Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4
tulisan yang saya temukan dalam tumpukan file-file saya....
Menarik menyimak tuturan Ayu Utami dalam novelnya yang berjudul “Bilangan Fu” dalam rangka mengamat-amati rentetan peristiwa kerusuhan dan penyerbuan terhadap kelompok-kelompok agama tertentu yang berakibat hilangnya nyawa dan kerusakan tempat ibadah dan tempat-tempat umum. Di dalam novel yang oleh pengarangnya disebut sebagai spiritualisme kritis, Ayu banyak berbicara mengenai masa-masa seputar Soeharto dan lengsernya Soeharto dalam konteks keberbedaan yang senantiasa mudah disulut jika sumbu emosi dan dendam pendek. Novel tersebut secara garis besar berkisah tentang tiga orang tokoh yaitu Yuda, Marja dan Parangjati. Di dalam bagian Monotesime khususnya Kritik Hu Atas Monoteisme, tokoh Parangjati mengungkapkan pemikirannya mengenai Monoteisme. Parangjati mengajukan pertanyaan yang barangkali semestinya perlu kita renungkan dalam-dalam khususnya dalam kondisi negara kita saat ini. Pertanyaan yang diajukan oleh Parangjati adalah “Kenapa monoteisme begitu tidak tahan pada perbedaan?”. Benarkah monoteisme tidak tahan pada perbedaan?
Agama-agama monoteis adalah agama-agama Semit yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Di dalam perjalanan, dalil, dan perilaku penganut agama monoteisme menunjukkan kegerahan monoteisme terhadap perbedaan dan bahkan mengutip tulisan Ayu Utami-“membenarkan hujatan dan tindakan meniadakan yang lain”. Memang di dalam panggung kerusuhan dan penyerbuan yang ditampilkan di atas panggung negara ini, kita dapat melihat ada perilaku penganut agama monoteisme yang selalu saja bisa dipolitisir demi kepentingan tertentu. Namun yang mendasar yang seharusnya juga mendapat perhatian dari setiap pemimpin umat beragama dan umat beragama adalah meninjau ulang dalil-dalil dan aneka macam tafsir yang menyekitari dan bahkan mendasari sikap anti terhadap nilai lain.Monoteisme-lebih lanjut di dalam tuturan tokoh Parangjati-menekankan pada bilangan satu. Tuhan mereka adalah satu[1] maka kebenaran itu pun diyakini hanya satu. Masalahnya masing-masing agama sama-sama merasa diri benar dan menggunakan dalil-dalil kebenaran itu untuk meneropong dan bahkan menghakimi pihak lain yang dianggap tidak seturut dengan kebenaran yang mereka anut.
Memang perlu juga kita sadari bahwa tidak semua pemeluk agama monoteisme berlaku demikian. Ada saja orang-orang yang dengan lapang dada, pikiran jernih dan hati murni bergandengan tangan dengan yang lain meretas batas-batas yang sudah didirikan selama ratusan tahun dan bahkan sudah pernah disulut api dendam. Namun kalau dilihat dari segi kuantitatif dan kualitatif, maka menarik menyimak pendapat Burhannudin Muthadi seorang pengamat politik yang mengatakan bahwa dari 117 juta penduduk Indonesia, sebanyak 3% orang dewasa adalah pelaku sweeping ke tempat-tempat yang diduga maksiat. Tiga persen bukan jumlah yang sedikit, ingat 19 orang saja mampu merobohkan WTC. Muthadi melihat ini sebagai revolusi senyap, bak api dalam sekam yang mudah menghangus hitamkan apapun juga. Dan sebanyak 60% penduduk Indonesia yang beragam Islam menolak dibangun gereja disekitar pemukiman mereka.[2] Betapa ini perlu menjadi sorotan tidak hanya dari pemuka agama dan mereka yang beragama namun menjunjung toleransi tetapi perlu direspon oleh pemerintah secara tegas.
Menjunjung kebenaran agama sebagai sebuah kemutlakan dan menjadikannya tolok ukur untuk menilai dan menghakimi bahkan menghujat kelompok agama atau aliran tertentu tidak baru-baru ini saja terjadi, namun sudah sejak awal cikal bakal sejarah agama monoteisme menjejak di bumi. Tetapi yang patut diwaspadai adalah ketika respon terhadap keberbedaan itu mendapatkan bentuk konkretnya dalam aksi-aksi main hakim sendiri dan perusakan bahkan kematian. Tengoklah kasus penyerbuan terhadap kelompok Ahmadiyah pada hari senin tanggal 7 Februari 2011 yang mengakibatkan 5 orang meninggal dunia dan 3 orang terluka. Betapa keberbedaan yang disulut api dan dipolitisir membawa pada kematian. Belum usai pilunya kita menyaksikan kebrutalan manusia “menghabisi” sesamanya manusia dan belum hilang dari ingatan kita retorika dari Presiden SBY yang menyatakan kasus Ahmadiyah harus diusut sampai tuntas dan hukum harus ditegakkan dalam kasus tersebut, maka pada hari Selasa tanggal 8 Februari 2011, kita menyaksikan sekali lagi aksi main hakim sendiri di Temanggung, Jawa Tengah.
Kerusuhan yang terjadi di Temanggung, Jawa Tengah terjadi ketika hakim membacakan vonis hukuman 5 tahun terhadap Antonius Richmond. Antonius Richmond adalah seorang warga Jakarta kelahiran Manado yang pada awal Oktober 2010 menyebarkan pamflet berisi hujatan terhadap agama Islam. Dia menyebarkan pamflet tersebut di Desa Kranggan, Temanggung. Tidak puas dengan vonis hukum maka massa yang memiliki standard sendiri dalam menilai apa yang sedang terjadi mulai melakukan aksi anarkis. Setelah situasi di Pengadilan Negeri Temanggung berhasil dikendalikan (menggunakan istilah yang selama ini sering dipakai oleh media massa dan bahkan aparat sendiri) maka massa yang sudah tersulut sumbu emosinya segera merangsek ke 3 buah gereja dan 1 sekolah untuk kemudian dirusak dan dibakar. Aksi ini juga membawa 12 motor yang sedang parkir di depan sekolah menjadi sasaran amukan massa yaitu dibakar.
Menyimak dua rentetan peristiwa kerusuhan yang berkelindan erat dengan masalah agama dan respon terhadap yang lain pada awal 2011 ini kita mesti mulai mengambil sikap konkret. Sikap konkret ini antara lain adalah tidak hanya beretorika seperti yang selalu ditampilkan oleh Presiden SBY yang ternyata ada gap dengan kenyataan lapangan. Jika selama ini aksi konkret yang ditawarkan oleh berbagai tokoh agama, pengamat politik, budayawan, dan bahkan wartawan adalah soal dibukanya dan dikembangkannya upaya dialog, maka perlu dicatat bahwa sebetulnya upaya dialog itu sudah ada namun barangkali belumlah merembes ke bawah. Dialog antar agama seharusnya mulai dijadikan agenda serius bagi setiap umat beragama sehingga persoalan-persoalan yang terjadi terkait dengan keberbedaan beragama yang berujung pada pelanggaran HAM tidak muncul bahkan tidak dipolitisir. Jika ini tidak mendapat perhatian serius dan tindakan serius namun hanya sebatas ungkapan “prihatin”, “harus ditindaklanjuti secara serius” maka sangat mungkin panggung ini akan diwarnai dominasi mayoritas terhadap mereka yang dicap minoritas dalam bentuk-bentuk kerusuhan, perusakan bahkan pembunuhan, dan situasi “chaos” pun lahir. Dalam kondisi demikian, negara sudah sangat sulit untuk melakukan kontrol dan proteksi terhadap warga negaranya.
Sungguh persoalan hidup berdampingan dengan banyak keberbedaan yang menjadi latar belakang memang bukanlah perkara mudah. Terlebih lagi ketika keyakinana bahwa yang benar itu menjadi klaim untuk mengukur yang lain, maka intoleransi menjadi sesuatu yang hadir dan mewarnai relasi yang serba berbeda. Terlepas dari ini, ada beberapa elemen masyarakat yang melihat bahwa kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi tak lain adalah skenario dari seseorang atau sekelompok orang dalam rangka pengalihan fokus. Benar tidaknya masih buram.
Dan di dalam keburaman yang ditebarkan saya tepekur membatin betapa sebuah kebenaran dapat berubah menjadi monster demi mempertahankan dirinya. Betapa kebenaran kadangkala menjelma relatif? Kebenaran semacam apakah yang sedang asyik masyuk dipertikaikan di sini? Di negeri ini? dan sampai kapan?
yogyakarta dan Bandung untuk finishing, januari 2012
y.defrita r.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar