Beberapa waktu yang lalu saya mendengarkan lagu Mocca tentang kota Parisj Van Java, begini syairnya:
There's a little city covered with hills and pleasant weather
come on baby i'll show you around
in my little town every corner tells you different stories
there's so many treasures to be found
welcome to flower city
my lovely city
roses blooming pretty
people say that home is where the heart is
it's a place with so much history
friendly Bandung city
holds the past of ancient glories
and a thrilling future mystery
welcome to flower city
my lovely city, my friendly city, my beloved city
even though it gets so over crowded
when i'm sitting in my car that stuck for hours
but i love it anyway
welcome to flower city...
Dari syairnya sambil menutup mata, Bandung memang memesona dalam segala sisinya. Tetapi di bait ke dua? Mocca sedikit menguak sisi lain Bandung yang rajin macet terlebih di akhir pekan. Walaupun ia menikmati kemacetan itu dari dalam mobilnya, bagaimana jika ia merasakan macet di angkutan umum? hahahaha :D mungkin bakal ada bait ke-3!
Di dalam kendaraan umum saya menikmati parade busana dan parade ekspresi ketika si Flower city mulai macet. Ada yang berdandan habis-habisan lengkap dengan bulu mata anti badai, sayangnya tak anti macet. Ada yang senyam-senyum menatap layar gawainya, barangkali dia sedang mengalihkan fokus dari kemacetan ke sesuatu yang menyenangkan di dunia maya sana. Ada yang menutup kuping mendengarkan musik. Ada yang cemas bolak balik menatap jam. Ada yang kipas-kipas kuatir kalau make up luntur karena sauna ala angkutan umum. Ada yang melamun. Ada yang sibuk mengunyah, sayangnya kecepatan mengunyah berbanding terbalik dengan kecepatan angkutan umum bergerak.
Melihat mereka saya bertanya-tanya apakah mereka BAHAGIA tinggal di Bandung yang rajin macet? Jalanan di Bandung menjadi catwalk bagi warganya yang melek fashion dan merasa harus terupdate secara kontinyu. Melihat mereka saya bertanya, "Apakah kalian BAHAGIA tinggal di Bandung? Sebahagia tampilan kalian yang semarak?"
Teringat pertanyaan seorang kawan, "Dee, are you happy in Bandung?" Pertanyaan yang sulit dijawab atau mungkin saya mesti mengikuti Eric Weiner yang melakukan riset tentang kebahagiaan hahahaha. Sebab sebagian tentu sepakat bahwa kebahagiaan itu sulit diukur dan sulit didefinisikan atau memang tak bisa diukur dan didefinisikan ya? Atau jangan-jangan kurangnya komitmen alias satu kaki masih di luar pintu, kurang berani mengatakan bahwa "ya ni rumah saya", "ya saya bahagia tinggal di sini saat ini.". entahlah....
Well kalau mau mencari-cari hal yang bikin tidak bahagaia selama tinggal di Bandung, ah barangkali ada saja daftarnya selain macet. Tetapi pada akhirnya saya sadar, bahwa KEBAHAGIAAN itu bukan soal unsur-unsurnya tetapi bagaimana unsur-unsur itu ditata dalam proporsi tertentu. Ya seperti yang dilakukan pak walkot Bandung sekarang. Dan ya itulah Bandung...my flower city, my friendly city.
Di balik kemacetannya, dan sikap sebagian orang yang belum bisa menjaga kebersihan fasilitas umum, Bandung itu rumah bagi sebagian besar orang. Terlepas dari apapun alasan mereka untuk tinggal di sini.
Dan...ketidaksempurnaan Bandung menantang saya untuk menciptakan ruang bagi ketidaksempurnaan dalam hidup saya. Berdamai dengan segala kontradiksinya, realitanya dan menikmatinya. Bandung dengan segala kontradiksinya itu dan gerak-geriknya yang masih menggoda dan masih terus bersolek diri. Ya, di suatu tempat, di jagat raya ini, seseorang telah diberi sejumput waktu....sayalah orang itu...kitalah orang itu. Ini adalah waktu untuk berbahagia di kota dimanapun kita berada :D
Yohana defrita rufikasari
Bandung, 2016