Ada seorang anak lelaki berusia 10 tahun sedang berlibur bersama kedua orang tuanya dan seorang kakaknya di sebuah hotel. Hotel ini sangat indah, di kelilingi oleh tiga bukit dan hamparan kebun teh berhawa sejuk. Memang sungguh nikmat melepas lelah dengan berlibur ke tempat sejuk seperti itu. Suatu pagi, mereka sarapan di serambi samping hotel yang persis menghadap ke arah tiga bukit itu. Anak lelaki berusia 10 tahun ini sangat tertarik dengan ketiga bukit itu. Padahal kalau dibandingkan dengan bukit-bukit yang lain, ketiga bukit ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bukit-bukit tinggi yang elok di Eropa sana. Tapi pagi itu anak ini menemukan sesuatu di ketiga bukit itu yang pasti tak dimiliki oleh bukit-bukit yang lain. Pada masing-masing bukit berdiri satu tempat ibadah. Di bukit sebelah kana, ada kuil Hindu yang dibangun tinggi di lerengnya, di bukit tengah ada bangunan mesjid, dan di bukit sebelah kiri ada bangunan gereja.
Keesokan harinya terdorong oleh rasa penasaran maka anak ini berpamitan ingin jalan-jalan. Namun dia justru melangkahkan kaki ke bukit yang sebelah kiri. Jangan tanya kenapa, dia sendiri tak tahu. Di tiba di depan pintu pastori. Pintunya terbuka. Dia mengintip ke dalam, tapi dia sembunyi lagi. Ada papan kecil bertuliskan nama penghuni pastori dan statusnya ada di tempat atau tidak. Dan hari itu tulisan yang tertera adalag "ada di tempat". Anak ini masih tidak berani masuk. Dia mengintip dari jendela. Dia menyaksikan seorang lelaki sedang membaca buku tebal, di mejanya penuh buku, dan lembaran-lembaran kertas. Sesekali dahi lelaki itu mengkerut dan sesekali dia menyeka keringatnya. Lalu anak ini berjalan ke arah gereja. Pintu gereja sedang dibuka. Dia masuk ke dalam. Dinding dalam gereja bercat biru muda pucat, berderet-deret kursi kayu tua, kaca jendela warna-warni dengan gambar-gambar yang tidak dikenali si anak. Dan pada bagian altar, dia menyaksikan salib besar dengan seorang lelaki tergantung di sana. Dia takut dan sedih melihat lelaki itu. Dia bertanya mengapa lelaki itu harus disalib, tidak adakah yang mau menolong dia? Anak ini sangat penasaran namun tidak tahu harus bertanya pada siapa. Maka dia pun kembali lagi ke hotel dengan tanda tanya berkelebatan di kepalanya. Dia tak berani bertanya pada orangtuanya.
Keesokan harinya setelah sarapan, kembali dia pamit ingin jalan-jalan sendiri. Sekali lagi, dia lari ke arah bukit sebelah kiri. Kali ini dia tak mau pulang dengan mengandung tanda tanya yang sungguh membuat dia enggan makan padahal sajian hotel sangat nikmat berselera dan membuat tidur tak nyenyak. Dia sudah berniat untuk bertanya pada siapapun orang yang dia jumpai di gereja itu. Sesampainya di gereja, dia segera masuk ke dalam.Dia memberanikan diri melangkah dan mengamat-amati setiap detail di dalam gereja dengan seksama. Namun selalu saja pikirannya melayang ke arah lelaki yang di salib itu. Di tengah kekhusyukannya mengamati itu, pundaknya ditepuk oleh seorang lelaki. Dia menengok, agak takut, namun segera dia tersenyum. Lelaki itu adalah pendeta yang bertugas di gereja tersebut. Alih-alih takut dimarahi, si anak justru senang karena si pendeta mengajaknya ke pastori.
Di dalam pastori itu si anak dijamu dengan teh dan biskuit juga manisan pemberian jemaat setempat. Anak ini sangat terkesan dengan keramahan si pendeta. Setelah berbincang cukup lama termasuk berbincang tentang sosok Yesus Kristus. Akhirnya si anak berani bertanya, "Apa? manusia berdosa, tapi yang menanggung akibatnya adalah Anak Allah?...ini tidak masuk akal sama sekali. Ini sama seperti, ada singa yang menyelinap masuk ke kandang hewan-hewan lain dan memakan habis mereka, lalu ayahku memanggilku dan berkata bahwa aku harus menjadi tumbal demi kesejahteraan semua. Dan aku tidak menolak justru berkata "Ya ayah" dan ayah menyahut "haleluya"...ah sungguh tidak masuk akal pak pendeta."
Si pendeta menceritakan kisah yang lain lagi yaitu kisah penangkapan dan penyaliban Yesus Kristus. Si anak kembali bertanya, "Apa? Anak Allah itu mau menderita? mau mengalami kemalangan? pengkhianatan dan bahkan penghinaan? tak bisa ku bayangkan dewa sesembahanku merelakan dirinya ditelanjangi, dicambuk, diejek, diseret di jalan-jalan dan disalibkan oleh tangan manusia-manusia biasa. Padahal kan dia Anak Allah. Aku belum pernah mendengar ada dewa yang mau seperti itu. Seharusnya dia bisa pakai kekuatannya sebagai Anak Allah agar tidak mati. Allah seharusnya tidak boleh mati pak Pendeta. " Tetapi si pendeta meyakinkan si anak bahwa Allah orang Kristen membiarkan jelmaan diri-Nya mati. Dengan demikian Allah membiarkan sebagian diri-Nya sendiri mati, sebab jika sang Putra harus mati maka kematian ini tak mungkin direkayasa. Sebab kalau Allah di salib itu adalah Allah yang bersandiwara menampilkan tragedi manusia, maka Kasih Kristus menjadi sandiwara Kristus belaka. Kematian sang Putra adalah sungguhan, bukan sandiwara, demikianlah si pendeta meyakinkan si anak.
Si anak kembali bertanya, "Tetapi mengapa harus jalan itu yang dipilih? Kenapa Allah menginginkan hal seperti itu terjadi pada-Nya? Kenapa kematian itu tidak untuk manusia-manusia saja?" Si pendeta menjawab,"Kasih". Si anak bertanya, " Kenapa pula Anak Allah mau menanggung rasa lapar? menderita kehausan?bisa merasa lelah? sedih, cemas, dibelenggu, dilecehkan? mengapa dia tidak membuat keajaiban? atau menolong dirinya sendiri?" Si pendeta menjawab, "Kasih". Si anak berkata, "Anak Allah ini sungguh aneh menurutku karena dia tinggal di daerah yang tidak populer, dia mati sebelum rambutnya memutih. Dia tidak meninggalkan keturunan karena dia tidak menikah. Dia tidak meninggalkan warisan harta, hanya kesaksian yang tidak lengkap tentang kisah hidupnya. Kenapa dia egois? Kenapa dia tidak mau memiliki keturunan seperti dewa-dewi ku?" Si pendeta kembali berkata, "Kasih".
Siang itu si anak kembali dengan perasaan yang semakin membuncah oleh penasaran akan sosok Anak Allah ini. Setiap hari dia terbakar oleh kemaraham terhadap Anak Allah ketika dia menjumpai kisah Yesus mengutuk pohon Ara di Betani. Si anak merasa bahwa Anak Allah ini adalah dewa yang temperamental, egois, aneh, dan tidak bisa membela dirinya sendiri. Beberapa hari kemudian dia kembali berlari ke arah gereja dan menjumpai si pendeta dan berteriak, "Pak pendeta...aku mau jadi Kristen...tolong aku." Semua orang yang dia lewati dalam perjalanan ke gereja itu berdiri dan menengok dengan penuh tanda tanya, namun si anak terus berteriak seperti itu. Pendeta menyambutnya di depan gereja. "Pak pendeta, aku mau jadi Kristen." Si Pendeta menjawab, "Kau sudah Kristen, di hatimu...sebab siapapun yang membuka hatinya untuk Kristus berarti dia menjadi Kristen." Si anak ini tersenyum bahagia. Beberapa tahun kemudian dia dibaptis walaupun orang tuanya keberatan, namun si anak ini menjawab, "Aku hanya ingin mengasihi Kristus". Maka orangtuanya pun hadir dalam acara baptisan itu. Kini ketika dia mengamati sosok Yesus yang disalib di altar gereja, dia tidak lagi takut, dia terharu dengan pengorbanan Kristus dan dia memanjatkan doa-doanya kepada Kristus yang hidup.
Mengapa Yesus turun dari sorga
masuk dunia g'lap penuh cela
berdoa dan bergumul dalam taman
cawan pahit pun dit'rima-Nya?
Mengapa Yesus menderita didera
dan mahkota duri pun dipakai-Nya?
MengapaYesus mati bagi saya?
kasih-Nya ya kar'na kasih-Nya.
Mengapa Yesus mau pegang tanganku,
bila ku di jalan tersesat?
Mengapa Yesus b'ri ku kekuatan,
bila jiwaku mulai penat?
Mengapa Yesus mau menanggung dosaku,
b'ri ku damai serta sukacita-Nya?
Mengapa Dia mau melindungiku?
Kasih-Nya ya kar'na kasih-Nya.
Y.Defrita.R
Darmo, April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar