Lagi-lagi saya diberi kejutan oleh
Tuhan. Melalui Depera PGI dan restu dari Pdt. Samuel Adi Perdana, saya
berangkat ke Hong Kong seorang diri mengikuti Ecumenical Youth Leadership Development On Justice And Peace Building
yang diselenggarakan oleh Christian Conference of Asia Ecumenical Formation,
Gender Justice and Youth Empowerment dari tanggal 12-16 Agustus 2013 di Tao Fong Shan Christian Center, Shatin,
N.T, Hong Kong.
Training peace building ini diikuti
oleh utusan dari Korea, Jepang, Taiwan, Thailand, Malaysia, Filipina,
Indonesia, Hong Kong, dan New Zealand. Tidak banyak pesertanya, kurang lebih 20
orang karena memang bentuk kegiatannya training bukan gathering. Training ini memiliki tema: JUSTICE-PEACE FOR LIFE:SOWING THE GRAINS OF
PEACE. Training dalam rangka menyongsong Sidang Raya WCC di Busan, Korea
Selatan, Oktober 2013.
Saya
tiba di Hong Kong tanggal 10 Agustus 2013 jam 21.00 waktu setempat. Setelah
selesai mengurus ini dan itu di bandara, saya melanjutkan perjalanan dengan
taxi menuju Tao Fong Shan Christian Center. Empat puluh lima menit kemudian
saya tiba di sana. Disambut dengan suasana sepi. Setelah berkeliling ke semua
lorong dan gedung akhirnya saya bertemu dengan seorang petugas di sana yang
kesulitan menyebutkan nama saya. Dengan cepat dia menjelaskan apa yang boleh
saya lakukan dan yang tidak boleh saya lakukan. Setelah itu ia mengantar saya
ke kamar. Di sana sudah ada teman sekamar saya dari New Zealand, Janice namanya.
Pagi harinya saya dan Janice mengikuti ibadah di kapel yang naasnya
dilangsungkan dalam bahasa kanton. Tentu saja saya hanya paham “Amin” lain
tidak. Tetapi keramahan mereka menyambut saya yang disangka orang Hong Kong
ternyata orang Indonesia membuat saya tidak merasa terasing atau diasingkan.
Kegiatan
di hari Minggu nan panas itu hanya saya isi dengan berkeliling lokasi Tao Fong
Shan dengan teman sekamar dan teman dari Malaysia. Sore harinya kami menuju
pusat kota bersama dengan teman dari Taiwan yang sedikit bisa berbicara bahasa
kanton. Syukur kepada Allah! Sebab tidak semua orang-orang di Hong Kong
memahami bahasa inggris. Puas melihat Sha Tin, kami bergegas kembali ke Tao
Fong Shan sebab makan malam disediakan dari jam 18.00-19.00 lewat dari jam itu,
maaf, silahkan makan mie instan. Saya dan teman dari Malaysia, Taiwan, New
Zealand dan Filipina serta Grace Moon dari CCa makan malam dengan menu
tradisional China dan diiringi dengan instrumentalia lagu-lagu Taizé di dining
hall yang arsitekturnya kental nuansa China tradisional. Pengalaman makan malam
yang mengesankan.
Hari
pertama diisi dengan presentasi dari negara masing-masing peserta training.
Tema yang diberikan untuk peserta dari Indonesia adalah “Globalization and Freedom Religious in Indonesia. Setelah itu
dilanjutkan dengan diskusi terbuka menanggapi presentasi. Barulah di hari kedua
training dimulai. Narasumbernya adalah Baht Latumbo dari Filipina. Dia
mengawalinya dengan “permainan” Agree or Disagree. Dia memunculkan banyak
statement-statement baik tentang konflik, kekerasan, dan ketidakadilan dll.
Dalam beberapa kali kami diminta menyampaikan alasan mengapa kami setuju dan
mengapa ragu-ragu, atau mengapa tidak setuju.
Setelah
itu Baht memaparkan bentuk-bentuk kekerasan dan Anthony Hope memaparkan tema
gender dan keadilan yang semakin menambah wawasan dan kepekaan terhadap
situasi-situasi ketidakadilan yang dihadapi oleh orang lain termasuk juga
mungkin yang dihadapi diri sendiri. Anthony Hope sendiri datang setiap pagi
untuk membawakan PA interaktif.
Dalam
dua hari terakhir, Baht mengajarkan “ACTIVE NON VIOLENCE” yang sangat menyentuh
setiap partisipan. Baht menjelaskan bahwa ada berbagai macam respon kita
terhadap kekerasan yang terjadi terhadap kita atau komunitas:
·
Passivity
Respon
ini muncul karena merasa tidak berdaya, lemah, takut, tidak terorganisir, tidak
ada sebuah ikatan batin dalam suatu komunitas. Dampak dari sikap ini adalah
ketidakadilan masih berlangsung, pelaku penindasan semakin merasa berkuasa. Dan
Baht menambahkan bahwa dengan bersikap pasif, sebenarnya kita turut mendukung
langgengnya ketidakadilan di masyarakat. Dalam konteks ini diam tidak selalu
emas.
·
Counter
Violence
Respon
ini muncul karena seseorang atau komunitas sudah merasa terjepit dan ingin
segera menyudahi keadaan yang tidak
adil. Responnya seringkali sama atau bahkan lebih buas daripada
perlakuan si penindas. Dampaknya adalah kita seperti hamster yang
berputar-putar di lingkaran kekerasan, kita menolak kekerasan dan menolak
ketidakadilan namun kita justru menindas orang lain. Dan sadar atau tidak
respon ini justru menyemai konflik yang baru, menambah dendam, dan melahirkan
bentuk-bentuk kekerasan yang baru.
·
Active
Non Violence (ANV)
Definisi dari
Active Non Violence adalah sistem individu atau komunitas yang berlandaskan
kasih dan keadilan yang bertujuan menciptakan rekonsiliasi. Karakteristik dari
ANV adalah:
1.
Proclaim
The Truth
Setiap kita yang mengaku murid Kristus harus
menyuarakan kebenaran sekalipun dengan suara gemetar. Kebenaran bahwa kita
hidup di bumi yang sama mengapa tidak bisa akur, tidak bisa saling menghargai
dan merawat?
2.
Protest
The Injustice
Sebagai murid Kristus kita harus dengan teguh
menentang kekerasan terhadap kemanusiaan dan terhadap alam. Sampai di poin ini
saya tercenung. Apakah saya, gereja sudah teguh dan lantang memprotes ketidakadilan yang melanda
banyak komunitas, banyak kaum marginal di Indonesia? Atau selama ini
jangan-jangan saya, gereja hanya sibuk dengan diri sendiri?
3.
Penetrate
The Conscience Of The Adversary
Sebagai murid Kristus kita harus meyakini bahwa
sejahat-jahatnya orang, di dalam dirinya ada pijar kebaikan. Seperti kata Nelson
Mandela, “No one is born hating another
person because of the colour of his skin, or his background or his religion.
People learn to hate and if they learn to hate, they can be taught to love for
love comes more naturally to the human heart than its opposite.”
4.
Part
From Injustice
Sebagai murid Kristus kita harus menolak terlibat dan
melakukan ketidakadilan. Menjadi agen-agen pembawa damai itu membutuhkan
konsistensi dan integritas. Tidak bisa kita bilang “pejuang damai” namun di
rumah atau di lingkungan masyarakat kita bertindak diskriminatif.
5.
Pray
Incessantly
Sebagai murid Kristus kita harus merendahkan hati kita
dihadapan Allah dan tidak menyombongkan diri sebagai orang hebat yang mampu
membawa perdamaian. Karena sesungguhnya kita bisa menjadi pembawa damai oleh
karena Allah memberi kita kekuatan dan harapan.
6.
Pay
The Price
Menjadi murid Kristus yang memperjuangkan keadilan dan
kedamaian harus berani dan rela membayar harga yaitu menerima setiap resiko
buruk yang mungkin terjadi bahkan yang berujung pada kematian.
Dalam diskusi
mengenai ANV, Baht dengan sangat indah mengajak partisipan untuk merefleksikan Yohanes
8:2-11. Kisah seorang perempuan yang ketahuan berzinah dan nyaris dirajam batu
sampai mati oleh masyarakat. Dalam refleksi itu Baht mengajak partisipan
menelaahnya dengan kacamata ANV. Pertama, pertanyaan Yesus: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama
melemparkan batu kepada perempuan itu." Pertanyaan Yesus ini hendak
menunjukkan bahwa “Setiap orang sesungguhnya berdosa” jadi tidak ada seorang
pun yang paling suci di dunia ini.
Bukankah dalam kasus perzinahan,
bukan hanya perempuan saja pelakunya, tentu lebih dari satu orang, lalu mengapa
hanya perempuan itu saja yang hendak dirajam? Tentu ada yang salah dalam sistem
keberagamaan yang berlangsung saat itu, maka pernyataan Yesus menunjukkan
protesnya terhadap sistem keberagamaan yang ada saat itu, yang bias gender.
Melalui satu kalimat itu Yesus juga hendak penetrate
the conscience of the adversary. Kalimat Yesus menyentak kesadaran mereka
tentang arti hidup beragama mereka selama ini. Dan Yesus memutuskan untuk tidak
mengambil bagian dalam tindakan penuh ketidakadilan itu sekalipun sudah
digariskan dalam hukum. Dia tidak ikut-ikutan mengambil batu dan merajam
perempuan itu.
Kemudian Baht berefleksi bahwa
ketika Yesus sedang duduk dan menulis di tanah, dan kita tidak tahu apa yang
dia tuliskan, Yesus sedang berdialog dengan Bapa-Nya. Memohon kekuatan dari
Bapa-Nya dan kebijaksanaan untuk melihat kasus ini dengan jernih. Dan yang
terakhir adalah, dengan sikap Yesus yang active non violence, Dia sangat
beresiko dirajam batu saat itu karena ia tampil menyatakan kebenaran dan
keadilan demi kemanusiaan si perempuan tersebut. Setelah orang-orang itu pergi,
Yesus pun tidak menghakimi si perempuan, Dia hanya berpesan, “Akupun tidak
menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Menjadi
murid Kristus kita memang harus meneladani gaya hidup-Nya salah satunya adalah
menjadi orang-orang yang Active Non Violence. Ketika saat ini di Indonesia kita
diperhadapkan dengan banyak permasalahn mulai dari soal perekonomian hingga
soal maraknya kelompok-kelompok radikal yang menjelma hakim dan jagal bagi umat
Kristen, Katholik, Ahmadiyah, Syi’ah, apa peran serta yang bisa kita lakukan
berkaca dari prinsip Active Non Violence ala Yesus? Di balik perasaan pesimis
dan serba runyam yang melanda negeri ini, toh saya masih melihat ada harapan di
dasar kotak pandora yang kadung terbuka.
Bersamanya mari menaburkan benih-benih keadilan dan kedamaian di manapun kita
berada…