Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4
Hal yang paling aku takuti adalah: sendirian.Sekalipun aku sadar, setiap kita sebetulnya juga akan sendirian entah bagaimana ceritanya bisa sendirian, sometimes kita bakalan sendirian. Sekian lama aku pernah mencecap apa itu sendirian. Bukan dalam pengertian tiada orang di sekitarmu. Tapi sendirian dalam relung jiwamu. Baru beberapa saat aku merasakan nyamannya tidak sendirian lagi. Tapi hidup memang kadangkala semanis dan selembut gula-gula kapas berwarna jambon yang begitu nikmat di kulum. Begitu nikmat namun juga hanya sekejap.
Mengenalmu adalah hal termanis dalam hidupku. Berbagi denganmu juga kesempatan termanis. Tetapi memang dasar manusia, diberi yang manis-manis lalu tak mau itu sirna. Dan sekali lagi hidup memang bisa memberikan kejutan yang membuatmu goyah dan remuk seketika. Sekalipun pertanda sudah ditebarkan di seantero jagat raya dan bahkan dibisikkan dalam mimpi-mimpimu dan dalam bilik hatimu, toh aku pun masih terkejut. Hidup pernah menghantarku ke langit ke-7 dengan awan manis di sekitarku semua selaras indah di mata. Tapi hidup juga sedang menghunjam ku ke dasar paling bawah dan sunyi. Aku sendiri lagi!
Berjam-jam dalam deru bising mesin kereta baja ini aku masih menimbang-nimbang hidupku yang sudah remuk hanya dalam hitungan jam. Betapa sesungguhnya kehidupan manusia itu rapuh. Ringkih. Mudah hancur. Dan dalam riuh rendah roda baja beradu dengan jajaran baja rapi berjarak 143,5 cm ini aku melihat tawa kita, tangis kita, dan betapa itu semua seperti bola-bola gas dari sabun yang ditiupkan bocah kecil. Dalam keadaan normal tentu saja perjalanan selama 8 jam terasa biasa-biasa saja apalagi dengan pendingin yang tiada henti membuai sebagian orang untuk lelap. Tetapi bagiku 8 jam seperti menyeberangi Amerika menuju Indonesia dengan perahu cadik! Sangat lama! Aku tak sabar melihatmu walau tentu saja senyum mu, tubuhmu akan kaku karena jiwamu tiada lagi disana.
Memandangmu dalam ranjang beroda dengan jas hitam, celana kain hitam, sepatu mengkilat warna hitam, dasi, dan tak lupa wajahmu yang beku dan sunyi. Sekali lagi hidup mengijinkan aku berjumpa dengan wajah membeku dalam kematian abadi. Hanya tangisan yang mengiringi hatiku menerima realita bahwa dia tiada! Dan aku sendiri!
Bergegas keberangkatan untuk mengantarmu dirancang dengan sigap dan perjalanan panjang dalam duka mendalam bukanlah pilihan menarik. Tapi bukankah dalam hal ini aku tak diberi pilihan. Tidak, ini bukan sesuatu yang aku pilih. Aku dipilihkan. Aku tidak memilih dia tiada. Aku tidak memilih mengantar dia ke tanah kelahirannya dalam keadaan dia tiada. Tidak. Aku dipilihkan dan aku harus menjalani, begitu aturan mainnya kawan.
Perjalanan yang menguras tenaga dan air mata. Betapa tidak, hati yang masih remuk dan perih, kaki yang masih terseok-seok harus pula menempuh ratusan kilometer meninggalkan keluarga menuju tempat yang belum pernah ku tahu. Berpuluh kawan karib tak henti mengirimkan doa dan semangat bagiku. Sepintas aku memang tidak sedang sendirian. Tapi tahukah kau, bahwa puluhan karib itu tak jua mampu berkomunikasi dengan jiwaku?!
Menghantarmu sampai ke peristirahatan terakhir memang menimbulkan sesak di jiwa. Betapa hidup kita dari lahir hanya akan berakhir di liang kubur. From womb to tomb! Singkat! Di tengah pekikan suara yang menyerukan ketidakadilan Tuhan atas hidupku, aku hanya bisa menatap petimu dalam rinai air mata.
Aku tidak seperti mereka yang berteriak menyalahkan Tuhan. Tidak, aku tidak menyalahkan Dia. Apatah aku hingga berani menyalahkan Dia. Maka aku terheran-heran dengan hidup yang mempertontonkan bahwa penerimaan adalah hal yang sulit dilakukan oleh sebagian anak manusia. Setiap orang seolah punya skenario hidup yang terkadang dipaksakan agar terwujud. Dan ketika skenario tidak seperti yang kita inginkan, kita marah, kecewa dan tertekan tiada akhir.
Lewati semua tapak yang melelahkan dan menguras emosi, aku kembali pada putaran aktivitasku yang jauh dari keluarga. Di tengah itu semua aku sedang sibuk menata hatiku yang remuk. Dan dalam itu semua, aku masih harus berurusan dengan orang-orang yang masih memegang tahayul, mitos dan hal-hal lain yang justru membuat aku semakin kehabisan energi. Belum pula mengobarkan semangat kepada dua keluarga yang aku punya. Semuanya melelahkan. Dan kini tibalah aku di ruangan jiwaku. Sendirian. Takut dan ragu aku memasukinya. Dan disanalah aku berjumpa dengan ruangan kosong penuh barang kenangan. Dan aku sendirian.
Bahkan ketika suara riuh rendah dan tawa renyah mengelilingiku, aku masih sendirian. Kesunyian ini menyayat hati akhir-akhir ini. Aku hanya berusah realistis memasuki kesunyianku. Dan sambil membetulkan tali sepatu ketsku, ku tatap wajah malaikat kecil berbadan montok menempel pada dinding dengan senyum dan pipi merahnya. Ah, kau tak tahu betapa sunyinya di jiwaku. Lagu-lagu natal memenuhi atmosfer, deru orang berburu hadiah natal, ramai orang bicara liburan, dan aku makin merasa sunyi. Ini natal pertamaku tanpa dia.
Seketika aku tersadar bahwa setiap orang tentu akan mengalami natal pertamanya tanpa siapapun di sisinya. Dan itu memang menyakitkan. Hadapilah kataku.
Deretan ornamen natal dan kelap kelip lampu natal mengingatkanku bahwa aku memang sendirian. Aku kesepian. Sunyi. Maka terseliplah doa dalam sunyi itu, “Ya Tuhan hadirlah dalam jiwaku yang sunyi, sebagaimana Engkau dulu hadir di kandang yang sunyi.” Tiada lain pintaku di natal ini selain Tuhan menemani kesunyianku. Selamat Natal kawan J
Bandung, Desember 2011-mengenang dia yang telah tiada J
Y. Defrita R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar