Perjalanan relatif lancar dan menyenangkan terutama ketika memasuki wilayah Sumowono yang masih asri. Kanan dan kiri jalan hanya pohon belaka dan sesekali ladang atau sawah milik penduduk lokal. Cahaya matahari menerobos celah-celah pepohonan dan membias sangat indah di caping para petani yang sedang berjalan.Pemandangan yang jarang ditangkap oleh mata yang sudah terlampau sering menyaksikan hingar bingar kota dan seabrek pekerjaan.
Tak terasa kami sudah sampai di Pati dan waktu yang tak begitu panjang kami gunakan sebaik-baiknya untuk bercengkrama. Tepat jam setengah enam malam, kami berpamitan dan segera kembali ke Wonosobo. Jam sembilan lewat setelah makan malam di Bandungan kami segera memasuki daerah Sumowono yang tadi pagi menyambut kami dengan kabut tipisnya.
Tetapi malam ini Sumowono menyambut mobil kami dengan kabut pekat. Jarang pandang hanya 1 meter. Sekalipun sopir kami Pak Suradi sudah hafal luar kepala kelokan dan tanjakan serta jalan curam di Sumowono, namun kondisi kabut pekat semacam ini tak ayal membuat kami semobil cuman bisa diam mengatur kecemasan dan sebagian lagi berdoa agar tak terjadi hal-hal yang buruk.Jalanan Sumowono termasuk jalanan yang sepi. Rumah-rumah penduduk di sepanjang jalan amat jarang dijumpai. Belum lagi tidak ada lampu jalan yang menerangi membuat jalanan semakin gelap mencekam. Dengan perlahan Pak Suradi mencoba mengikuti marka jalan berwarna putih yang sungguh catnya sudah memudar entah sejak kapan. Kakak saya yang duduk di samping Pak Suradi sibuk memberikan aba-aba seperti, "Belok kiri pak. Belok kanan pak. Teras mawon (terus saja) pak."
Saya mengira ruas jalan yang berkabut pekat itu sekitar 2-3 km saja panjangnya namun entah karena kecepatan mobil yang merayap dalam arti sebenarnya maka ruas jalan berkabut itu terasa panjang bukan kepalang.
Dalam situasi itu saya melihat bahwa kehidupan kita sama halnya dengan jalanan di Sumowono. Kadangkala berkelok dengan tajam ke kanan atau ke kiri, kadang menanjak kadang menurun dengan curamnya. Dan kadangkala dalam perjalanan yang jauh dari mulus itu kabut menghadang kapan saja. Tidak ada pilihan lain ketika kabut menghadang selain terus maju menerobos kabut di Sumowono. Sikap Pak Suradi yang tenang menerobos kabut membuat saya tercenung dan merenung. Akh seandainya saja semua orang bersikap seperti itu ketika menghadapi kabut dalam kehidupannya, Tetap tenang mengendalikan apa yang masih bisa dikendalikan dengan baik. Dan menyaksikan Pak Suradi "membaca" garis putih pembatas jalan demi menjadikannya sebagai petunjuk membuat saya belajar bahwa sekalipun kabut itu pekat nian, selalu ada "petunjuk" dalam kehidupan kita. Yang dibutuhkan hanyalah ketenangan dan kejelian.Selain itu saya mengamati ketika Pak Suradi menggunakan lampu jauh dengan harapan dapat menerobos pekatnya kabut, yang terjadi adalah nihil besar. Dia tidak mampu membaca jalanan di depan. Dari sini saya belajar bahwa ketika kabut kehidupan menyerang kita selain dibutuhkan kesabaran dan kejelian membaca petunjuk-petunjuk dan pertolongan yang Tuhan berikan juga dibutuhkan ketabahan. Ketabahan untuk menjalani yang ada saat ini. Ketabahan untuk tidak melihat terlalu jauh ke depan tetapi menjalani apa yang ada saat ini, itu sudah cukup.
Dan tak selamanya kabut itu menutupi jalan kehidupan kita. Akan ada masanya kabut itu hilang diganti udara yang bersih dan terang yang benderang...
ahh...tak selamanya kabut itu pekat belaka, nyatanya saya belajar banyak dari kabut....
Y. Defrita R.
Wonosobo, akhir april 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar