Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4
Ketika tsunami menyapu Jepang beberapa waktu yang lalu, awak media berbondong-bondong datang ke sana dan berharap mereka akan menangkap momen-momen histeria dari warga Jepang. Mereka berharap akan menyaksikan kepanikan, teriakan, tangisan, dan keputus-asaan warga Jepang yang tentu saja akan menaikkan ratting dan oplah media mereka. Tetapi apa yang terjadi? Mereka menyaksikan bagaimana warga Jepang dengan tertib mengantri untuk mendapatkan makanan. Dengan tenang mereka mengevakuasi warga lain ke tempat yang lebih aman. Mereka menyaksikan bagaimana warga Jepang saling bahu-membahu menolong sesama mereka. Sehingga hampir-hampir tak ada badan internasional yang turun tangan mengurusi kesehatan dari para korban tsunami tersebut, sebab semua ditangani oleh mereka sendiri. Mereka tidak panik, tidak putus asa dan tetap tenang menjalani hari demi hari sekalipun bahaya kebocoran radioaktif itu membayang. Apa rahasianya?
Warga Jepang memiliki filosofi Buzaido yang dulunya dipelajari hanya oleh para samurai dan kemudian diperluas sehingga warga awam yang bukan keturunan samurai pun mempelajarinya. Hebatnya lagi itu semua sudah ditanamkan dalam kurikulum pendidikan mereka. Di dalam buzaido, orang diajari untuk menerima kelemahannya dan menekan kelemahannya. Orang diajari untuk mengatasi kelemahannya. Di dalam buzaido ada filosofi ganbaru yang berarti semangat yang mengajari orang untuk tidak mudah putus asa, untuk terus berjuang sampai titik darah penghabisan seperti para samurai dulu. Dan kalau masih ingat Piala Dunia yang diselenggarakan di Korea Selatan, dimana Timnas Jepang berlaga disana, kita akan mendengarkan teriakan “Ganbaru Nippon! Ganbaru Nippon!” yang berarti “Nippon, semangatlah! Nippon semangatlah!”. Pekik “Ganbaru Nippon” itu tak hanya dikumandangkan dalam laga gengsi Piala Dunia namun juga ketika Jepang disapu tsunami. Sambil bergotong royong para warga meneriakan “Ganbaru Nippon” yang membakar semangat mereka sekalipun rumah dan harta tinggal cerita. Kalau di Indonesia beda lagi. Ketika bencana datang melanda, kita akan disuguhi nyanyian Ebbiet G. Ade, nyanyian sendu nan menyayat hati, juga aneka macam kalimat yang justru semakin memilukan hati. Tetapi di Jepang tidak ada lagu mellow nan menyayat hati, tidak ada kalimat2 yang memilukan hati, yang ada adalah spanduk2 besar bertuliskan “Ganbaru Nippon”.Sambil terus bekerja mereka meneriakan semangat yang menumbuhkan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Hal yang sama juga dikumandangkan oleh penulis Ibrani. Kalau kita hanya membaca satu ayat ini saja, kita tidak akan menemukan maknanya secara utuh. Maka kita perlu membaca pasal 6 secara menyeluruh sehingga kita paham makna dari ayat 11 itu apa. Di dalam pasal 6 khususnya mulai ayat 9-20, penulis Ibrani berbicara tentang harapan, pengharapan. Dan Abraham sekali lagi dipakai sebagai contoh bagaimana orang yang berharap akan janji Tuhan itu dengan sabar dengan kesungguhan hati menanti janji Tuhan. Lha kata yang diterjemahkan oleh TB-LAI sebagai “Kesungguhan” itulah yang di dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK-LAI) diterjemahkan sebagai “Semangat” dari kata asli spoude yang berarti rajin.
Apa hubungan antara semangat dan harapan? Rupa-rupanya penulis Ibrani ini mau mengatakan bahwa orang yang menunjukkan semangat dalam menjalani hidup ini adalah orang yang memiliki pengharapan kepada Tuhan. Sekalipun apa yang mereka harap-harapkan itu tak kunjung tiba, tapi mereka tetap bersemangat, tetap memiliki kesungguhan hati, dan buahnya adalah kesabaran. Jadi, dengan kata lain, orang-orang yang memiliki semangat adalah mereka yang memiliki harapan dan sabar menjalani semuanya. Oleh sebab itu, pasal 6 dikunci dengan ayat 19 “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita”. Persis seperti yang dilakukan oleh warga Jepang ketika tsunami menghancurkan hidup mereka. Mereka mengerjakan apa yang mereka mampu dengan semangat, sebab mereka memiliki harapan bahwa hidup mereka akan jadi baik suatu saat nanti, dan itu menjadikan mereka orang-orang yang sabar menanggung derita hidup.
Lain Ibrani, lain pula Roma. Roma 12:11 ini berada dalam pembagian menurut TB-LAI yang berjudul “Nasihat untuk hidup dalam kasih” yang dimulai dari ayat 9-21. Mulai dari pasal 12-15 dalam surat kepada jemaat di Roma, Paulus lebih banyak bicara soal etika hidup orang Kristen. Nah, ayat kita ini berada dalam bagian tersebut, maka kita akan memahaminya juga dalam konteks itu.
TB-LAI mengatakan, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” Sedangkan BIMK menerjemahkan demikian, “Bekerjalah dengan rajin, jangan malas. Bekerjalah untuk Tuhan dengan semangat dari Roh Allah.” Dengan demikian BIMK melihat bahwa semangat itu sama dengan roh yang menyala-nyala dan sumbernya adalah Roh Allah sendiri (Fervor:semangat—zeontes). Lalu bersemangat dalam hal apa?
Konteks ayat kita ini adalah soal bagaimana hidup yang dilandasi kasih terhadap sesama. Dengan demikian, bersemangat di sini diletakkan dalam kaitannya dengan semangat bahu-membahu menolong sesama dan itu didasarkan pada pemahaman bahwa semua dilakukan untuk Tuhan. Jadi, semangat itu bukan hanya soal kita bersemangat dalam menjalani hidup pribadi kita, tetapi semangat untuk juga memperhatikan dan menolong orang lain sekalipun hidup sarat penderitaan.
Sama seperti yang kita saksikan dalam hidup warga Jepang, lepas tsunami. Mereka bahu membahu tiada lelah menolong sesama, sekalipun kondisi mereka sendiri tidak baik2 amat. Bahkan ada 60 orang Jepang yang mendaftarkan diri menjadi sukarelawan untuk memasuki area yang tingkat radioaktifnya begitu tinggi. Ketika ditanya mengapa mereka mau melakukan sesuatu yang mengancam keselamatan mereka? Jawabannya sungguh mengharukan hati. Salah satu dari ke-60 orang itu berkata bahwa inilah nilai hidupnya sebagai manusia!
Dia tahu nilai dan perannya sebagai sesama manusia, sehingga dia mau melakukan sesuatu yang bisa membuat nyawanya melayang kapan saja. Inilah hidup yang didasari kasih kepada sesama dan membuat orang memiliki semangat untuk berbuat sesuatu bagi orang lain. Tanpa perlu mensyaratkan hidupnya harus bebas penderitaan baru bisa semangat menolong orang lain.
Jadi ketika kita bicara soal semangat, kita tidak hanya teriak-teriak “Semangat! Semangat!” tetapi semangat adalah nilai hidup yang mesti dihidupi. Sebab dengan semangat, kita sabar menjalani hidup ini. Dengan semangat, kita memiliki harapan. Dengan semangat, kita terdorong untuk berbuat sesuatu bagi orang lain sekalipun hidup kita sendiri sarat penderitaan. Dengan semangat pula, kita akan terus menapaki jalan hidup ini. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar