Saya masih ingat setiap tanggal 21 April, saya yang masih SD bersama dengan jutaan anak-anak SD di seluruh pelosok Indonesia memperingati HARI KARTINI. Salon-salon dan penyewaan pakaian adat laris manis bak kacang goreng. Sedari pagi, para orangtua disibukkan dengan antar anak ke salon, siapkan bekal dan menemani anak-anak berparade dengan pakaian adatnya masing-masing. Ada yang memilih menggunakan kebaya putih, sanggul cemplon di belakang dan make-up yang niscaya jauh dari kesang anggun hanya untuk merepresentasikan sosok Kartini. Ada pula yang memakai baju dari Sulawesi, Kalimantan, Ambon, dan masih banyak lagi. Dan siaplah kami berparade keliling jalan protokol dengan kostum dan aneka atribut yang mewakili sekolah masing-masing. Dulu saya masih ingat, yang ikut berparade itu hanya anak-anak perempuan saja. Dulu, saya tidak merisaukan hal ini. Pokoknya mah dibawa enjoy aja. Tetapi sekarang saya bertanya-tanya, "Dulu itu pada kemana ya anak-anak lelaki?, lho emangnya yang ngrayain hari Kartini cuman khusus anak-anak perempuan aja yah? terus apa sih sebetulnya yang diperjuangkan oleh Kartini?" Coret-coretan saya kali ini mau membahas tentang sekelumit riwayat Raden Ajeng Kartini, Emansipasi, dan Potret perempuan Indonesia...hitung2 mengenang perjuangan dan pemikiran R.A. Kartini :)
Raden Ajeng Kartini-riwayatmu dulu...
Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Raden Ajeng Kartini lahir dalam keluarga bangsawan Jawa di Tanah Jawa saat masih menjadi bagian dari koloni Belanda, Hindia Belanda. Ayah Kartini, Raden Mas Sosroningrat, menjadi Kepala Kabupaten Jepara, dan ibunya adalah istri pertama Raden Mas ‘, poligami adalah praktik umum di kalangan bangsawan.
Ayah Kartini, RMAA Sosroningrat, pada awalnya kepala distrik Mayong. Ibunya MA Ngasirah, putri dari Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara, dan Nyai Haji Siti Aminah. Pada waktu itu, peraturan kolonial ditentukan bahwa Kepala Kabupaten harus menikahi seorang anggota bangsawan dan karena MA Ngasirah bukanlah bangsawan yang cukup tinggi.
Ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah perkawinan kedua ini, ayah Kartini diangkat untuk Kepala Kabupaten Jepara, menggantikan ayahnya sendiri istri keduanya, RAA Tjitrowikromo.
Kartini dilahirkan dalam keluarga dengan tradisi intelektual yang kuat. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun sementara Kakak Kartini, Sosrokartono adalah seorang ahli bahasa.
Keluarga Kartini mengizinkannya untuk menghadiri sekolah sampai dia berumur 12 tahun, di antara mata pelajaran lain, ia fasih berbahasa Belanda, suatu prestasi yang tidak biasa bagi wanita Jawa pada waktu itu.
Setelah berusia 12 tahun ia harus berdiam diri di rumah, aturan di kalangan bangsawan Jawa pada masa tersebut, tradisi untuk mempersiapkan para gadis-gadis di usia muda untuk pernikahan mereka. Gadis pingitan yang tidak diizinkan untuk meninggalkan rumah orangtua mereka sampai mereka menikah, di mana titik otoritas atas mereka dialihkan kepada suami mereka.
Ayah Kartini memberikan keringanan kepadanya selama pengasingan putrinya, memberikan hak istimewa seperti memberikan pelajaran menyulam dan kadang-kadang tampil di depan umum untuk acara khusus.
Selama pengasingan itu, Kartini terus mendidik dirinya sendiri. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, ia mendapatkan beberapa teman pena Belanda. Salah satu dari mereka, seorang gadis bernama Rosa Abendanon, menjadi temannya sangat dekat. Buku, surat kabar dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa, dan memupuk keinginan untuk memperbaiki kondisi perempuan pribumi, yang pada waktu itu memiliki status sosial yang sangat rendah.
Kartini membaca surat kabar Semarang De Locomotief, disunting oleh Pieter Brooshooft, serta leestrommel, sebuah majalah yang diedarkan oleh toko buku kepada para pelanggan. Dia juga membaca majalah budaya dan ilmiah serta majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie, yang ia mulai mengirim kontribusi yang diterbitkan. Dari surat-suratnya, jelas bahwa Kartini membaca segala sesuatu dengan banyak perhatian dan perhatian. Buku-buku yang telah dibacanya sebelum ia berusia 20 tahun dimasukkan oleh Max Havelaar dan Surat Cinta oleh Multatuli. Dia juga membaca De Stille Kracht (The Hidden Force) oleh Louis Couperus, karya-karya Frederik van Eeden, Augusta de Witt, penulis Romantis-feminis Mrs Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah novel anti-perang oleh Berta von Suttner, Waffen Nieder mati! (Lay Down Your Arms!). Semua berada di Belanda.
Keprihatinan Kartini tidak hanya dalam bidang emansipasi wanita, tetapi juga masalah-masalah masyarakatnya. Kartini melihat bahwa perjuangan bagi perempuan untuk memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum itu hanya bagian dari gerakan yang lebih luas.
Orangtua Kartini mengatur pernikahannya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Kepala Kabupaten Rembang, yang sudah memiliki tiga istri. Dia menikah pada tanggal 12 November 1903. Ini bertentangan dengan keinginan Kartini, tetapi dia setuju untuk menenangkan ayahnya yang sakit. Suaminya mengerti tujuan Kartini dan memungkinkannya untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks Kantor Kabupaten Rembang.
Kartini melahirkan seorang anak hasil pernikahannya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Kepala Kabupaten Rembang pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25. Dia dimakamkan di Desa Bulu, Rembang.
Terinspirasi oleh contoh Kartini, keluarga Van Deventer mendirikan Yayasan Kartini yang membangun sekolah untuk perempuan, ‘Sekolah Kartini’ di Semarang pada 1912, diikuti oleh sekolah-sekolah perempuan lain di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.
Sebagian besar dari kita hanya memahami Kartini sebatas kulit luarnya saja. Hanya sibuk dandan dan sewa pakaian lalu berlagak seperti Kartini di sepanjang jalan protokol. Sehingga tidak salah jika hari Kartini selalu identik dengan kebaya, kain jarit, konde dan pakaian adat yang lain. Atau yang lebih sedikit berbobot ya, setiap orang tahu kalau tanggal 21 April itu kita memperingati hari Kartini sebagai pahlawan emansipasi perempuan. Sebagian besar dari kita tidak tahu perjuangan Kartini membangun peradaban bangsa Indonesia dalam kaitannya menciptakan ruang demi keleluasaan perempuan untuk berkiprah.
Padahal spirit perjuangan Kartini sungguh luar biasa, tidak hanya membebaskan perempuan dari bebatan belenggu adat yang memasung mereka selama berabad-abad, namun dia menciptakan ruang di bangsa ini demi keleluasaan perempuan dalam berkiprah bersama lelaki dalam relasi yang sederajat. Maka perjuangannya dalam menghapuskan diskriminasi adalah sebuah perjuangan untuk meletakkan pondasi bagi bangsa ini agar kelak bangsa ini hidup dan berkarya dalam relasi yang egaliter.
Drs Hadi Priyanto MM, penulis buku Kartini Pembaharu Peradaban, Kepala Bagian Humas Setda Jepara mengatakan demikian,
Dalam surat-suratnya yang sangat panjang selama hampir 5 tahun, termasuk 2 notanya kepada pemerintah Hindia Belanda, kita juga dapat belajar tentang paham nasionalisme yang disuarakan nyaring oleh Kartini. Juga perlawananya kepada kolonialisme yang dituduh Kartini berkeinginan agar bangsa Bumiputera tetap miskin dan bodoh sehingga tetap bisa dikuasai. Karena itu Kartini telah ikut meletakkan fondasi dan spirit bagi perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kartini telah ikut menyemai tumbuhnya bunga-bunga nasionalisme dan patriotisme di tengah-tengah bangsa Bumiputera yang terjajah ratusan tahun. Dengan caranya sendiri, ia telah ikut mengobarkan api perjuangan dan keberanian melawan kolonialisme lewat ujung penanya.. Tak hanya Pahlawan Emansipasi yang layak disandangnya tetapi ia juga layak mendapatkan anugrah sebagai Ibu Nasionalisme. Sebab jauh sebelumnya pergerakan itu menemukan momentumnya pada 1908, Kartini telah lebih dahulu melakukannya. Apa yang dilakukan tidak hanya mampu memberikan inspirasi terhadap pejuang pergerakan Indonesia dan rakyat Bumiputera tetapi telah menumbuhkan keberanian melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan. Memikul Beban Pokok-pokok pikiran Kartini pada tanggal 24 Desember 1911 telah diterima secara aklamasi sebagai richtsnoer atau pedoman perjuangan Indische Vereeniging di Belanda, tempat berhimpunnya para mahasiswa Indonesia. Tahun 1924 organisasi ini diganti dengan Perhimpunan Indonesia yang menjadi salah satu pelopor utama pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sementara di Tanah Air terbitnya buku Door Duisternistot Licht yang berisi kumpulan surat Kartini disambut hangat oleh para tokoh pergerakan. Bahkan ada tanggal 24 Mei 1912, di surat kabar milik Dr Douwes Dekker, De Express, Dokter Tjipto Mangunkusumo menegaskan tiap halaman surat Kartini tertuang keinginan, harapan, dan perjuangan untuk mengajak bangsanya bangun dari tidurnya yang panjang yang telah beratus-ratus tahun. Jauh sebelum Jong Java dideklarasikan tahun 1915 dengan nama Tri Koro Dharmo, 12 tahun sebelumnya dalam suratnya kepada Ny Ovink Soer tahun 1903, Kartini sudah mengungkapkan tentang para aktivis Jong Java yang menyebut Kartini dengan panggilan ayunda, tempat mereka mencurahkan persoalan dan keyakinannya akan datangnya zaman baru yang hanya bisa dicapai dengan persatuan para aktivis perjuangan. Karena itu pewarisan nilai, semangat juang, dan pemikiran Kartini dirasakan perlu, bukan saja untuk menjaga agar momentum peringatan tidak salah arah dan terjebak dalam acara seremonial yang kurang bermakna melainkan agar dalam setiap zaman muncul anak-anak ideologis Kartini yang berani memikul beban zaman. Agar upaya pewarisan itu bisa berjalan baik, sekolah bisa mengambil peran konstruktif dan edukatif dengan memasukkannya dalam muatan lokal. Termasuk pewarisan melalui organisasi perempuan yang sering kali bangga menyebut dirinya pewaris semangat Kartini. Selain itu, jika kita menilik surat-surat Kartini-tentu saja bukan saya yang mbaca suratnya, lha wong saya ndak bisa boso londo kok-tapi dari memunguti informasi yang bertebaran, beginilah kurang lebih pokok-pokok pembahasan Kartini di dalam suratnya,
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.(sumber: wikipedia)
Inilah sekelumit tentang Kartini,pemikirannya, pilihannya dan segenap paradoks yang dia tampilkan. Terlepas dari pro kontra dan ketegangan yang terpotret dalam hidupnya dulu dan kini, kita patut berbangga kalau Indonesia pernah memiliki seorang perempuan kritis seperti Kartini.
R.A. Kartini, Emansipasi, dan Perempuan kini...
Saya googling dan menemukan arti kata emansipasi ini dari Mbah wikiped, demikian beliau bertutur, " Emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu.
Di antara lainnya, Karl Heinrich Marx membahas emansipasi politik dalam esainya Zur Judenfrage (Tentang Masalah Yahudi), meski sering di samping (atau bertentangan dengan) istilah emansipasi manusia. Pandangan Karl Marx tentang emansipasi politik dalam karya ini diikhtisarkan oleh seorang penulis seperti memerlukan "kesamaan derajat warganegara perseorangan dalam hubungannya dengan negara, kesamaan di depan hukum, tanpa memandang agama, harta benda, atau ciri orang perorang 'pribadi' lainnya."[1]
"Emansipasi politik" sebagai frase kurang umum dalam penggunaan modern, khususnya di luar konteks akademik, asing, ataupun aktivis. Namun, konsep serupa dapat disebut dengan istilah lain. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, gerakan HAM yang memuncak dalam UU Hak Suara 1965, dapat dipandang sebagai realisasi lanjutan atas peristiwa seperti Proklamasi Emansipasi dan penghapusan perbudakan seabad sebelumnya.
Selama ini kata emansipasi memang selalu disematkan, dikaitkan dengan sepak terjang Kartini. Nyaris semua organisasi yang mengaku menjiwai spirit Kartini pasti mendengungkan semangat emansipasi. Emansipasi yang seperti apa sih? Apakah sekedar keterbukaan dimana perempuan sekarang dapat bersekolah sampai setinggi-tingginya langit? atau kini perempuan sudah bisa memasuki sektor yang dulunya di dominasi kaum lelaki? atau karena kita pernah punya presiden perempuan dan menteri perempuan yang handal dan mumpuni? apakah itu emansipasi?
Barangkali kalau ditilik daricontoh-contohnya ya bisalah itu dibilang emansipasi..namun saya cenderung melihat sesuatu yang bukan tampak luarnya saja bermerk emansipasi. Apakah itu? yaitu kerangka berpikir yang masih androsentrisme. Kerangka berpikir ini yang pada akhirnya masih mempengaruhi cara pandang dan cara bersikap dari sebagian besar orang-orang di Indonesia (khususnya). Kerangka androsentrisme tidak hanya melulu melekat pada lelaki tetapi perempuan sekalipun bisa memiliki kerangka berpikir androsentrisme yang mengaminkan patriarki. Sehingga baik lelaki maupun perempuan yang memiliki kerangka berpikir androsentrisme adalah mereka yang masih mempertahankan dominasi patriarki entah secara terang-terangan atau gelap-gelapan.
Dengan demikian perjuangan emansipasi bukan hanya sekedar bicara soal kita dulu pernah punya presiden perempuan, menteri perempuan, sekian persen kursi di DPR diduduki oleh perempuan, bukan sekedar bicara kalau kita sudah memberikan "jatah" pada perempuan untuk berkiprah di kancah politik secara egaliter dengan perempuan...bahwa kita sudah memberikan ruang kepada perempuan di dunia politik dan kebijakan negara ya memang...tetapi kan bicara soal emansipasi bukan sekedar bicara soal prosentase perempuan di panggung politik saja. Hal yang mendasar justru tidak tersentuh yaitu membongkar kerangka berpikir androsentrisme dan menggantinya dengan kerangka berpikir holisme egaliterian yang membabat dominasi patriarki dan menjunjung relasi yang egaliter atas semua ciptaan.
Dan saya pikir perjuangan yang hendak digemakan dulu oleh Kartini adalah persoalan meletakkan pondasi holisme egaliterian sehingga lelaki dan perempuan itu sederajat dan memiliki kesempatan/peluang yang sama. Tetapi tokh kita juga musti jujur mengakui bahwa ini sebuah idealism tingkat tinggi. Sudah terlalu lama kita berada di balik tembok patriarki yang membuat kita tidak lagi kritis dan enjoy dengan zona ini. Masih banyak perempuan yang nyaman dijadikan warga kelas dua, haknya direbut, suaranya dibungkam, tubuhnya dijajah. Dan masih banyak lelaki yang merebut hak, membungkam suara, dan menjajah tubuh perempuan. Lalu apa makna dari pemikiran2 dan perjuangan R.A. Kartini? akankah tanggal 21 April hanya akan diisi oleh perayaan seremonial belaka yang mengarak anak-anak perempuan dengan kostum dan make-up di sepanjang jalan protokol? akankah makna perjuangan dan pemikiran Kartini hanya sampai pada pencapaian bahwa kita pernah punya presiden dan menteri keuangan perempuan? Barangkali kita perlu mengkaji dan memaknai ulang peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April sehingga spirit yang diperjuangkan dan dipikirkan Kartini dulu itu tetap hidup namun kontekstual terlepas dari sosok Kartini yang paradoksal...
Peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April bukan sekedar euforia pawai anak-anak perempuan dengan pakaian adat...bukan sekedar pidato-pidato tentang perempuan yang diulang-ulang dan selalu begitu isinya..bukan melulu bicara soal emansipasi yang sebagian besar dari kita tak tahu apa maknanya...bukan juga bicara soal kuota bagi para perempuan di kancah politik...tetapi mari kita bicara tentang androsentrisme yang mendarah daging dalam diri perempuan dan laki-laki yang terjebak dalam bingkai patriarki...mari kita bicara bagaimana caranya menyingkirkan dominasi patriarki...mari kita berjuang untuk mewujudkan gaya hidup holisme egaliterian..kita dibawa pada sebuah transformasi kesadaran yang radikal terhadap cara bagaimana kita memandang diri sendiri, relasi kita satu sama lain dan relasi kita dengan bumi ibu pertiwi kita. Pemaknaan semacam ini menawarkan pertobatan budi dan hati dari dualisme hierarkis dan antroposentrisme serta kerangka androsentrisme yang pada umumnya dianggap selalu benar kepada compassion-communio, solidaritas, berbagi hidup yang menjadi dasar relasi kehidupan yang harus dibangun oleh manusia modern dewasa ini untuk melawan kecenderungan memiliki semua...menumpuk semua...mengambil semua....menjajah semua....merampas semua dan membeli semua...Selamat menghayati dan menggali pemaknaan peringatan Hari Kartini... :)
Y.Defrita.R
Darmo, 21 April 2011