak, tetap runyam.
Saya
menyaksikan kekerasan demi kekerasan terhadap umat beragama lain hanya melalui
gambar, bukan melihat secara langsung. Namun pesan yang terpampang dalam gambar
dan berita yang berseliweran itu menimbulkan keprihatinan. Tidak bisakah kita
hidup dengan damai dan rukun karena sesungguhnya kita menjejak di bumi yang
sama? Menghirup udara yang sama? Melihat matahari yang sama? Saya punya harapan
bahwa suatu ketika nanti di bumi ini orang tidak lagi dinilai dari warna
kulitnya, tidak lagi dinilai dari apa agamanya, apa sukunya, apa pekerjaannya,
kaya atau tidak, pandai atau bodoh, tidak dinilai dari orientasi seksualnya.
Namun setiap orang disambut, dirangkul, dan dilibatkan dalam keramahtamahan.
Dalam salah
satu mitos penciptaan Yunani, Zeus menjadi murka karena Prometheus telah
mencuri api dan dengan demikian memberikan kekuasaan kepada manusia untuk hidup
mandiri. Maka dikirimnya Pandora untuk menikah dengan saudara lelaki Prometheus
yaitu Ephemetheus. Pandora membawa sebuah kotak yang tidak boleh dibukanya.
Akan tetapi, seperti kejadian dengan Hawa dalam mitologi Kristen, rasa ingin
tahu tak terbendung lagi. Maka dibukanya tutup kotak itu untuk melihat isinya.
Seketika itu juga semua kejahatan di dunia ini terbang keluar dan menyebar ke
seluruh penujuru bumi. Tetapi masih ada yang tersisa di dalam kotak yaitu
harapan.
Jadi walaupun
segalanya nampak runyam dan melahirkan sikap pesimis, meskipun saya menjadi
gundah, dan tidak berdaya melihat situasi yang tidak makin membaik sedikit pun,
saya tidak boleh kehilangan hal yang membuat saya tetap hidup: HARAPAN. Kata
yang seringkali diremehkan oleh beberapa orang karena dianggap meninabobokan.
Kata yang telah begitu banyak diplintir oleh pemerintah-pemerintah yang membuat
janji-janji yang banyak kali tidak mereka tepati. Dan akhirnya menimbulkan
banyak luka di hati orang-orang.
Kata yang
saat ini saya pegang erat-erat karena sepelik apapun jalan hidup saya, kata itu
sudah membuat saya hidup. Maka saya tidak akan membiarkan kata-kata yang bangun
bersama saya di pagi hari itu menjadi terluka parah saat siang hari dan mati
mengenaskan di malam hari. Ada pepatah yang mengatakan, “Di mana ada kehidupan,
masih ada harapan”. Berpegang pada pepatah itu saya optimis menapaki jalan
hidup saya dan optimis untuk Indonesia yang lebih ramah, dan dunia yang lebih
damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar