Beberapa kali saya mendengar tentang berita kecelakaan dan selalu di sela-sela kisah yang dituturkan dengan pedih itu ada secuil kisah yang kadang menyisakan lubang menganga di dalam diri kita tanpa pernah kita sadari. Dalam kisah yang dituturkan kepada saya terkait dengan kecelakaan maut yang menimpa beberapa remaja gereja yang baru pulang dari camp remaja saya mendengarkan kegelisahan dan sekaligus pertanyaan besar yang menggantung begitu saja di udara, "waktu itu tidak seorangpun warga membuka pintu dan berlari keluar untuk melihat dan menolong para remaja yang sudah babak belur dan bahkan ada yang hancur". Dan kisah kisah semacam ini makin banyak saya dengar sampai puncaknya adalah ketika tunangan saya Abdismar mengalami kecelakaan maut di ruas jalan Kutowinangun Kebumen. Menurut penuturan temannya Adi yang ada di sana, ia sudah berteriak minta tolong dan bahkan berusaha mengehentikan beberapa mobil untuk minta pertolongan. Dan rumah para warga pun terkunci rapat. Barangkali alasan sederhana yang bisa didapat adalah mereka trauma terhadap kecelakaan yang terjadi di depan mata mereka sudah sedemikian sering, mereka tak mau terlibat terlalu jauh dalam hal ini, mereka takut dijadikan saksi, dan mereka tak mau repot. Dan tentu saja masih banyak alasan lain yang mengudara di sana demi membenarkan sebuah tindakan bungkam dan tidak peduli itu. Sekali lagi memang hak mereka untuk menolak memberikan pertolongan, tapi tidakkah hati nurani ini terusik menyaksikan sesama manusia ditimpa kemalangan??????
Beberapa hari sebelum Hari Natal, saya dan teman saya berjalan kaki dari kost ke gereja. Tepat beberapa meter sebelum gereja, saya dan teman saya menyaksikan seorang perempuan terjerembab di tanah bersama seorang lelaki dan sepeda yang bersandar seadanya disana plus seorang teman kost kami dari Cirebon. Kami langsung menghampiri mereka dan menanyakan apa yang sedang terjadi. Teman dari Cirebon inilah yang menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sepasang suami istri ini rupanya hendak ke stasiun dan jalanan ini adalah jalanan yang saban hari dilewati oleh suaminya yang bekerja sebagai penjual buku anak-anak di depan kost kami. Pada waktu mereka lewat jalan ini ada mobil yang mepet mereka dan sampai akhirnya merek terjerembab di tanah dan si mobil melenggang tanpa beban (parah!). Si ibu rupanya mengalami cidera tulang yang cukup parah, karena tempurung lutut dan tulang keringnya menabrak pembatas jalan dari besi sampai si pembatas jalan itu ikutan tercabut dari tanah (sulit dibayangkan bagaimana sakitnya). Dan si suami pergelangan tangannya terkilir. Naasnya sedari tadi orang-orang hanya menyaksikan dari seberang jalan (emang topeng monyet ditonton) dan ada banyak kendaraan melaju di ruas jalan itu tapi semua tetap melaju tanpa berhenti.
Senyampang teman saya memapah si ibu dan si suami mengurusi motornya. saya lari ke gereja dan menyiapkan tempat untuk ibu itu berbaring. Kami ajak mereka beristirahat di gereja sampai kondisi si ibu pulih dari shocknya. Si ibu dipapah ke gereja dan ditidurkan di sofa ruang tamu gereja. Saya minta office boy membuatkan teh hangat untuk si ibu. Dan kami pun menemani si ibu sambil menggunting sisi-sisi kertas liturgi yang akan kami pakai carolling sore hari. Tanpa dinyana, seorang petugas administrasi berseloroh,"Wah, ternyata sekarang masih ada orang samaria yang murah hati walaupun kalian bukan dari samaria ya".
Keliahatan si ibu dan si bapak yang kami tolong ini sungkan luar biasa ketika mereka harus ditolong dan diajak ke gereja. Tetapi batas-batas itu sekejap runtuh ketika kemanusiaan yang berbicara. Batas agama, suku, ras, status sosial, dan pendidikan tidak ada artinya ketika kasih terhadap sesama yang berbicara di sini. Jujur saja, saya dan teman saya repot walau tak serepot ketika harus berurusan dengan polisi untuk menjadi saksi dari suatu peristiwa. Tetapi apalah arti semua kerepotan itu ketika kita menyaksikan sesama manusia kita itu ditolong, diperlakukan secara manusiawi.
Dalam obrolan pagi sambil sarapan dengan teman saya, saya nyletuk "dicari orang samaria". Saya ceritakan kepada dia berapa banyak peristiwa kecelakaan yang diabaikan oleh orang-orang di lokasi karena berbagai macam alasannya. Teman saya shock. Dia tidak menyangka bahwa menolong orang lain itu semakin sulit diterapkan! Dan ternyata orang samaria yang murah hati itu mungkin cuma 1 banding 1 juta orang. Dalam sebuah pidato penganugerahan Doktor Honoris Causa bidang Seni Pertunjukan, Sri Sultan Hamengku Buwono X membacakan pidato yang sepenggal kalimatnya membuat kita tepekur merenung:
“Pendidikan karakter ini saya pilih karena terdorong oleh menguatnya kecemasan akan hilangnya karakter bangsa yang adiluhung, ramah, suka menolong, jujur dan nilai-nilai keutamaan lainnya”
Yup, soal tolong menolong orang lain kini sudah menjadi "barang" langka. Banyak orang enggan merepotkan diri dengan urusan membantu orang lain. Pun ketika pendidikan karakter sudah didengungkan di masyarakat, tapi kita belum memetik hasilnya....
Berbaik hati dan bermurah hati kepada orang yang baik pada kita sudah biasa. Menyumbang ini dan itu kepada orang lain yang nun jauh di sana juga sudah bisa. Tetapi sadarkah kita bahwa kata "sesama manusia" dalam kisah Orang Samaria yang Murah hati adalah "plesion" yang arti harafiahnya adalah "your neighbor" orang di dekat kita, tetangga kita. So, kalau ada bencana di Aceh, di Sulawesi, di Yogyakarta dengan sigap orang membantu ini dan itu tetapi ingatlah bahwa pertama-pertama menjadi orang yang murah hati adalah menjadi orang yang murah hati bagi orang terdekatnya...bagi tetangganya. Jangan dulu yang jauh-jauh...tapi mulai dari yang dekat, menolong orang yang jatuh, menolong tetangga kita. Kasih dimulai dari lingkaran terdekat kita, saya percaya itu!
Maka dalam kegelisahan hati menyaksikan pudarnya karakter suka menolong ini sayup-sayup saya mendengar, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"...
Bandung, 3 Januari 2012
Y. Defrita R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar