Apa yang akan Anda lakukan jika Anda
tahu bahwa 12 jam lagi Anda akan meninggal dunia? Apakah Anda akan tetap
tinggal di dalam gedung gereja ini dan berdoa? Apakah Anda akan bergegas pulang
bahkan sebelum kebaktian ini selesai dan mulai menelpon orang-orang terdekat
dan meminta maaf kepada mereka? Atau anda akan segera pulang, duduk tenang dan
mulai menulis pesan-pesan terakhir lalu berbaring di tempat tidur? Pertanyaan
sejenis ini pernah ditanyakan kepada saya sewaktu saya mengikuti wawancara
masuk Fakultas Theologia UKDW tahun 2005. Anda pasti penasaran apa jawaban saya
waktu itu? Hehehe…want to know aja.
Sekarang,
apa yang Yesus lakukan 12 jam sebelum Ia meninggal di salib? Apakah Ia duduk
dan menulis pesan-pesan terakhir? Tidak. Ia berjongkok di bawah kaki para
murid-Nya dan mencuci kaki mereka. Suatu kegiatan yang saya yakin tidak akan
kita lakukan jika kita tahu 12 jam lagi kita akan meninggal. Siapa yang sempat
berpikir mencuci kaki orang lain kalau 12 jam lagi kita sudah di Rumah Bapa
berpisah dengan sanak saudara dan teman. Namun itulah yang Yesus lalukan. Mencuci
kaki para muridNya.
Setiap
tahun melalui bacaan leksionari kita akan selalu berjumpa dengan kisah Yesus mencuci
kaki para murid-Nya. Jadi jelas saja kisah ini tidak lagi asing di telinga
kita. Namun mari kita sejenak mencermati bacaan yang sudah akrab dengan kita
ini lebih seksama…
Plato,
seorang filsuf pernah bertanya, “Siapakah
yang senang kalau harus melayani orang lain?” Rupanya Plato lebih jujur
daripada saya dan Anda. Sebab sering kali kita berkata bahwa kita mau melayani
orang lain, namun dalam prakteknya kita bersikap, “Eh, enak aja nyuruh-nyuruh, emang aku jongosmu dia?” Ketika saya
melemparkan pertanyaan serupa di sebuah media sosial, ya melemparkan sesuatu ke
media sosial itu berarti kita sedang memberi umpan pada lele-lele yang
kelaparan. Saya bertanya, “siapakah yang
senang kalau harus melayani orang lain?” Tak dinyana jawaban yang masuk
kurang lebih begini, “Saya, saya mau
melayani tapi kalau yang dilayani baik, ndak jahat, aktif, kreatif, cerdas,
berbakat…” dan makin panjang daftarnya. Tuh kan, baru saja dibicarakan,
memang Plato lebih jujur daripada kita. Sebab
melayani itu mengandung banyak segi dan resiko. Melayani itu bukan sekedar bersibuk di sana dan di sini, atau sekedar
memberi ini atau itu. Melayani adalah mengosongkan diri dan menempatkan
kepentingan sendiri di bawah kepentingan Tuhan dan sesama. Jiwa Kristus adalah melayani dan menghamba.
Itu pula jiwa kristiani para pengikut-Nya. Kalau Plato bertanya, “Siapa
yang mau menjadi pelayan?” Maka Yesus menjawab, “Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk. 22:27).
Perkataan
Yesus itu bukan hanya OMDO (omong doang) tetapi diwujudnyatakan dalam tindakan,
salah satunya mencuci kaki para muridNya. Orang yang membaca atau mendengar
cerita tentang Tuhan Yesus yang mencuci kaki para murid-Nya bisa membayangkan
skenario kejadiannya. Menurut skenario, apa sebab Yesus membasuh kaki para murid?
Pertama, karena di antara para murid tidak ada yang mau bersedia melakukannya.
Penyebab yang lain adalah karena di ruangan itu tidak ada hamba atau pelayan. Namun Injil Yohanes mencatat yang lain.
Mari kita simak jalan ceritanya…
Ruangan
yang dipakai oleh Yesus dan para murid agaknya bukan rumah tinggal, sehingga di
situ tidak ada pelayan. Mereka meminjam ruangan itu dari seseorang yang tidak
dikenal dan mereka harus menyiapkan sendiri segala kebutuhan. Begitulah Yesus
dan murid-muridNya memasuki ruangan tanpa disambut oleh pelayan yang biasanya
membuka sandal para tamu dan mencuci kaki para tamu. Ini adalah adat istiadat
dalam budaya Yahudi pada zaman itu, mengingat orang waktu itu tidak pakai
sepatu dan jalanan tidak beraspal sehingga kaki kotor karena debu jalanan.
Menurut
catatan pengarang Injil yang lain, suasana di sekitar meja makan malam itu
terasa kaku dan tegang. Injil Lukas mencatat demikian, “Terjadilah juga pertengkaran di antara murid-murid Yesus, siapakah
yang dapat dianggap terbesar di antara mereka” (Luk. 22:24). Yesus
menentramkan suasana itu dengan berkata, “Raja-raja
bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang menjalankan kuasa atas
mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan
yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan
pemimpin sebagai pelayan” (Luk. 22:25-26). Lalu Yesus melanjutkan, “Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk
makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di
tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk. 22:27).
Pada
masa itu ada kelaziman bahwa di samping kanan seorang pemimpin adalah orang
terhormat kepercayaan si pemimpin. Kemudian di sebelah kiri adalah orang
terhormat kepercayaan kedua si pemimpin, lalu orang-orang “biasa”. Agaknya para
murid sedang ribut soal siapa yang duduk di samping kanan Yesus karena itu
berarti ia yang terbesar, terhormat dan orang kepercayaan Yesus. Sehingga
persaingan pun jauh dari kata reda dan usai. Maklum bapak, ibu, ini menyangkut
gengsi. Siapa sih yang mau dianggap lebih rendah? Bodoh? Lebih kecil? Atau
biasa-biasa saja? Tiap orang itu mau dianggap sebagai yang lebih tinggi, lebih
besar, lebih terhormat, lebih pandai, lebih kaya dari kenyataan sesungguhnya.
Karena
itu bisa dimengerti bahwa sampai makan malam sudah dimulai, belum juga ada
seorang pun di antara keduabelas murid yang mau mencuci kaki para hadirin,
karena kalau sampai ada orang nekat yang melakukannya, ahaa…dia akan langsung
dianggap sebagai murid yang paling rendah. Bukankah itu tugas pelayan, padahal
mereka kan bukan pelayan, mereka tamu.
Di
tengah ketegangan itulah, terjadilah sesuatu yang membuat para murid terkejut,
kikuk dan malu. Tanpa mengucapkan kata-kata, Yesus meninggalkan meja,
melepaskan jubah-Nya, mengambil sehelai kain, mengikatkan kain itu pada
pinggang-Nya, mengambil sebuah baskom, menuangkan air ke baskom itu, berjongkok
di depan para murid, mencuci kaki mereka dan mengeringkannya dengan kain yang
terikat pada pinggan-Nya.
Jelas,
apa yang diperbuat oleh Yesus merupakan wujud dari apa yang diucapkannya.
Supaya para murid-Nya ini lebih “mudeng”, Yesus bertanya, “Mengertikah kamu apa yang telah Ku perbuat kepadamu? Kamu menyebut
Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan.
Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu
pun wajib saling membasuh kakimu: sebab Aku telah memberikan suatu teladan
kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Ku perbuat
kepadamu” (Yoh. 13:12-15).
Kembali ke pertanyaan di awal kotbah
ini: menurut Yohanes apa sebabnya Yesus mencuci kaki para murid?”
Yohanes 13:3-4 mencatat, “Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah
menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan
kembali kepada Allah. Lalu bangunlah Yesus menanggalakan jubah-Nya…”
Pertanyaan kita telah terjawab kalau kita melihat naskah Yunaninya yang secara
harafiah berbunyi, “karena mengetahui bahwa segala perkara diberikan kepada-Nya
oleh Bapa ke dalam tangan-Nya dan bahwa dari Allah Ia berasal dan kepada Allah
pergi, Ia berdiri dari santapan dan melepaskan jubah-Nya…”
Perhatikan
bahwa ayat 3 berawal dengan “karena
mengetahui”. Perhatikan pula
bahwa kedua ayat itu tidak terputus titik melainkan koma. Jadi menurut Yohanes, Yesus meninggalkan meja karena Ia mengetahui
bahwa segala kekuasaan diberikan Allah kepada-Nya dan karena Ia mengetahui
bahwa Ia datang dari Allah dan kembali ke Allah. Dengan kata lain, karena
Yesus mengetahui bahwa Ia punya KEKUASAAN yang begitu besar dan KEDUDUKAN yang
begitu tinggi maka Ia melayani para murid-Nya.
Itulah
penyebab utama mengapa Yesus merendahkan diri dan berlaku sebagai pelayan.
Itulah cara Yesus menggunakan kekuasaan dan kedudukannya. Kekuasaan dan kedudukan tidak Ia gunakan untuk menekan orang dan
menganiaya orang namun untuk MELAYANI KEPENTINGAN MEREKA.
Itulah paradoks yang terjadi pada malam
itu. Para murid merasa bahwa kedudukan mereka terlalu tinggi untuk
menggantikan tugas pelayan mencuci kaki. Padahal Yesus yang berkedudukan jauh
lebih tinggi, bersedia melakukan tugas itu. Para murid menggunakan kedudukannya
untuk meninggikan diri masing-masing dan menekan sesama mereka, padahal Yesus
menggunakan kedudukanNya untuk MELAYANI KEPENTINGAN ORANG LAIN.
Di tengah-tengah
kecenderungan manusia untuk dihormati, dilayani, dikasihi dan diperhatikan,
sikap hidup yang ditunjukkan oleh Yesus kepada para murid-Nya ini menjadi
sesuatu yang selalu menantang untuk dilakukan. Bukan hanya tindakan fisiknya
yaitu jongkok dan mencuci kaki orang lain namun makna di balik itu. Sebab
seperti ungkapan kejujuran Plato, “siapa
sih yang mau dan senang jadi pelayan?” Nyaris sedikit sekali orang yang
akan mengacungkan jari telunjuk dan menjawab “saya mau” tanpa embel-embel
syarat dan ketentuan yang berlaku.
Almarhum Pdt. Eka Darmaputera
pernah mengatakan demikian, “Melayani di mata dunia sama sekali bukan
pekerjaan bergengsi…oleh karena itu melakukannya membutuhkan KERENDAHAN HATI
dan PENYANGKALAN DIRI. Kesediaan berjongkok di bawah kaki orang lain dan
membasuh kakinya, bukan menjilat kakinya. Pernyataan Alm. Pdt. Eka
Darmaputera ini semakin menegaskan bahwa tindakan MENGHAMBA DAN MELAYANI SESAMA itu hanya dimungkinkan jika saya dan Anda
belajar rendah hati dan menyangkal diri. Menjadi orang yang rendah hati itu
tidak mudah, sakit rasanya. Apalagi kalau kita sudah terlanjur punya kedudukan,
kuasa, dan harta serta kompetensi yang baik, maka biasanya makin sulit untuk
rendah hati karena merasa sudah punya segala. Lalu bagaimana dengan penyangkalan
diri? Apa itu artinya kita tidak mengakui
diri kita sendiri? Atau artinya kita tidak mengakui bahwa kita menderita,
sakit, sulit ketika menghamba untuk melayani sesama? Bukan, bukan demikian
artinya. Menyangkal diri artinya saya dan Anda sadar akan kekuasaan,
kedudukan, kekayaan dan kompetensi yang dimiliki NAMUN MEMILIH TIDAK
MENGGUNAKANNYA. Menyangkal diri artinya saya dan Anda sadar sepenuh bahwa
ketika kita menghamba untuk melayani sesama ada pedih perih dan sedih yang
dirasakan, kita tidak mengelak, tapi kita tidak juga terpancang. Rendah hati itu dimungkinkan ketika kita
sanggup menyangkal diri. Itulah yang dilakukan oleh Yesus ketika mencuci kaki
para murid-Nya.
Tetapi kenyataan tidak
sesederhana perkataan. Dalam kehidupan sesehari ditambah dengan kecenderungan
manusia untuk dihormati, dikasihi, dilayani, diperhatikan maka makin jauh
panggang dari api, alias makin jauh kita menjadi hamba yang melayani sesama.
Paling banter kita menjadi hamba yang melayani sesama kalau sesama itu
MENYENANGKAN, TIDAK REWEL DAN BAWEL, KREATIF, AKTIF, CERDAS, BAIK HATI, TIDAK
SUKA BIKIN PERKARA. Tetapi yang diminta oleh Yesus ketika mencuci kaki
murid-murid-Nya dan memberikan perintah baru bukan itu! Yesus tidak mencuci
para murid dan membiarkan kaki Yudas tidak dicuci karena tahu Yudas akan
menghianati Dia. Yesus juga tidak melewatkan kaki Petrus walaupun tahu dia juga
akan menyangkali Yesus 3 kali. Mau murid baik atau pengkhianat, semua dicuci
kaki-Nya oleh Yesus. Tidak ada yang dilewatkan! Juga Yesus tidak memilih kaki
siapa yang tidak terlalu dekil dan tidak terlalu bau untuk dicuci. Semua
dicuci. Titik!
Dengan demikian makin jelas,
bahwa ketika kita berjalan di
belakang Yesus sebagai pengikut-pengikutNya, maka kita sedang berjalan melawan
arus. Kalau orang pada umumnya yang baik yang dilayani, yang berduit
yang dilayani, yang berkedudukan yang dilayani, maka mengikut Yesus semua itu
dijungkir balikkan.
·
Kita melayani bukan hanya mereka
yang baik, yang jahat pun dilayani. Sekalipun sering kita berpikir, “Ah kalau kita baik kepadanya, nanti dia
mengambil keuntungan dari saya.” Ya memang tidak ada yang bisa mencegah resiko
semacam itu terjadi. Buktinya Yesus baik kepada Yudas, mencuci kakinya, namun
Ia mengkhianatiNya sekalipun jauh hari nanti ia insyaf setelah sekian waktu
khilaf.
·
Kita melayani mereka yang secara
status sosial lebih rendah dari kita. Bukan hanya sibuk memberi ini dan itu namun bagaimana kita mendorong
mereka dan mendukung mereka sehingga mereka bisa berusaha secara mandiri. Tidak
hanya memberi ikan, tetapi beri pancing dan kalau perlu sediakan kolam, biarkan
mereka berusaha.
·
Kita melayani mereka yang selama
ini tersisihkan karena pernah melakukan suatu aib di masa lalu. Tidak lagi sibuk memberi stempel
kepada mereka sebagai “orang yang punya aib”, “orang berdosa”. Stempel seperti
itu tidak akan menolong orang lain berubah, maka jangan jauhi, tetapi rangkul
dan ajak bersekutu.
·
Kita melayani mereka yang selama
ini mengalami ketidakadilan. Gereja dipanggil bukan hanya untuk mengurusi organisasinya namun juga
membela ketidakadilan, menyuarakan kebenaran, sekalipun resikonya besar. Itu
panggilan gereja, berada dan berdiri bersama-sama dengan mereka yang teraniaya
karena Allah pun hadir di dunia berada bersama-sama dengan manusia yang
menderita dan teraniaya.
Selalu ada resiko yang
akan kita hadapi ketika kita berupaya hidup menghamba untuk melayani sesama.
Selalu ada godaan yang muncul ketika kita berupaya melayani sesama sepenuh
hati. Banyak kisah dan bahkan potret sebagian pemimpin kita atau mungkin kita
sendiri yang menceritakan bahwa ketika resiko dan godaan kian besar, maka
biasanya orang akan berjongkok di bawah kaki orang lain dan menjilatnya. Bukan
dalam arti harafiah bapak, ibu. Tetapi
maksudnya adalah, alih-alih berteguh hati hidup sebagai hamba untuk melayani
sesama, yang terjadi adalah kita menjilat, cari muka. Ini bukan melayani! Ini cari
aman! Jadi jangan sekali-kali menganggap tindakan tadi sebagai tindakan
hamba yang melayani yaitu Asal Bapak Senang...itu tindakan cari aman. Sebab MENGHAMBA UNTUK MELAYANI SESAMA ITU
MENEMPATKAN KEPENTINGAN DIRI SENDIRI DI BAWAH KEPENTINGAN ORANG LAIN DAN TUHAN…bukan
mementingkan diri sendiri…
Pelbagai kata sudah
digunakan oleh gereja abad pertama untuk menjelaskan makna menghamba, melayani,
dan mengabdi kepada Tuhan dan kepada sesama.Pelbagai tafsiran sudah
dikemukakan. Namun di balik semua penjelasan indah akan makna mendalam tentang
hidup sebagai hamba yang melayani sesama rupa-rupanya dapat pula kita jumpai
tatkala kita memperhatikan lilin…
Untuk memberi terang
sebatang lilin harus berkorban. Ia meleleh. Ia menjadi pendek. Seandainya lilin
itu tidak mau meleleh dan tidak sudi menjadi pendek, maka ia tidak bisa
bersinar. Lilin yang memenuhi perannya adalah lilin yang rela meleleh. Sebatang
lilin hidup bukan untuk dirinya sendiri. Ia memberi diri. Menghamba untuk
melayani sesama adalah memberi diri….
Sinarnya memang kalah dari
lampu petromaks atau lampu emergensi. Cahanya kecil saja, tetapi ia bersinar
dengan setia. Diam-diam tanpa gembar-gembor, lilin itu sudah memenuhi perannya
dengan setia, menjadi terang dan memberi terang. Mungkin pelayanan kita
biasa-biasa saja. Tidak istimewa. Tidak luar biasa. Tidak hebat. Bahkan mungkin
kita tidak punya kedudukan. Tetapi biarlah kita tetap seperti lilin yang
menjadi terang dan memberi terang. Menghamba untuk melayani sesama bukan
berarti sibuk sana sini, tetapi hidup seperti lilin yang sederhana, tidak
gembar-gembor, tapi nyata dampaknya!
Dan lilin itu terus bersinar sampai sumbu penghabisan. Hidup
dan pelayanan kita juga pada suatu waktu akan berakhir. Ada waktu menyala, ada
waktu padam. Tetapi, selama kita masih
bisa bersinar….bersinarlah…Menjadi terang sebisanya. Menjadi cahaya seadanya.
Selama Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk menghamba demi melayani
sesama…kita terus melayani! Terus bersinar sampai sumbu penghabisan…