Beberapa saat yang lalu saya
diberitahu teman saya kalau ada update
status yang menarik dan sedang ramai diperbincangkan di sebuah media
sosial. Kebetulan saya memang berkawan dengan yang membuat update status itu. Sekalipun saya berkawan dengannya, namun benar
kata seorang teman yang lain kalau saya ini sejenis manusia yang ketika membuka
media sosial hanya akan meng-update
status, mengganti ini itu seperlunya namun jarang menjelajah ke “rumah”
orang lain apalagi memberikan komentar dan menempelkan jempol saya. Jadi wajar
kalau urusan yang beginian pun saya masih mesti diberi tahu orang lain kalau
ada yang lagi IN dan HOT hehehe.
Balik lagi ke soal saya membaca update status yang sedang ramai diperbincangkan. Ada yang
pro dan ada yang kontra. Bukankah memang selalu begitu ya hehehe. Maka tidak
heran kalau membaca puluhan komentar yang bersarang di sana, ada yang marah,
ada yang ikutan ngritik, ada yang membela, ada yang ngasih guyonan, wah rame
rasanya. Seorang teman di Blackberry Messenger berdiskusi dengan saya soal
komentar-komentar yang rame itu. Entah
bagaimana mulanya, sampailah kami diskusi soal kotbah.
Bukan, bukan soal teknik berkotbah
apalagi soal materi kotbah hehehe, percayalah obrolan kami tidak seserius itu.
Yang kami bahas adalah soal “kok nggak ngomong langsung aja sih” dan juga “Kog
nggak lewat mimbar aja.” Saya berpendapat kalau dalam kotbah ada unsur teguran,
didikan, penghiburan, penguatan. Hanya saja dalam beberapa konteks sosial di
gereja-gereja tertentu unsur teguran ini dihindari. Alasan yang paling sering
saya dengar adalah jangan sampai kotbah yang mengandung teguran itu menyinggung
pihak-pihak tertentu. Ya memang kalau dalam kotbah disebutkan nama orang per
orang nya ya itu namanya bukan lagi teguran kasih tapi penghakiman. Tapi yang
namanya teguran, sekalipun nggak pake sebut merk, tetap aja akan nyinggung
pihak-pihak yang merasa ditegur kan hehehe. Kotbah yang beginian yg bikin
kuping merah hati panas. Sebuah komplikasi yang enggak enak. Dan emang manusia
punya defense mekanisme. Jadi begitu kuping merah hati panas, defense
mekanismenya jalan. Ya biasanya sih balik ngritik, atau ada yang lebih
sopan-walaupun intinya sama, lewat surat yang disampaikan ke Majelis Jemaaat.
Di sini saya jadi mikir, bisa aja
sih pemikiran saya salah, cuman dasar iseng dan nothing to lose juga kan mikir
gini hehehe…hmmm jadi gimana mestinya? Apakah kotbah itu isinya Cuma buaian
yang bikin kuping seneng hati adem ayem aja? Karena kalau teguran itu disampaikan
lewat kotbah konon kabarnya yang bersangkutan akan dipanggil menghadap
Pihak-Pihak Yang Lebih Tinggi di Gereja. Kalau di Gereja Katolik Roma dulu
istilahnya inkuisisi yang dilakukan oleh Dinas Suci. Nah, jadi gimana dong?
Teman saya yang lain bilang, “Itu
mah tergantung gimana kita ngomongnya.” Oke, ini emang juga terkait dengan
kemampuan kita berkomunikasi. Emang teguran bisa disampaikan dengan nada
positif? Semestinya bisa kalau kita mau. Kecuali kita sudah nggak bisa
ngendalikan emosi maka teguran pun bernada negatif dan diskriminatif.
Omong-omong nih, pendapat teman saya ini boleh juga. Semua tergantung dari
gimana kita ngomongnya. Jadi unsur teguran, didikan, itu mesti tetap ada dalam
sebuah kotbah. Kalau kotbah isinya cuman bikin kita adem ayem tapi nggak
ngedidik dan nggak negur kita dari perbuatan yang gak bener kan sama aja tuh
kotbah sama iklan. Tapi kalau kotbah isinya cuman teguran bernada negatif itu
sama aja kita ngajak debat anggota jemaat hehehe… Hmmm emang bener kali ya
kalau kotbah itu susah-susah gampang…kepanjangan dibilang ngebosenin,
kependekan dibilang kagak niat, banyak istilah-istilah ajaib, dibilang sok
ilmiah, banyak ilustrasi dibilang gak Alkitabiah, kalau kotbahnya bikin ati
adem dibilang cari pendukung, kalau
kotbahnya pedes sedep, dibilang cari musuh…duhhhhhh…
Bagi saya, konten kotbah itu tidak
untuk menyenangkan si Anu, si Itu, si Ini, tapi bagaimana teks itu bicara dan
kawin dengan konteks masa kini….hehehehe…So, kalau nanti ternyata gara-gara
kotbah kita dipanggil sama “Dinas Suci” untuk menjalani Percakapan ya dijalani
saya sebagaimana kita sudah yakin dengan apa yang kita kotbahkan hehehe.
Bukankah dulu ada seorang pria yang langganan penjara dengan bijak menasehati
supaya kita masing-masing siap memberikan pertanggungjawaban bila diperlukan?
Y.Defrita
R.
10
Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar