Normal 0 false false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4
Pagi ini sebelum meditasi bersama dimulai, aku menyempatkan diri berjalan-jalan di sekeliling halaman Vihara Mendut yang sepi namun bening. Segera ingatan melayang pada pagi-pagi yang sudah aku lewati entah ada berapa banyak pagi sudah aku lalui. Pagi hari yang selalu aku lewati dengan ketergesaan. Pagi hari yang kadang tidak sempat aku nikmati karena masih lelap dalam alam bawah sadar.
Pagi hari yang sudah dikerumuni oleh banyaknya pekerjaan dan kegiatan. Pagi hari yang tidak teduh, tetapi gaduh.
Dan untuk sekali ini aku menikmati pagi yang lembut dan manis.
Matahari baru menampakan bias gaunnya yang cantik. Temaram cahaya pagi membukakan pemandangan yang luar biasa. Sekawanan burung dari arah utara terbang bersama-sama ke barat. Disusul gerombolan burung lain yang terbang ke arah yang lain. Geliat semesta diterangi temaram mentari pagi sudah terasa bahkan di nadiku. Ku lambatkan langkahku di batu yang dinginnya menyengat kesadaran.
Betapa semesta memiliki ritmenya sendiri. Kita tak akan pernah mampu mengukurnya dengan persis sama. Kita tidak akan pernah mampu membacanya secara pasti. Karena bagi semesta kepastian adalah perubahan. Bukan perubahan yang ajeg seperti bayanganmu. Tetapi perubahan dalam arti berubah sepenuhnya. Maka semesta terkekeh demi menyaksikan kita yang beradu teori membaca semesta dan pertandanya. Semesta hanya membukakan halaman per halaman setiap detiknya. Detik yang sekarang berbeda dengan detik yang nanti. Detik ketika kau membacanya, tak akan lagi sama dengan detik yang kemudian ketika kau membacanya lagi.
Dan dalam segenap perubahan yang dikibarkan semesta, aku menatap kehidupan yang baru lahir dari dalam kolam. Jauh dari jernih tempat ia bersemayam tadi. Namun dalam keruh pekatnya tempat ia hidup sesungguhnya ia tengah mempersiapkan diri. Mempersiapkan diri untuk menerima apapun yang hidup berikan. Menerima dan merangkul apapun yang hidup persembahkan baginya. Entahkah itu membuatnya mencecap rasa manis, getir yang menyengat lidahmu, atau justru keletihan yang mendera mu luar biasa, ia sudah belajar bersahabat dengan itu semua.
Perlahan-lahan semesta berubah terang benderang. Perlahan-lahan munculah ia dalam kolam yang pekat. Kuncup yang tadi hanya tertutup seolah melindungi diri kini sudah terbuka lebar. Menampakan dirinya yang seutuhnya. Keindahannya membuat orang lupa dari mana ia hidup. Persemayamannya di tengah kolam pekat lumpur membuat ia berani membuka diri selebar-lebarnya, seluas-luasnya kepada kehidupan. Seolah mengundang kehidupan untuk memberinya sesuatu dan ia akan terima sepenuh hati.
Dan sesungguhnya demikianlah kehidupan ini mengajari kita untuk menerima apapun yang hidup berikan. Semenjak kita masih berenang-renang di dalam cairan amnion, hidup sesungguhnya sedang mempersiapkan kita untuk berani berenang, mengapung bersama manis, pahit, luka dan tawa yang hidup berikan. Bagaikan teratai yang tetap mekar dan membuka dirinya, maka sesungguhnya kitapun mesti mekar dan membuka diri pada hidup. Hidup memang tidak selalu mudah, tetapi selalu indah dalam berbagai pengalaman dan pemaknaannya…
Mengingat teratai di halaman Vihara Mendut
Y.Defrita.R (April 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar