Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4
Apa yang umumnya dilakukan oleh jemaat ketika ada salah seorang anggotanya melakukan sebuah kesalahan atau katakanlah tindakan yang tidak patut? Alih2 menegur, biasanya mereka akan sibuk menggosipkan (salah seorang anggota jemaat tersebut langsung menjadi headline news di gereja), mengucilkan, dan bersikap tidak simpati terhadap orang tersebut. Urusan tegur menegur memang tidak semudah yang kita pikirkan. Padahal membicarakan tanpa menolong/menegur adalah salah satu bentuk sikap yang menganggap diri sendiri paling benar. Di dalam beberapa kebudayaan, misalnya saja budaya Jawa yang saya amati ketika studi di Yogyakarta, biasanya bagi orang Jawa pekeweuh untuk menegur seseorang yang salah. Konon kata seorang bapak tua yang biasa mangkal di pucuk gang kost-kostan saya, kebungkaman atau pembiaran itu semata-mata demi melanggengkan sebuah tatanan yang harmonis.Sehingga bagi kebanyakan orang Jawa, urusan menegur orang ini sulitnya minta ampun.
Perkara nanti kesalahan orang itu dibicarakan di balik punggungnya, jelas kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa inilah dampak dari budaya bungkam atau pembiaran demi keharmonisan. Menggosipkan seseorang yang salah, hanyalah sebuah implikasi dari keengganan menegur. Padahal menegur itu tidaklah sama dengan melabrak. Kita menegur seseorang dengan maksud menyampaikan kebenaran, menolong orang tersebut mengetahui kesalahannya. Tetapi kadangkala menegur dapat berubah menjadi melabrak ketika kita tidak memperhatikan kata-kata, gesture, dan situasi serta kondisi yang tepat untuk menegur. Misalnya menegurnya ketika ada banyak orang.
Dalam Urusan Tegur Menegur Itu, Setidaknya Saya Melihat Tiga Hal:
Pertama, orang dapat menegur orang lain dengan bijaksana ketika hidupnya dipimpin oleh Firman Tuhan.
Barangkali ini juga yang dialami oleh nabi Yehezkiel yang dipilih oleh Allah sebagai “the watchman” alias “penjaga”. Istilah ini muncul dari sebuah profesi penjaga yang ditempatkan di menara2 tembok kota. Tugas mereka adalah memperhatikan dengan seksama apakah ada tanda2 serangan dari musuh. Jika ada mereka wajib melapor ke pimpinan kota. Kalau tidak, dan sampai akhirnya banyak korban berjatuhan, maka si penjaga inilah yang harus bertanggung jawab penuh. Kurang lebih demikianlah konteks Yehezkiel yang dipanggil Tuhan sebagai penjaga Israel. Dia harus menyampaikan kebenaran dari Tuhan kepada bangsa Israel yang sedang berada dalam pembuangan di Babel. Kalau tidak, dia harus bertanggung jawab atas keputusannya untuk bungkam. Nah, apakah mudah? Tidak. Bayangkan saja, dia seorang diri, menegur bangsa Israel yang jumlahnya ratusan ribu yang sedang dalam pembuangan. Belum tentu semua orang mau mendengarkan dia. Salah2 dia dimusuhi oleh yang lain. Sebab pada umumnya masyarakat punya pandangan, yang banyak jumlahnya itu musti benar, yang sedikit apalagi satu itu musti salah. Sekalipun berat, Yehezkiel dituntut untuk terus menerus melatih kepekaannya untuk mendengarkan Tuhan, sehingga inilah yang akan menjadikan teguran2nya itu bijaksana. Dia menegur umat Israel yang mulai menyimpang hidupnya, dan mengingatkan mereka untuk kembali kepada jalan Tuhan.
Sama seperti Yehezkiel, kita juga memiliki panggilan yang serupa yaitu menjadi “the watchman”, orang2 yang bersedia menegur sesamanya yang salah, yang memiliki kelemahan supaya dapat berkembang menjadi pribadi2 yang lebih baik. Tetapi kita tidak mungkin dapat menegur dengan bijaksana ketika kita tidak memiliki kerinduan seperti pemazmur dalam Mazmur 119:33-40. Kerinduan seseorang akan Firman Tuhan yang diungkapkan dengan sangat indah, perhatikan:
· Ajarilah aku arti ketetapan2 Mu.
· Buat aku mengerti.
· Supaya aku taat.
· Aku mau melakukannya dengan sepenuh hati.
· Aku mau hidup sesuai dengan perintah2Mu.
· Beri aku hasrat untuk menaatinya.
· Aku mau hidup sesuai dengan kehendakMu.
· Aku rindu pada titah2Mu.
Kerinduan seseorang yang tahu betul bahwa hanya dengan hidup seturut Firman Tuhan, kita dimampukan untuk menegur dengan bijaksana. Sebab Firman Tuhan itulah yang menjadi kompas kita dalam mengarungi kehidupan ini.
Kedua, Orang dikatakan menegur dengan bijaksana ketika ia tahu bagaimana cara menegur.
Injil Matius 18:15-20 yang menjadi bacaan kita memaparkan bagaiman seharusnya rangkaian menegur itu dilakukan. Menarik. Mula2 hanya empat mata, yang ditegur dan yang menegur. Lalu ada waktu yang diberikan kepada yang ditegur untuk mempertimbangkan teguran yang ia terima. Kalau sikap hidupnya berubah, it’s ok. Tapi kalau tidak, maka ditambah satu atau dua orang lagi paling banyak, sehingga ada 3 orang yang menegur. Sekali lagi diberikan waktu untuh berubah. Jika masih tidak berubah, maka hal itu disampaikan ke jemaat, dan tetap tidak berubah, maka ia menerima sebutan “orang yang tidak mengenal Allah” (pemungut pajak dikatakan sebagai orang yang tidak mengenal Allah sebab mereka menarik pajak sangat tinggi tanpa memperhatikan nasib rakyat). Lihatlah, tidak serta merta seseorang itu dikatakan “salah”, “jahat”, “tidak mengenal Allah”, “bebal”, dst. Dan simaklah, betapa rangkaian proses itu baik untuk mereka yang ditegur. Tidak ada maksud untuk mempermalukannya, bahkan diberi waktu untuk berubah. Tetapi memang dalam perkembangannya, seringkali tidak demikian. Habis ditegur empat mata, maka bocorlah itu ke sekeliling.
Ketiga, orang yang menegur itu haruslah tahu dasar dari tindakannya.
Untuk itu kita dibantu oleh Roma 13:8-14. Dasar dari kita menegur orang lain adalah KASIH. Sebab orang yang mengasihi orang lain tidak akan berbuat jahat kepada orang itu,begitulah diwartakan oleh ayat 10. Dan membiarkan, bungkam, membicarakan kesalahan2 orang itu seolah2 kita peduli padahal sebenarnya kita sedang berperan sebagai hakim dan eksekutor sekaligus yang memberikan label2 tertentu, adalah tergolong dalam perbuatan jahat yang jelas tidak mengasihi sesamanya yang berbuat salah dan perlu ditegur itu. Pendek kata, orang yang peduli dan mengasihi sesamanya yang berbuat salah, ia akan berhenti membicarakan orang itu, dan meminta hikmat dari Allah sehingga nanti ketika ia menegur orang itu, ia menegur dengan bijaksana, dan kemudian menegur orang yang bersangkutan dengan empat mata, kata2 yang tepat (tidak menyakiti), dan situasi yang tepat. Dengan kasih terhadap sesama sebagai dasar dari tindakan menegur maka jauhlah sikap merasa diri paling benar, suci dan bermoral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar