Hari senin yang lalu saya melakukan perjalanan ke Yogyakarta. Memang tidak persis sama seperti ketika 3 tahun yang lalu saya melakukan perjalanan ke sana dalam suasana campur aduk demi menyaksikan dia yang sudah tiada. Kali ini tidak demikian namun tentu saja ada yang menggelayut di hati dan air mata.
Perjalanan yang sedianya saya nikmati karena saya penggemar kereta api menjadi perjalanan yang membuat saya ingin segera sampai. tergesa dan cemas menggerakan roda-roda besi kereta.
Sesampainya di Yogyakarta, seharusnya saya senang. bagaimanapun kota ini pernah menempa saya 5 tahun lengkap dengan segala suka dan dukanya. Kota ini yang merubah saya dari seorang perempuan yang polos da naif menjadi perempuan yang berdiri menatap hidup.
Perjalanan saya tidak berhenti di Yogyakarta. saya masih harus melanjutkan perjalanan ke Parakan, sebuah kota kecil namun dingin. Ada apa di sana?
Minggu dini hari yang lalu nenek saya dibawa ke ruang ICU RS. Ngesti Waluyo karena kondisi fisiknya yang tidak baik. Sekarang saya di sini hendak menengoknya. Walaupun saya tak berharap ia akan merespon perkataan saya.
Saya sampai di PArakan jam 18.30. Oleh ijin dokter dan perawat saya boleh menjumpai nenek saya di ruang ICU jam 20.00. Tepat jam 20.00 saya masuk ke dalam dan terkejut. Nenek saya terbaring seperti seorang anak kecil yang tertidur lelap. Saya tak tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Selang berseliweran di tubuhnya yang ringkih. Saya genggam tangannya. Saya cium keningnya. Saya berbisik, "Mak, saya datang. Maafkan segala kesalahan saya selama ini." Tidak ada respon dari tangannya hany tarikan nafas panjang dan tersengal sebanyak 2 kali kemudian ia kembali tidur nyenyak bak bayi.
Kemudian saya berdoa bersama dengan mama saya di sana. Seluruh pertemuan itu memakan waktu tak lebih dari 10 menit. sangat singkat. teramat singkat.
Kemudian jam 02.45 dini hari, seorang perawat memanggil saya agar masuk ke ruang ICU. Saya segera masuk bersama dengan mama saya. Saya genggam tangan nenek saya. Saya amati tekanan darahnya di monitor yang terus turun dan grafik jantungnya yang kian melemah. Perawat meminta mama saya memanggil tante saya. Sesaat setelah mama saya keluar, grafik jantung nenek saya meningkat kemudian melemah kembali. saya tetap genggam tangannya.
Mama dan tante semua mengelilingi nenek dengan sebuah doa yang menghantarnya menghadap Sang Sumber Hidup. Saya tidak bisa berdoa, justru saya menyanyikan potongan lagu "aku memuji kebesaranMu, ajaib Tuhan...ajaib Tuhan..." Kami semua menunggu sampai tepat jam 03.00 nenek pergi menghadap Tuhan dalam tidur yang sangat nyenyak seperti bayi.
Ini kali pertama saya menemani keberangkatan seseorang menghadap Allah. Inikali pertama saya melihat bagaimana Allah menjemputnya. Ada perasaan lega, namun ada perasaan "mengapa demikian cepat? hanya 15 menit?"
Peristiwa yang hanya 15 menit dalam hitungan arloji saya, namun peristiwa yang mengajarkan kepada saya arti hidup dan mati dalam Allah.
Saya tidak tahu dari sekian cucunya, mengapa saya yang menghantar kepergian nenek? apakah Allah sedang mengajari saya sesuatu hal? barangkali...
Setelah lima belas menit yang mendebarkan, mengharukan, saya disibukkan dengan menelpon sanak dan kerabat. Dan tepat jam 07.00 kami semua kembali ke Wonosobo.
Di rumah duka, saya dan mama me-make up nenek yang entah bagaimana dia nampak begitu cantik, begitu indah dan tenang. Apakah perjalanan bersama Sang mempelai begitu menyenangkan hingga ia bahagia? saya rasa begitu.
dan dimulailah rangkaian kegiatan yang melelahkan secara fisik dan emosi. Sampai pada puncaknya adalah pemakaman nenek.
Setelah acara pemakaman, saya dan mama kembali ke rumah. Kembali kami teringat oleh berbagai macam hal yang biasa nenek lakukan di sana. Benarlah kata orang bahwa sekalipun nenek sudah bersama dengan Allah, kenangan akan nenek akan terus hidup dalam sanubari kami keluarganyan.
Melihat kain perca dan jarum jahit yang menjadi hobi nenek, cempal yang ia buat dan ia bagikan kepada siapa saja, melihat beberapa kebaya dan kainnya, ahhhh...hati kami kembali mengenangnya...
juga candaan kami akan kebiasaan nenek yang mengingatkan kami agar memakai sandal di dalam rumah, memotong kuku dan menyapu potonganya untuk di buang, dan masih banyak lagi...
Dia kini sudah menang dan bersama-sama dengan Allah di rumah-Nya, namun perjuangannya, kenangan akan dia...ada di hati kami...
terimakasih mak, sudah memberi saya kesempatan menemani, menghantar sekalipun hanya 15 menit...
Y.Defrita R.
Banyuurip, akhir maret 2014