Berjalan menyusuri rindangnya salah satu sudut ibu kota,
Tanpa deru pacu kendaraan yang meraja,
Adalah kemewahan sederhana yang disyukuri sepenuh jiwa
Hanya ada kita dan mereka.
Masing-masing di jalan yang berbeda,
Dengan kisah yang tak sama.
Yang satu berjalan dengan gembira
Senyum menghias di wajah...
Sementara mereka duduk termangu menanti entah apa,
Perubahan kisah ku rasa...
Menyusuri jalan rindang dinaungi pepohonan gagah...
Ada gedung gedung tua berbaris rata,
Diam tak bersuara ketika ku sapa...
Namun bernyawa ketika kau bercerita...
Bisa ku bayangkan detik detaknya ketika berpuluh atau beratus silam pernah berjaya...
Dengan aneka tingkah pola penghuninya...
Dansa dansinya...
Obrolannya...
Lampu-lampunya...
Tangganya yang katamu megah...
Ah, gedung gedung tua ini punya cerita,
Ketika kau memberi mereka suara...
Siang itu, kau sajikan dengan cara sederhana
Namun bersahaja...
Sepenggal sisi lain ibu kota,
Setangkup cerita tentang yang tua dan semoga tak tersia-sia...
Engkau membawaku berkenalan dengan ‘nyonya rumah’ ketika masih muda belia
Belum banyak tingkah apalagi tebar pesona
Masih lugu apa adanya...
Hingga kini melenggang manja dengan segudang gaya...
Ah, sisi lain wajah ibu kota
Dari yang tak bersuara
Hingga merajut cerita...
Di sepanjang naungan pepohonan, diam-diam aku percaya...
Selama ada orang-orang sepertimu, maka gedung-gedung tua ini punya jiwa
Bukan sekedar tumpukan batu bata.
Bahwa fasad memang selalu bisa diubah
Tapi cerita? Itu nyawa...
Yang harus dijaga...
Terima kasih sudah membawaku berkenalan dengan kisah ibu kota dalam hamparan sejarah Nusantara...
antara Jakarta-Bandung
di atas deru besi beradu besi
Senin, 8 Februari 2016
Yodeeruf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar