Great relationship aren't great because they have no problems.
They are great because both people care enough about the other person to find a way to make it work."
Begitulah ujaran yang saya baca di time line seorang kawan. Terhenyak juga membacanya ketika teringat harapan dari tiap pasangan bahwa hubungan mereka akan lancar jaya. Well, lancar jaya tak membuat seorang nahkoda mahir mengemudikan kapal dan membaca tanda-tanda alam. Tantangan dan badai justru menjadikan nahkoda lihai mengemudikan kapal.
Setahun yang lalu tepatnya tanggal 21 Februari 2015, saya sengaja menghabiskan akhir pekan sendirian. Tak ingin pergi kemanapun dengan siapapun. Ya, semacam "me time".Maka weekend saya diisi dengan menyaksikan film "The Theory of Everything". Film yang mengulik kehidupan personal begawan Fisika, Stephen Hawking. Menarik, sebab acapkali orang beranggapan memiliki relasi dengan orang-orang eksak itu garing. Ah, masak sih! Tak sepenuhnya benar, tak sepenuhnya salah. Tergantung bagaimana cara kita memandang dan memperlakukan pasangan yang orang eksak itu.
PADA MULANYA ADALAH CINTA....
jujur saja menonton film ini membuat saya menangis di beberapa adegan. Apa yang membuat saya terharu? Cinta! Jane, kekasih hati Stephen Hawking itu tahu bahwa kekasihnya sakit. Jika ia tetap memutuskan menghabiskan hidup ini dengan Hawking, ia akan tahu repotnya berumah tangga dengan partner yang lumpuh. Tapi satu saja keyakinan yang Jane pegang, "I love him, he love me too." Sederhana? ya, itu saja modal Jane untuk mengarungi hidup bersama Begawan Fisika yang lumpuh itu. Dan itu saja modal Jane untuk memerangi penyakit Hawking.
Babak baru kehidupan mereka dimulai, kini "modal" itu diuji. Apakah cukup atau justru semakin berkurang? Jane melahirkan seorang bayi laki-laki, kondisi Hawking semakin buruk tetapi tidak dengan otaknya. Kemudian Jane melahirkan lagi seorang bayi perempuan, dan kondisi Hawking semakin parah. Praktis ia kini hanya di kursi roda.
Dalam segalanya, Jane menunjukkan pengabdian cinta yang luar biasa kepada Hawking. Ia tahu Hawking tak akan bisa bermain-main dengan anak lelakinya, atau menuntun anak perempuannya jalan-jalan, bahkan tak bisa membelai Jane. Kelumpuhan Hawking semakin parah hingga Hawking tak dapat bersuara.
JEDA....
Ada satu titik dalam kehidupan Jane ketika ia sadar "modal" yang ia bawa dan menjadi motornya selama ini sudah habis. Ia terus memberi, ia terus mengabdi, tetapi ia rindu diisi. Apakah Hawking egois? Memperbudak Jane, alih-alih membayar perawat? Sama sekali tidak. Hawking tahu Janes susah payah merawat dirinya dan anak-anak plus mengejar impiannya meraih gelar Ph.D di bidang puisi Spanyol era Medieval. Bukan hal mudah bagi perempuan seperti Jane ataupun Hawking berada dalam situasi seperti ini. Jane menjerit dalam hatinya ketika ia sadar kondisi semakin sulit, dan keluarga muda mereka bukan keluarga "normal".
Bisa dipahami jika dalam kondisi seperti itu, Jane merasa lelah. Tetapi apakah artinya ia berhenti mencintai Hawking? Menyerah? Tidak! Tetapi cinta butuh jeda. Jane butuh aktivitas lain selain berkutat di rumah dan kampus. Jeda yang ia pilih adalah kembali bergabung dengan kelompok paduan suara di gereja. Ya, Jane seorang perempuan Kristen yang taat sedangkan Hawking tidak. Jeda ini membuat kisah menjadi berbeda. Jane dan Hawking tak akan pernah sama lagi. Entahlah apakah bintang mereka kian benderang atau justru meredup dan berakhir?
APA ITU CINTA?
Awalnya saya menganggap sosok seperti Jane adalah istri yang ideal yang mengabdi pada suami walaupun suami sakit keras. Tetapi kemudian saya teringat akan banyak perempuan di sekitar kehidupan saya yang seperti Jane. Menunjukkan ketangguhannya. Tak perlu jauh-jauh, ibu, mama, bunda, biyung, simbok kita, mereka adalah potret perempuan yang tangguh memberi diri bagi keluarga. Tanpa kita sadari, jangan-jangan mereka butuh jeda...
Cinta yang mereka tunjukkan itu membuat kita sadar bahwa cinta adalah kumpulan energi, keyakinan, dan doa tiada henti bagi suami dan anak-anak. Itulah yang sudah Jane dan perempuan-perempuan tangguh lakukan.
Tetapi kisah kita tak pernah linear. Maka kehadiran Jonathan di dalam keseharian Jane membuat Jane berada di persimpangan. Di bagian ini saya sempat "protes", di manakah kesetiaan Jane, janji sehidup sematinya? Namun kemudian saya mencoba melihat dari sudut pandang Jane. Iya, Jonathan sehat, pelatih paduan suara, memang ia bukan Begawan Fisika, ia pandai bermain piano, tampan, memenuhi kriteria sebagai bapak yang baik yang meluangkan waktu untuk bermain dengan anak-anak. Apa kurangnya? Apa salahnya? Seakan akan riak ini kurang meriah, hadirlah perawat perempuan yang menemani Hawking. Pendek cerita, Hawking pun jatuh cinta padanya. Entah apakah karena Jane sudah semakin sibuk dan menjauh dari Hawking karena ia serius menekuni disertasinya. Atau, ia sudah tahu bahwa "modal" itu sudah habis. Dan tak ada yang tersisa di antara ia dan Hawking.
Hawking pun akhirnya pergi ke Amerika bersama perawatnya karena Jane semakin sibuk dengan disertasinya. Jane di rumah dan ditemani oleh Jonathan. Sungguh, sampai di sini saya masih belum bisa mencerna cinta macam apakah yang terjadi di antara mereka? ataukah memang cinta ini tak butuh didefinisikan? Tak butuh dinamai?
Di akhir kisah, dituliskan bahwa Jane menikah dengan Jonathan, dan tetap berkawan baik dengan Hawking. Mereka memiliki tiga cucu dan Hawking masih terus berkarya di bidang Fisika.
Di bagian akhir film, mungkin sebagian mencaci Jane. Menganggapnya perempuan yang melanggar prinsipinya. Tetapi saya melihat sosok Jane sebagai perempuan normal yang bisa merasa jenuh, depresi, dan mengeluh. Justru saya belajar dari Jane dan Hawking.
Saya belajar bahwa "modal" cinta di awal saja tak cukup untuk mengarungi biduk rumah tangga berdua. Modal "i love him and he love me too" tanpa dirawat dengan perhatian, penghargaan akan habis "ditarik" terus sampai "0'. Jane lelah karena "hanya" dianggap sebagai perawat oleh Hawking (atau itu hanya perasaan Jane karena ketidakmampuan Hawking merespon dan menghujani Jane dengan perhatian layaknya suami?) Sementara Hawking tahu ia hanya menjadi beban buat Jane. Jane layak hidup lebih baik, lebih "normal" daripada bersamanya.
Dan, bagi saya itu cinta. Memang bukan dalam bentuk awalnya yang membawa mereka ke dalam pernikahan. Cinta yang mereka miliki di awal sudah padam seperti bintang yang mati dan meledak untuk digantikan dengan binar terang cinta yang lain seperti bintang yang baru lahir....
Bandung, usai Misa
14 Februari 2016
Yodeeruf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar