Ada rasa yang beda dalam kedatanganku
ke sini kali ini. Kalau dulu aku datang untuk belajar, kini aku datang untuk
mengenang. Di sini aku pernah berdiri di ambang batas antara mengingini dan
menahan diri.
Aku melihatnya untuk pertama kali di
sini. Duduklah kami berseberangan namun mata selalu beradu. Aku berusaha
menunduk. Dia berusaha menahan diri. Namun akhirnya jalan itu terbuka juga.
Walaupun aku juga tahu kau sudah memiliki dia yang juga ada di sana waktu itu.
Dan aku memiliki dia nun jauh di sana.
Namun pelan-pelan ada yang tumbuh di
dalam hati. Bukan hanya hatiku, tapi aku yakin hatimu juga. Tatapanmu itu tidak
bisa berkilah lagi. Tetapi apa yang mulai kuncup di hatiku aku rasakan bagai
siksaan. Bagaimana mungkin aku mengingini dia dan meyakini bahwa dia mampu
membahagiakan aku sedangkan aku masih dengan yang lain dan kau pun juga. Apakah aku sudah mulai
belajar berkhianat?
Konon katanya mengingini saja sudah
sama derajatnya dengan melakukan. Apakah aku salah jika dalam perjalanan
memetik bulir gandum, aku sudah memetik tetapi bukannya pulang aku masih
meneruskan perjalanan dan ku lihat ada bulir lain yang lebih baik? Kalau aku
salah, yang aku butuhkan adalah jalan pulang. Entah pulang ke mana tetapi
berdiri di batas ingin dan menahan diri sangat menyiksa diri.
Sayup-sayup kawan demi kawan berkisah
bagaimana hubunganmu dengan dia memasuki masa kritis. Aku sedih sekaligus
bahagia. Sedih karena melihatmu menjadi muram. Koleksi candamu tidak sebanyak
dulu walaupun kau masih teman yang paling asyik untuk nongkrong sampai pagi
menjemput! Kau memang kalong! Aku bahagia karena apakah itu tandanya kita bisa
bersama?
Omong kosong apalagi ini. Bagaimana
bisa aku menjadi liar seperti ini? Logika dari mana aku bisa bersama dia
sementara aku sendiri masih terikat? Lalu dosakah aku kalau aku meminta kepada
Tuhan memutuskan ikatanku demi dia? Mahluk macam apa aku ini! Aku tak sampai
hati mendoakan itu. Karena baik dia maupun dia adalah orang-orang yang baik
dalam definisinya masing-masing.
Tapi asal kau tahu angin perubahan
perlahan bertiup ke arahku. Komunikasiku dengan dia yang jauh di sana makin
kurang. Sekalinya kami komunikasi kami bertengkar hebat. Maka kami memutuskan
untuk tidak berkomunikasi sesering dulu. Ada rasa lega di sana, itu artinya
malam-malam aku tak bericara dengan dia, aku bisa dipastikan bersama dengan dia
di sini meneguk kopi dan berbagi tawa dengan teman-teman.
Dan akhirnya aku benar-benar
memutuskan berpisah dengan dia yang jauh di sana. Aku menjadi lega namun tak
seperti yang ku duga. Aku dan dia mungkin memang ditakdirkan sebagai sesama
kalong yang gemar nongkrong di malam-malam dingin. Kami tak pernah benar-benar
bisa bicara dari hati ke hati. Kami hanya meracau membuang racun yang mengendap
dalam hati sampai gelas terakhir kosong. Hidup para kalong!
Kalau orang berpikir kami sudah resmi
pacaran seperti istilah anak muda masa kini, mereka salah. Walau aku dan dia
sama-sama mendamba, namun nyatanya kami cuma sesama kalong. Tim Kalong yang
gemar ngeloyor dan nongkrong. Tidak lebih dan tidak kurang. Walaupun dalam
tatapan kami masing-masing ada rasa itu. Kami hanya belajar menyimpannya
rapat-rapat. Sebab kadangkala tidak mengudar rasa adalah jalan terbaik untuk bersama beriringan.
Setelah aku pergi dari kota itu, ia
kembali hadir menemani sebagai kalong yang bertelepon. Masih seperti dulu kami
bisa bicara super tidak penting sampai jam dua dini hari. Mungkin karena itu
Tuhan lebih memilih mengubah alur kisah kami cukup menjadi sesama kalong, bukan
pasangan kalong. Tak bisa ku bayangkan kalau kami hidup sebagai pasangan
kalong, bagaimana nasib anak-anak kalong kalau bapak dan ibunya yang juga
kalong baru tidur jam 5 pagi lantaran ngobrol ngalor ngidul. Mungkin anak-anak
kalong sekolah di malam hari.
Dan aku ingat bulan itu. Kau
mengajakku liburan. Kau aturkan semuanya walaupun dari awal aku bilang aku
tidak mau. Dan mungkin itu kali terakhir kami ngobrol panjang di telepon soal
kopi dan teh di Nusantara. Ya, satu-satunya obrolan kami yang paling bermutu
adalah ketika dua kalong ini sibuk membicarakan aroma kopi, sejarah kopi dan
teh di Indonesia. Mungkin diam-diam kami punya potensi untuk membuka kedai kopi
kalong kalau saja Tuhan sedang ingin bercanda dengan menulis skenario semacam itu.
Bulan itu bulan terakhir kau bicara
panjang lebar di telepon sampai berjam-jam namun bedanya kali ini bukan malam,
tapi sore. Dan itu bulan dimana kau mengumumkan siapa perempuan yang menjadi
kekasihmu. Aku terkejut. Semua orang kaget. Aku kira selama ini dia memang
mendekatiku. Semua orang kira selama ini dia menaruh hati padaku maka ia
berubah. Tapi semua salah. Mungkin memang benar, hati para kalong tak dapat di duga.
Ada sebagian yang remuk dalam hatiku saat aku
tahu dengan siapa dia bersama. Mulailah sisi kalong jahat dalam diriku membuat
perbandingan dan menilai bahwa kalong itu pasti sedang khilaf saat mencintai
perempuan tambun itu. Tiba-tiba hape ku menyala. Seorang kawan menelpon
memberitahu bahwa kalong sudah pacaran dengan perempuan lain. Dan mantan si
kalong marah karena perempuan ini adalah sahabatnya. Mantan si kalong ikhlas
kalau kalong menjadi pacarku bukan perempuan itu. Wowwww….skenario apa lagi
ini. Bahkan mantan kalong pun punya kriteria tersendiri untuk kalongnya.
Keributan soal kalong dan pacar
barunya merambah dunia maya. Ada yang setuju namun banyak yang mencibir. Aku
tak tahu di mana letak kesalahan perempuan itu. Atau jangan-jangan diam-diam
selama ini setiap orang termasuk aku punya skenario tersendiri tentang kalong. Dan menelan
kekecewaan karena skenarionya dibubarkan oleh langkah si tambun itu yang jelas bukan datang dari kawanan kalong. Ah
menyebalkan!
Entah mengapa aku kecewa. Melebihi
kekecewaan ku pada mantanku yang diam-diam menjalin hubungan dengan mantannya
justru ketika aku masih bersamanya. Cihhh! Kali ini aku kecewa yang lebih
merasa dibohongin dengan bodohnya. Kalau dengan mantanku aku sudah membaca
gerak-geriknya dengan mantannya namun ku abaikan. Sedangkan yang ini, sumpah
demi para kalong, aku tidak tahu tanda-tandanya.
Malam itu dengan seluruh tekad bulat
aku kirimkan pesan singkat, “Hei kalong, selamat ya sudah menemukan belahan
jiwamu. Semoga ia bukan kalong juga. Dan awet-awetlah dengannya.” Lama tak ada
balasan. Keesokan paginya ia menelpon tapi tak ku angkat. Masa bodoh. Apalagi yang
mau kau bicarakan kalong? Tepat siang hari dia membalas pesan itu, “Sama-sama
kalong. Doakan yang terbaik.” Sudah itu saja cukup. Dasar kalong!
Berita-berita tentangmu paling aku
nantikan ketika chatting dengan kawan lain di sana. Namun makin lama berita
tentangmu makin berkurang bahkan kadang hanya satu kalimat. Apakah kau sudah
tidak eksis lagi kalong? Seorang kawan dalam chattingan bercerita bahwa engkau
ketua para kalong kini mulai perlahan-lahan dan pasti jarang nongkrong. Selalu
pulang lebih awal. Katanya ada yang mau ditelpon. Tentu bukan aku!
Awal tahun itu aku mendapat undangan
darimu. Ku baca pelan-pelan sambil mengajak hatiku menerima kenyataan ini
secepat otakku menerimanya, “Kalong A dan Tambun B”. Menyedihkan hidupmu kalong!
Aku kira kau bukan orang yang konvensional, nyatanya melihat daging bertumpuk
sudah tak tahan. Apa aku iri? Bisa ya bisa tidak. Aku bisa iri pada mu karena
itu mestinya tertulis, “Kalong A dan Kalong B”. Aku bisa iri padamu karena
sekalipun ia tambun kau sudah menemukannya. Sedangkan aku, aku masih mencari. Tapi aku juga bisa tidak iri padamu, karena dalam diriku masih ada sisi kalong yang bebas, bukan seperti mu yang jadi kalong kandang.
Seingatku dalam masa-masa kau pacaran
dengan Tambun dan bahkan tunangan dengan Tambun , setiap hari Minggu kau
mengirimiku pesan singkat yang isinya sangat formal dan seolah kau punya stok ucapan
itu untuk setiap hari Minggu sepanjang tahun. Dan tak selalu ku balas. Bukan
karena tak ingin, tapi aku ini kalong bermartabat. Maka demi menjaga perasaan
Tambun aku diam saja. Mendiamkan pesan
singkatmu.
Dan setelah aku terima undanganmu aku
kirimkan pesan padamu: “Hei Kalong, aku sudah terima undanganmu. Selamat ya,
akhirnya kau akan segera beranak pinak. Semoga anak-anakmu kelak bukan anak
kalong. Maaf ya aku tak bisa hadir dalam pernikahanmu. Be happy Kalong!” Seperti biasa, dia menelpon. Aku lirik jam,
aha, tentu ia berani menelpon ku karena ia sedang di kantor dan si Tambun tak
ada. Ku diamkan saja telepon itu. Sebab sudah ku bilang, aku ini kalong bermartabat
Kemudian dia membalas, “Kalong,
datanglah. Aku mohon, sempatkanlah datang. Aku bookingkan hotel untukmu ya.
Plisss…” Maaf kalong, aku tak setagguh itu untuk datang demi menyaksikanmu
bersanding dengan si Tambun. Maaf kalong, aku hanya bisa bilang, “Selamat ya
Kalong!”
Dan sekarang di kota ini, hal pertama
yang ku ingat di pagi buta jalan ini adalah kalong. Yang aku tahu di pagi sedingin
ini ia sedang memeluk si Tambun. Mana dia tahu aku ada di sini. Apa pedulinya
kalau aku di sini. Kalong sudah bersama Tambun. Dia lebih jinak begitu kata
yang lain. Dalam hati aku berjanji, “Mari buktikan…” dan memang benar teoriku,
sekali kalong tetap kalong. Ajakan nongkrong pun akan selalu menggoda bagi
kalong ketimbang si Tambun yang menggodanya dengan menyingkapkan kainnya.
Selamat ya Kalong!
November 2013
inspirasi bisa datang dari mana saja termasuk kalong hahahaha...
Y. Defrita Rufikasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar