Hari senin yang lalu saya mendapatkan buku berjudul "Raise The Red Lantern" yang pernah diangkat ke layar lebar hasil garapan sutradara terkemuka Zhang Yimou dengan peran utama perempuan yang top yaitu Gong Li.
Secara garis besar film ini berkisah tentang intrik dan polemik yang lahir dari hidup poligami di masyarakat China. Intrik dan polemik itu dirajut oleh karakter empat istri yang terus menerus memperebutkan cinta sang tuan besar yang sudah uzur tapi kaya raya. Dalam jalinan kisah itu hadirlah tokoh perempuan muda terpelajar bernama Teratai yang menjadi istri ke-4. Ia mau menjadi istri ke-4 lantaran ingin menyelamatkan perekonomian keluarganya yang ditinggal mati bunuh diri oleh si ayah. Memang alasannya rada klasik tapi yang unik adalah sosok Teratai yang nyaris datar emosinya ketika ia menyaksikkan ayahnya bersimbah darah di tempat cucian, dan tanpa ada sedih atau takut ia malah mengiyakan usulan ibu tirinya untuk sesegera mungkin menikahkan dia dengan lelaki kaya raya. Dalam emosi yang datar itu sebetulnya teratai menyadari perbedaan dirinya dengan perempuan lain pada jamannya.
Teratai yang muda, cantik, terpelajar dan penuh gairah itu segera saja terseret intrik dalam hidup ke-3 istri yang lain, Mulai dari istri pertama yang gembrot dan sok rohani, istri kedua yang lemah lembut, hobi makan kuaci dan sulit ditebak, serta istri ketiga yang mantan pemain opera yang begitu vulgar dan punya affair dengan dokter. Belum lagi anak istri pertama yang ternyata mencintai Teratai dan Teratai yang memendam hasrat terhadapnya.
Dan dalam keruwetan intrik itulah, saban malam lampion merah akan dipasang di depan kamar istri yang dipilih oleh Tuan Besar untuk menemaninya malam itu. segera saja persaingan demi persaingan melahirkan kecurigaan, fitnah, kebencian, dan pada akhirnya melahirkan frustasi yang berujung pada kegilaan. Menyaksikan itu semua Tuan besar justru menikah dengan istri kelima pasca kematian istri ketiga yang dilempar ke dalam sumur kematian.
Membaca kisah klasik yang ludes dalam semalam membuat saya menyaksikan satu lagi potret kehidupan poligami dalam masyarakat. Selama ini entah mengapa ada saja tayangan dari kotak ajaib yang berkisah tentang betapa harmonisnya hidup berpoligami. tak hanya lima istri seperti si tuan besar ada yang sepuluh bahkan. Sungguh saya tak tahu mengapa demikian itu bisa dibilang baik, harmonis. Apakah lantaran tiada niat untuk blak-blakan bicara soal intrik dan polemik dari hidup poligami seperti Su Tong yang blak-blakan?
Film berbagi istri juga bertutur kisah yang sama, potret hidup poligami di tanah air sendiri. Tapi baik Su tong maupun Film berbagi istri semuanya mau secara jujur membuka tabir hidup berpoligami sekalipun tak dapat dikatakan inilah kebenarannya. tapi setidaknya membantu kita menyaksikan salah satu sudut potretnya.
Selain persoalan poligami yang biasanya berakhir pada disodorkannya pilihan bebas kepada tiap orang untuk memilih mau poligami apa tidak (mirip nawarin mau makan apa gak) saya melihat keliahian Su Tong dalam menjalin kecurigaan yang berkelindan dengan mitos, ilmu hitam dan hasrat yang menggebu serta bumbu kepentingan pribadi di atas segalanya. Dalam lingkup seperti itulah Teratai diombang-ambingkan oleh sebuah pertanyaan besar: KEPADA SIAPA IA DAPAT PERCAYA? Ia dipaksa belajar mengamati orang-orang di sekitarnya. Sekali dua ia menumpahkan kekesalannya pada pembantunya Walet yang berakhir pada kematian Walet. Hitam dan Putih yang biasa nampak dalam sinetron Indonesia sungguh tiada dalam novel ini. Su Tong mewarnai novelya dengan abu-abu.Sehingga batas antara baik dan jahat tiada nampak. Maka sulitlah bagi Teratai untuk mengembangkan rasa percaya, bahkan kepada dirinya sendiri. Betapa kuat kecurigaan dan kebencian itu membelenggu seseorang untuk tumbuh, how about us?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar