Menjadi berbeda memang
seringkali mengundang tanya dan serempak menuai protes. Begitu sudah hukum alam
yang tidak tertulis namun berlaku dalam kehidupan manusia. Orang akan dengan
mudah mencecar, menyudutkan bahkan mungkin juga diam-diam mengagumi. Itu pula
yang saya alami pasca pilihan yang saya buat. Saya dipanggil dalam sebuah
pertemuan yang saya tahu sudah ada skenarionya. Maka sesungguhnya saya tidak
pernah memiliki harapan bahwa pertemuan ini akan menguntungkan kedua belah
pihak. Mungkin bagi para motivator, orang dengan model seperti saya ini merusak
semua teori motivasinya hahaha. Saya tidak berharap hasil pertemuan
menguntungkan kedua belah pihak bukan karena saya sejenis mahluk pesimis akut,
tidak. Saya justru realistis. Saya sudah “membaca” gaya mereka. Saya sudah
menyiapkan strategi. Terimaksih sedalam-dalamnya untu almarhum Sun Tzu yang
diam-diam menginstal semua ini dalam otak saya jauh sebelum saya belajar hal
lainnya hehehe…
Membaca lawan dan menyiapkan
strategi adalah bagian wajib sebelum memulai pertempuran, kira-kira begitu
gambaran sederhananya. Memang benar pertemuan ini bukan pertempuran dalam arti
harafiah kami akan saling berteriak dan adu otot bak kaum barbar. Namun
pertemuan ini menjadi genting karena kami mengadu argumentasi. Hal yang paling
saya kuatirkan waktu itu adalah saya terpancing secara emosi, sehingga saya
tidak bisa lagi membaca mereka dan menyiapkan cara menghadapi mereka. Maka doa
saya berhari-hari sebelum pertemuan itu dihelat adalah “Tuhan tolong saya untuk
mengendalikan diri saya.”hehehe…
Ketika pertemuan dilaksanakan di
suatu hari yang cerah di kota yang panas, saya berhasil mengendalikan diri
saya. Sampai sekarang saya tidak bisa mengerti mengapa saya bisa begitu tenang.
Saking tenangnya sampai-sampai mereka kelabakan mencari kata-kata. Dalam hal
ini ketenangan kita juga menjadi sebuah strategi tertentu yang membuat pihak
lain bingung dan cenderung mengobral kata-kata. Kejadian ini persis seperti
cerita tentang perang yang terjadi antara negara Qi dan negara Lu pada tahun
684 S. M.Seorang pria bernama Cao Gui menjadi penasihat bangsawan Zhuang,
penguasa negeri Lu. Ketika mereka sudah ada di medan pertempuran, bangsawan
Zhuang hampir memberi perintah untuk menabuh genderang sebagai tanda serangan.
Namun Cao Gui mencegah. Ketika tentara Qi menabuh genderang, bangsawan Zhuang
sekali lagi menyuruh membalas dengan menabuh genderang. Namun Cao Gui mencegah.
Setelah pasukan Qi menabuh genderang tiga kali, barulah Cao Gui memerintah
pasukan Lu untuk menabuh genderang. Dalam peperangan itu pasukan Qi kalah dan
mundur teratur.
Bangsawan Zhuang heran dengan
taktik Cao Gui. Cao Gui menjelaskan, “Ketika mendengar genderang ditabuh untuk
yang pertama kalinya, semangat perang tergerak. Musuh bersemangat tinggi tetapi
kita tetap diam dan tidak menanggapi. Setelah mendengar genderang ditabuh kedua
kalinya, moral dari musuh masih tinggi tetapi tidak setinggi yang pertama.
Sekali lagi kita juga tidak menanggapi. Ketika genderang ditabuh untuk yang
ketiga kalinya, semangat mereka sudah hampir lenyap, namun emosi yang terkumpul
membuat pasukan kita lebih kuat.”
Dalam beberapa hal ketenangan
kita membuat orang lain seolah-olah terdesak untuk melakukan sesuatu. Itulah
yang saya alami dalam pertemuan maha membosankan itu. Setiap kali mereka bicara
saya diam mendengarkan dan tersenyum sesekali. Ketika mereka minta saya
menanggapi untuk pertama kalinya saya diam dan tersenyum. Sekali lagi mereka
menjelaskan dengan sangat antusias dan meminta saya menanggapi. Barulah
kemudian saya menanggapi dengan ketenangan yang saya sendiri tidak tahu
bagaimana bisa terjadi (terimakasih Tuhan hehehe). Beberapa kalimat saja yang
membuat mereka semakin menunjukkan siapa diri mereka. Dengan mudah saya kembali
membaca mereka.
Ketenangan saya mungkin bisa
ditafsirkan sebagai kebodohan, kedunguan, atau bahkan ketidakmengertian saya
akan perkataan mereka. Namun ini point menguntungkan bagi saya karena diam-diam
saya merekam mereka dalam benak saya. Ketenangan saya justru mendorong mereka
untuk menunjukkan diri mereka habis-habisan. Dan pada akhirnya saya belajar
dari mereka,
·
Sistem dan
kekuasaan itu bukan segala-galanya. Hormatilah sistem dan kekuasaan tapi jangan
pernah memperlakukannya seperti dewa, begitulah nasehat Yan Zhitui (531-591).
Sistem dan kekuasaan tidak selamanya buruk, tetapi semua yang serba terlalu itu
lah yang mendatangkan keburukan. Dan inilah yang saya saksikan. Sepanjang
pertemuan ini yang namanya sistem menjadi sesuatu yang diagung-agungkan, dipuja
tiada cela. Dan kekuasaan menjadi mahkotanya. Ah kawan, adakah itu semua
mendatangkan kebahagiaan sejati dalam batinmu? Adakah itu semua membahagiakan
orang lain? Atau justru hanya demi dirimu semata.
· Kalau sudah “di atas” bisanya sulit menengok
“ke bawah” namun yang “di bawah” diminta selalu menengadah “ke atas”. Padahal
kalau sudah di atas itu jangkauan pandangannya bisa luas sekali. Tapi yang
terjadi sebaliknya, selalu ada pihak yang disudutkan dengan pilihan-pilihan
yang berat dan rumit. Betapa sulitnya mereka memahami orang lain dan segenap
pengalamannya. Sungguh beda dengan Jenderal Wu Qi dari negara Wei yang sangat
memperhatikan para prajuritnya. Bahkan mau menjadi sama dengan mereka sekalipun
sebagai jenderal ia punya segala fasilitas mumpuni. Sulit memang mencari
pemimpin yang mau sejenak duduk ndlosor bersama dengan orang-orang yang
dipimpinnya untuk sekedar mendengarkan…
· Kerendahan hati bukan slogan kering. Kalian
sering meminta saya bercermin dengan seksama, bahkan memberi saya waktu untuk
itu. Namun ketika saya selesai bercermin, adakah kalian juga sudah melihat
wajah kalian di cermin tadi? Lalu bagaimana wajah kalian? Seorang teman pernah
berkata, “monyet saja kalau dilempari cermin langsung akan mengambil cermin dan
bercermin, tapi manusia? Nunggu disuruh, diperintah.” Tanpa kalian suruh dan
minta saya sudah bercermin, hingga hapal lekuk dan ceruknya maka saya berhadapan
dengan kalian. Tetapi memang lebih mudah menyuruh seseorang melakukan sesuatu
tanpa perlu kita melakukannya. Kerendahan hati adalah kesediaan untuk bercermin
dan mengingat betul wajah kita di cermin sebelum bertemu orang lain. Dari sini
saya merasa tiba-tiba menyayangi monyet-monyet yang suka becermin
hehehehehehe…uuupppssss :D
· Ketika seseorang sudah terpojok bahkan dengan
ketenangan yang ada di hadapannya, maka tiada lain senjata terakhir adalah
ayat-ayat Alkitab yang didaraskan tanpa mengenal konteks. Asal cocok dan pas
saja di kuping pendengarnya. Belum lagi refleksi teologi asal-asalan yang main
tempel sana-sini asal pas dan demi meneguhkan pendapat pribadi. Hmmm…memang ya
dari dulu yang namanya Akitab ini bisa digunakan untuk kepentingan apapun. Sangat
lentur rupanya. Namun risih hati ini mendengarkan ayat-ayat diumbar sedemikian
rupa, refleksi teologi dijejerkan semenarik mungkin. Ah kawan, dangkal sekali
pemahaman ini rupanya. Belajar seharusnya meningkatkan diri kalian bukan?!
· Panggilan itu adalah milik Allah. Selama Ia
masih berkenan memanggil saya dan yang lainnya, maka akan selalu ada jalan.
Akan selalu ada skenario bagi saya. Panggilan Allah itu luas, tidak terkotak
dan terpusat pada seseorang atau lembaga tertentu. Maka kalau jalan menuntun saya
melewati liku yang lain, janganlah semudah itu menganggap Allah mencampakkan
saya. Panggilan itu milik Allah tiada guna kita mempertahankan mati-matian.
Kalau Allah masih berkenan, maka panggilan itu masih tertuju pada saya, kalau
tidak, maka Ia menyediakan jalan yang lain, menuntun saya melewati rute yang
lain.
“Bertemanlah dengan orang-orang
di mana kamu dapat mempelajari sesuatu darinya.”,begitulah petuah Konfusius
kepada murid-muridnya yang saya amini. Sekalipun pertemuan itu menjadi sangat
membosankan karena ketenangan saya justru mengundang mereka mengobral
kalimat-kalimat normatif yang diplomatif, namun sejujurnya saya perlu
mengucapkan terimakasih kepada mereka yang sudah melatih saya untuk membaca
mereka dengan jeli… sekalipun saya dan mereka berseberangan dalam banyak hal,
namun mereka adalah teman-teman saya yang mengajari saya banyak hal untuk tidak
saya lakukan hehehe…
Maka
sekalipun pertemuan dua jam itu tidak menghasilkan apapun karena masing-masing
pihak tetap berdiri pada posisinya masing-masing namun saya bersyukur dalam
situasi dan pengalaman seperti itu saya tidak kehilangan rasa hormat saya
kepada mereka. Saya tidak kehilangan kendali atas diri saya sehingga dua jam
itu saya begitu tenang mendengarkan dan menanggapi mereka. Saya tidak juga
menaruh harapan yang berlebihan pada pertemuan tersebut. Saya sangat bersyukur
untuk semua itu….tidak sia-sia sekalipun membosankan…hehehehe…
Banyu urip 2013-yohana defrita
rufikasari
(melengkapi catatan...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar