Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4
"Kebun kita ini tidak terlalu luas, nak. Cuma sepetak-sepetak awalnya. Coba kau lihat itu dua bongkah gunung itu. Ha, itu punya kita sekarang." Begitulah kakek biasa mengawali kisahnya. Kisah suksesnya bertarung dengan liat lahan di desa ini. Sekarang setiap hari dengan sepeda onthelnya yang serenta dirinya, ia akan mengelilingi lahan nan luas ini. Entah untuk berkisah pada mereka yang ia jumpai di jalan atau sekedar menengok ladangnya.
Aku sebagai cucu pertama perempuan di keluarga ini adalah cucu yang paling dimanja. Setiap hari aku diajak ke ladang. Maklum di desa dulu mana ada play group atau tempat penitipan anak yang makin marak di hutan beton sana. Ruang sekolah ku adalah ladang milik kakek dan rumah. Maka berbekal ingatan bocah berusia empat tahun yang membaur dengan imajinasi, aku merangkai kisah ini.
Setiap pagi kakek akan memandikan aku. Ibuku sudah tidak ada waktu lagi untuk memandikan aku. Ia bangun pagi-pagi benar lalu ke pasar. Sebelum ayam-ayam itu ribut, ibu sudah berlaga di dapur yang legam dengan seperangkat senjata berpantat jelaga. Ia akan sibuk memasak berbagai macam makanan untuk, kakek, nenek, ayah, dirinya sendiri, dan aku. Ia akan memasak untuk tiga kali makan. Sementara ibu sedang sibuk memasak di dapur yang asapnya menyiksa mataku, nenek sudah menyapu halaman dan rumah. Sampai sekarang aku tak habis pikir, mengapa para perempuan bangun lebih pagi dan tidur lebih larut. Ya, ibu dan nenek akan tidur setelah ayah dan kakek sudah berdiam di kamar. Kalau mereka masih sibuk dengan rokok dan kopi serta ocehan dari televisi, dapat selalu dipastikan ibu dan nenek hanyut dalam rajutan mereka.
Setelah kakek memandikanku, nenek akan menyuapiku dan aku segera berangkat bersama kakek ke ladang. Di ladang hampir dibilang tak ada yang dapat ku kerjakan selain duduk manis mengamati kakek dan pekerja lainnya yang tak lain adalah paman dan bibiku. Atau aku akan berjalan sendirian di seputaran ladang itu. Mengejar capung. Merendam kaki di aliran parit ladang. Dan pulang dengan membonceng sepeda kakek.
Paling aku ingat ketika usai panen, dengan sepeda onthelnya yang renta itu kakek membawa 5 karung beras. Sampai detik ini pun aku tak mengerti bagaimana caranya ia mengikatkan semua karung beras itu di atas sepeda yang besinya sudah berubah coklat.Tapi dengan kecerdikannya ia tak perlu memanggil kendaraan lain, cukup onthelnya untuk mengangkut lima karung beras. Dan aku didudukkan di atas tumpukan karung beras itu. Wah itu pengalaman tiada terperi. Duduk di atas setumpuk karung beras tidak semudah bayanganmu Perlu dijaga keseimbangannya supaya kau tidak lompat. Tapi bagiku yang belum berkenalan akrab dengan yang namanya takut, pengalaman duduk di atas tumpukan karung beras itu sungguh mengasyikkan. Sedangkan nenek, ia akan membantu kakek mendorong onthelnya.
sekarang sudah berpuluh tahun sejak kepergian kakek. Sepotong memori masih menggelayut di benakku. Tempo hari ketika aku pulang ke desa, syak jantung ini demi menatap wajah pamanku di rumah. Paman yang dulu selalu dibanggakan kakek, kini kerjanya hanya diam tepekur tiada bersuara. Di balik senyum ramahnya, pamanku selalu menyimpan rasa bersalah teramat pedih.
Setiap aku menatap wajah pamanku, aku seperti menatap wajah kakek dalam versi lebih muda. Dan memang ada kedekatan di antara keduanya. Jauh sejak paman masih bocah bertelanjang dada bercelana pendek kedodoran, kakek selalu membangga-banggakannya. Kakek berujar bahwa pamanku ini akan menjadi orang hebat di bidang pertanian. Pamanku ini akan kuliah di universitas swasta katolik. Ia akan jadi satu-satunya anggota keluarga yang mencecap bangku kuliah. Ia akan jadi satu-satunya anggota keluarga dan warga desa yang menemukan teknik menanam semangka yang besar tanpa biji tapi manis.
Dan demi ujaran kakek yang membakar kuping tetangga, kakek mati-matian menggarap ladang, mengalahkan padas. Ia berhasil. Pamanku kuliah bidang pertanian di universitas swasta katolik pilihan kakekku. Senang bukan kepalang kakekku ketika ia melihat anak bungsunya meraih gelar sarjana pertanian.Ia buat pesta tiga hari tiga malam. Senyum tiada pernah lepas dari wajahnya yang diukir dengan kerutan. Ia senang bukan buatan.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, senyum itu berubah bentakan. Kakek marah besar! Kakek tidak habis pikir, mengapa pamanku belum juga menginjakkan kakinya di ladang. Perdebatan di antara dua orang ini menjadi warna sehari-hari sampai-sampai tetangga pun mafhum dengan riuh rendah suara mereka beradu barang.
Setahun, dua tahun, tiga tahun, senyum kakek sudah tidak ada lagi. Seolah-olah senyum di wajah kakek sudah menjelma legenda atau mitos semata. Ia hanya diam. Diam ketika di rumah. Diam ketika mengayuh sepeda dan membonceng aku. Dia diam. Paman diam.
Sudah lima kali panen, pamanku juga belum menunjukkan tanda-tanda ia menemukan teknik menanam semangka besar, manis dan tanpa biji. Ia tak juga kerja. Hanya di lapo saja kerjanya setiap hari.
Sekarang kakek sudah tiada. Paman belum jua beranjak ke ladang. Nenek sering menyindir, "Ah, apalah arti orangtua renta punya mimpi kalau telinga anak tidak memahami".Nenek paham betul bahwa keinginan kakek dari dulu adalah menanam semangka besar, manis dan tanpa biji. Impian sederhana seorang lelaki sederhana ini digantungkan tinggi di pundak pamanku. Sebab hanya dia yang kakek pandang sanggup mewujudkan impiannya.
Selang setahun sejak kepergian kakek, pamanku menebang pohoh-pohon di kaki gunung dan menanam singkong di sana. Astaga, bukan semangka tapi singkong. Maka syak lah hatiku tatkala nenek menyusul kakek demi tak tahan menanggung kecewa impian gagal.
Sekarang pamanku hanya duduk diam di rumah. Sarjan pertaniannya hanya sekedar dongeng dari mulut ke mulut bahwa ada pemuda di desa ini yang muncul sebagai sarjana satu-satunya. Semua pekerjaan di ladang hanya dikerjakan oleh orang lain.
Ah, semangka besar, manis dan tanpa biji itupun menguap seiring langkah pamanku meninggalkan ladang...
Y. defrita r.
Bandung, 18 maret 2012
*terinspirasi kisah seorang teman*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar