NOTE: tulisan ini sebetulnya saya buat saat seluruh umat manusia merayakan hari Valentine. Memang benar, tanggal 14 Februari yang dinobatkan sebagai hari Valentine itu sudah lama berlalu dari kalender kita. Tetapi bagi para penganut gerakan"Valentine is Everyday" maka gema pesannya tidak akan usang dan tidak harus menanti tanggal 14 Februari untuk disampaikan.. dengan pertimbangan inilah saya publishkan tulisan "jadoel" ini, selamat membaca...
**********************************************************************************************************************************************************************
Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4
Setiap tanggal empat belas Februari muncul di Kalender kita, maka mahfumlah jika semarak Valentine langsung menyergap kita, bahkan seminggu sebelum Valentine. Para pedagang dan pebisnis tidak akan menyia-nyiakan euforia perayaan cinta yang biasa diumbar pada tanggal 14 Februari semata-mata untuk keuntungan usaha. Saking lumrahnya tanggal 14 Februari yang ditahbiskan sebagai hari Valentine dirayakan oleh seluruh khalayak bumi lengkap dengan pernak-pernik Valentine, sampai-sampai seorang teman saya dengan nyinyir berkata, “Hadeuh…emang ngrayain cinta itu cuman pas Valentine doang?! Nggak penting banget ah!!!” Barangkali sejujurnya tidak cuma teman saya yang dengan nyinyir berkomentar blak-blakan soal perayaan Valentine, tetapi ada juga orang-orang lain yang sealiran dengan teman saya. Bahkan ada yang terus terang menolak ditahbiskannya tanggal empat belas Februari sebagai hari Valentine. Terlepas dari berbagai macam kontroversi seputar Valentine Day, merenung sejenak adalah pilihan yang saya ambil.
Ketika yang lain sibuk dengan mencari hadiah-hadiah Valentine untuk menyenangkan pasangan, sibuk mengatur schedule sehingga ada luang waktu untuk makan malam romantis bersama pasangan, atau sekedar duduk santai di rumah menonton film favorit, saya justru terenyuh dengan bacaan dan tontonan saya pada hari Minggu. Hari Minggu pagi seusai mandi saya tidak langsung masuk kamar. Saya memilih duduk di ruang tamu dan mulai membaca koran KOMPAS edisi Minggu, 13 Februari 2011. Setiap kali saya membaca KOMPAS yang terbit hari Minggu, maka saya akan segera menyerbu tulisan Samuel Muia yang jujur apa adanya dan justru kejujuran itu yang seringkali menohok saya dan (mungkin) penulisnya juga. Tulisan Samuel Mulia kali ini bertema CINTA, barangkali karena esok adalah hari Valentine tanggal empat belas Februari atau karena ada request dari followers-nya di akun jejaring sosial milik Samuel Mulia.
Cinta…cinta…dan cinta, seakan-akan kata ini tak habis dibedah dari berbagai perspektif dan tak usang untuk selalu dihidangkan sebagai topik utama. Kali ini Samuel Mulia menghadirkan perbincangan seputar relasi antar manusia yang dijiwai oleh cinta. Relasi antara dua manusia entah sejenis atau lawan jenis yang berhadapan dengan potret kesetiaan dan juga godaan untuk tidak setia dan pada akhirnya memang betul tidak setia. Samuel Mulia menghadirkan fakta bahwa teman-temannya, lingkungan terdekatnya adalah mereka yang mencibir kesetiaan di masa kini. “Hare geneee mau setiaaa….jedukin kepala sana” begitulah komentar dari seorang teman Samuel Mulia. Mirip seperti komentar teman saya yang berkata “Kalo bisa dua kenapa musti cuman satu, dia mau bilang “kalo bisa selingkuh ya kenapa musti stuck dengan satu orang saja”. Seolah-olah kesetiaan itu kini sudah tidak up to date, macam mode yang silih berganti di tubuh kita, maka kesetiaan sudah so yesterday begitu istilahnya. Samuel Mulia mengatakan, “Sebuah leluconkah kalau di tengah kelunturan itu masih ada cinta yang mau ditawarkan dengan kondisi yang begitu menarik seperti mimpi? Saya malah menertawai sebuah cinta yang sejati hanya karena kondisi sekarang ini lebih enak tak setia, tidak menghargai pasangan, tak tahan mengarungi laut duka atau suka. Sehingga saya malah berpikir untuk mencurigai yang bisa setia itu. Menilai bahwa itu tak punya bobot. Aneh, bukan?”begitulah pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak dari batin seorang Samuel Mulia berhadapan dengan wajah-wajah kesetiaan yang sudah kadung dianggap usang. Dan bukan Samuel Mulia kalau tulisannya tidak menyentil hati nurani terdalam kita, maka dia pun bertanya-tanya “Benarkah hari begini kesetiaan itu memang makin luntur dan tak perlu diperjuangkan? Apakah menjadi ciri sebuah gaya hidup masa kini dan hidup yang terdepan kalau menyerah di tengah jalan dengan alasan abis kalau enggak cinta lagi mau ngapain?. Selain mengajukan pertanyaan reflektif semacam itu, Samuel Mulia mengatakan hal yang tak kalah mencengangkan, “Maka benarlah lingkungan di mana saya berada, menjadikan siapa saya ini. Karena kebanyakan melihat yang tidak setia, maka yang setia saya anggap keliru dan membuang energi.” Menarik untuk disimak, bahwa boleh jadi karena pengaruh lingkungan, pengalaman pribadi atau teman dekat, sampai pada idealisme hidup dapat sangat mempengaruhi perspektif orang akan sesuatu yang dinamakan kesetiaan. Namun toh demikian, apapun definisi kita tentang cinta, apapun wujud kita mengkonkritkan cinta dan apapun pandangan kita akan relasi itu, setia dan tidak setia adalah soal pilihan hidup.
Berbincang soal setia dan tidak setia sebagai pilihan dalam hidup, maka tontonan ulang yang saya simak pada hari Minggu sore di rumah berkisah tentang 3 orang perempuan bersuami yang tidak berpanjang lebar mendefinisikan kesetiaan sebagai sebuah pilihan hidup mencinta dan bahkan sebuah panggilan dalam hidup cintanya dengan pasangannya. Pertama adalah Ibu Tari Menayang, istri dari Victor Menayang. Sepintas lalu ketika dia hadir di layar kaca nampak ceria dan ringan menjalani hidup. Namun setelah dia bertutur tentang suaminya Victor Menayang yang pada Mei 2005 terkena stroke dan kisah perjuangannya merawat suaminya hingga kini (6 tahun) membuat kita atau paling tidak saya terharu. Tari Menayang setiap hari di tengah kesibukannya sebagai wanita karir telah menjelma menjadi perawat terbaik bagi suaminya. Praktis karena stroke yang diderita Victor, maka Victor hanya bisa di tempat tidur dan sulit berkomunikasi walaupun otak kanan dan kirinya tidak rusak, namun syaraf untuk merespon rangsangan dari luar sangat sulit kembali pulih. Bayangkan, suami yang dicintai tiba-tiba lumpuh dan seketika itu juga dia dituntut untuk melanjutkan hidup dan merawat suaminya. Dengan jujur Tari mengungkap bahwa dirinya dapat tegar seperti sekarang karena dia merasakan bahwa suaminya juga memiliki semangat dan harapan untuk pulih. Maka spirit dari suaminya itulah yang menjadi inspirasi bagi dia untuk berjuang merawat suaminya sampai kapanpun.
Kedua, adalah Ibu Utami istri selebritis Pepeng yang dulu terkenal lewat kuis yang dipandunya yaitu Kuis Jari-Jari. Utami menikah dengan Pepeng ketika mereka masih sama-sama kuliah Sastra di Universitas Indonesia. Mahligai rumah tangga yang diarungi bersama selama 22 tahun, mengalami badai pada tahun 2005 ketika Pepeng divonis terkena Multiple Skleorosis yang membuatnya harus berbaring di tempat tidur dan sesekali menggunakan kursi roda. Maka bagi Utami kini semua tak sama. Sudah enam tahun dia mendampingi dan merawat Pepeng namun selama itu pula dia tidak pernah menyerah untuk mendampingi suami yang dia cintai. Bahkan secara berkelakar dia mengatakan tidak mau Pepeng diganti dengan Richard Gere karena bagi dia Pepeng adalah sosok suami dan kepala keluarga yang bertanggung jawab yang mampu membuat dia jatuh cinta berkali-kali. Dan yang ketiga adalah Ibu Retno, istri dari Bapak Sunanta. Ibu Retno sudah 11 tahun mendampingi dan merawat suaminya yang terkena Parkinson sehingga tangan dan kakinya mengalami tremor. Bukan perkara mudah bagi Ibu Retno mendampingi suami yang terkena Parkinson. Karena Parkinson ternyata tidak hanya merenggut syaraf-syaraf dan mengacaukan gerak motorik suaminya namun juga menghancurkan kepercayaan diri suaminya. Selama 11 tahun Ibu Retno dan anak-anaknya tidak pernah menyerah untuk merawat dan membangkitkan kepercayaan diri suami dan ayah yang sangat mereka cintai. Menarik untuk diperhatikan, para perempuan tangguh ini selalu mengatakan bahwa energi terbesar yang membuat mereka berani dan tidak mudah menyerah adalah karena cinta dan spirit yang ditularkan suami-suami mereka yang mengatasi segala macam bahasa yang pernah ada di dunia. Mereka adalah pasangan-pasangan yang memilih menjalani cinta dengan berbagai macam definisi dan lengkap dengan segala resikonya bahwa malang tak dapat terelakan dan mujur tak dapat diraih.
Bingkai tuturan kisah mereka membuat saya tertegun betapa di dunia yang kini marak diisi potret-potret ketidaksetiaan, mulai dari aras pemerintahan sampai pada ranah indvidu dengan individu masih ada orang yang mau menempuh pahit getir cinta dan kesetiaan. Betapa setiap detik kita disuguhi adegan-adegan perselingkuhan yang dilakukan oleh sesama pejabat, dan pemerintah yang selingkuh pada rakyatnya. Potret buram ini semakin tajam tatkala cinta dan kesetiaan didefinisikan secara sempit sampai-sampai melukai dan membunuh kemanusiaan. Tidak banyak orang yang melampaui definisi tentang cinta yang barangkali acap kita saksikan itu, pasangan-pasangan tadi adalah mereka yang menghidupi cinta bukan sekedar soal gairah cinta yang menggebu-nggebu tetapi mereka sampai pada pemahaman bahwa memilih untuk mencintai adalah memilih untuk menjalani setiap konsekuensinya termasuk di dalamnya adalah setia pada pilihan kita untuk mencinta. Seringkali kita hanya sampai pada tahap “memilih untuk mencintai” namun tidak melanjutkan prosesnya secara utuh yaitu siap dengan segala resikonya dan setia pada pilihan kita. Tiga pasangan tadi sudah menghidupi pilihan mereka dan setia pada pilihan itu yang membuat mereka mampu berbagi kepahitan hidup sampai pada tetes yang paling getir sekalipun karena mereka memilih untuk setia. Betapa elok, tatkala masing-masing kita dapat memilih mencinta dan memilih untuk setia pada cinta itu tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Ternyata, memilih untuk menghidupi cinta bukan hanya sekedar memberikan hadiah-hadiah, puja dan puji, atau menepati janji…namun lebih kepada panggilan untuk setia berbagi cangkir kebahagiaan bahkan berbagi pahitnya kehidupan. dan hal ini juga berlaku pada setiap kita yang mengaku mencintai Tuhan bahkan pakai embel-embel dengan sepenuh hati, mencintai Tuhan berarti berani menanggung perjalanan seumur hidup dengan Tuhan beserta segenap misteriNya. Selamat memilih untuk mencintai dan memilih untuk setia pada cinta lengkap dengan segala konsekuensinya.
Pulanggeni, 14 Februari 2011.
Y. Defrita Rufikasari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar