Pada tahun 1923, seorang filsuf Yahudi Martin Buber namanya, menerbitkan buku "I and Thou" yang mengandung pernyataan "in the begining is relation", pada mulanya adalah relasi...hubungan. Buber menunjukkan bahwa sejak awal Allah adalah Allah yang berinisiatif menjalin relasi yang setara, relasi subyek-subyek dengan manusia. Dan bukankah peristiwa natal adalah peristiwa dimana Allah menjadi setara dengan kita. Berita Alkitab menggemakan sosok Allah yang berinisiatif mencari manusia dan beralsi dengan manusia.
Di dalam pemahaman ini pula kita berjumpa dengan sosok Allah yang berinisiatif menjalin relasi lebih dulu dengan manusia di dalam Yesaya 40:1-11. Allah tampil sebagai orangtua yang mendidik anakNya. Setelah si anak "dikurangi kebebasannya", si anak dituntut untuk berubah. Itu pula yang terjadi pada Israel. Amarah Allah terhadap mereka sudah selesai. Hukuman yang ditimpakan kepada Israel sudaj komplit. Maka Ia menyatakan pemulihan. Ia berdamai dengan umatNya dan Ia menuntut perubahan dari umatNya.
Berbicara tentang Allah yang begitu mencintai umatNya dan yang sejak semula sudah berinisiatif untuk mencari, memulihkan, dan berdamai dengan kita, berarti kita juga akan bicara soal respon kita khususnya dalam masa adventus ini.
MArkus 1:1-8 mengisahkan Yohanes Pembaptis yang "mempersiapkan umat" dalam merespon, menyambut kedatangan Tuhan. Yohanes pembaptis menyerukan panggilan untuk bertobat dan dibaptis. Pada dasarnya orang-orang Yahudi terbiasa dengan aneka macam ritus pembersihan dan penyucian diri, mulai dari sunat, upacara korban sampai baptis. Tetapi pertobatan yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis yang juga dinubuatkan dalam Yesaya 40:1-11 ini bukan hanya dalam pengertian : tidak lagi melakukan dosa atau pelanggaran dan kembali melakukan hal-hal yang baik.
Tetapi pertobatan yang dimaksudkan oleh Yohanes adalah PERUBAHAN HATI yang didasari oleh KESADARAN bahwa ALLAH sudah lebih dulu menCINTAi kita, maka kita KEMBALI MENYATAKAN CINTA kita kepada ALLAH! Pendek kata, yang menjadi dasar dari pertobatan kita adalah kesadaran untuk merespon cinta Allah dengan demikian pertobatan mendorong orang untuk mengalami perjumpaan dengan Allah tiap saat. So, pertobatan bukan cuma soal ritus keagaman saja, tetapi pertobatan lahir dari kesadaran untuk merespon cinta Allah. Bukan sekedar tempelan, seperti bangsa Israel yang TOMAT...Tobat dan kumat. Sebentar ingat untuk menaati dan mencintai Allah sebentar lupa lagi... Eitsss, jangankan bangsa Israel, kita juga seringkali begitu.
Memang yang namanya bertobat itu bukan proses sekali jadi, ada up and down dalam menghayati hidup pertobatan kita. Tapi yang perlu diingat adalah sekalipun ia up and down sifatnya, tapi kudu progresif dong...ada peningkatan, ada pertumbuhan cinta kepada Allah!
selain itu ada hal krusial terkait dengan bertobat yaitu titik dimana seseorang berhadapan dengan egonya sendiri. Seringkali ego manusia ini yang menjadi kendala dalam menghayati relasi cinta yang kita bangun baik dengan sesama maupun Allah. Ego yang mendorong kita untuk mencari kenikmatan...cari kenyamanan...sehingga ketika kita bilang "Ya Allah aku mau tobat" pernyataan tobat kita gak cuman tempelan karena pengen enaknya sendiri.
Dalam konteks itulah pertobotan selalu berkelindan dengan penyangkalan diri. dibutuhkan kerendahan hati untuk bertobat...untuk hidup dalam cinta kepada Allah yang mewujud dalam sikap hidup sesehari.
dalam masa adventus ini tepat jika kita mengisinya dengan sikap hidup yang bertobat sehingga hari2 yang Allah sudah berikan ke kita tidak berlalu sia-sia tanpa makna. 2Petrus 3:8-15a mengingatkan pada kita bahwa sekalipun Mesias belum datang dan entah kapan akan datang, kita masih diberi kesempatan. Kesabaran Allah adalah wujud cintaNya kepada kita yang memberi kita kesempatan untuk menyatakan kembali cinta kita kepadaNya... amin
Bandung, Desember 2011
Y. Defrita R.
Note: dikotbahkan pada Minggu 4 Desember 2011 di Bahureksa, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar