Perjalanan pulang atau
biasa disebut mudik dari Bandung menuju Wonosobo menjelang Idul Fitri bukanlah
pekerjaan mudah. Setidaknya bagi saya, kegiatan ini sangat menguras energy.
Bukan hanya bekal minuman yang diperbanyak namun bekal kesabaran harus pula dipacking
dengan apik. Supaya hati teredam tiap kali kendaraan terjebak macet. Dan memang benar, ini kali kedua saya membawa
diri saya ke dalam pencobaan. Pulang atau pergi ke suatu tempat jelang libur
Idul Fitri. Perjalanan yang menguras stok kesabaran ini pun berlangsung.
Diawali dengan kemacetan di daerah Cicadas sampai Cicaheum sampai kemudian
macet tiada terkira di daerah Garut dan sekitarnya.
Tetapi
dibalik ketidaknyamanan itu saya bersyukur mata saya selalu mengajak saya untuk
menutup. Sekali ini saya bersyukur dengan kemampuan saya tertidur cepat dalam
perjalanan. Setidaknya acara tidur ini membuat saya terhindar dari rasa bosan
terjebak macet dan rasa nyeri di badan. Dan stok kesabaran saya tidak ludes
tergerus macet.
Benar
dugaan saya, perjalanan ini membutuhkan waktu sangat lama. Jam tujuh pagi saya
baru tiba di Wonosobo dengan tubuh remuk redam sebagai salah satu dari sekian
banyak korban kemacetan arus mudik Lebaran. Tetapi di sela tubuh yang remuk
redam saya justru mendapatkan hikmah, mari kita sebut ini sebagai hikmah mudik.
Di
sela-sela ngantuk yang mendera ketika kendaraan saya terjebak macet panjang di
Garut, saya menyaksikan wajah-wajah orang yang lelah namun antuasiasme mereka
untuk pulang membuat mereka bertahan dengan kegilaan di jalan ini. Ah,
ya…benar…sejauh apapun perjalanan yang harus ditempuh, semahal apapun ongkos
yang harus dibayar, sesulit apapun rintanganya, semacet apapun, selelah apapun,
orang selalu rindu pulang pada sesuatu yang mereka namakan rumah.
Bicara
tentang pulang ke rumah, bagi saya bukan semata rumah secara fisik yang
menaungi dari panas, dingin, hujan dan terik matahari. Namun sesuatu atau
bahkan mungkin sekali orang yang kita sebut “rumah”. Yang selalu memanggil kita
pulang, menunjukkan jalan pulang kepada kita. “Rumah” yang didalamnya kita
merasa dicintai, diperlakukan dengan hormat, dan belajar berbagi ruang dengan
sesama. “Rumah” dalam arti ini adalah tempat, suasana, orang-orang yang selalu
menawarkan kehangatan.
Ketika
pikiran sibuk mengunyah hikmah mudik ini seorang teman mengirimkan pesan via
bbm, “selamat mudik ci, selamat menikmati
rumah #pengen”. Saya balas, “I’m on my way home. Ciptakan “rumahmu”.
Maksud saya, jika tubuh fisikmu menghalangimu menikmati kehangatan rumah, maka
carilah dan ciptakan sendiri “rumah”
yang membuat hatimu kembali menghangat, yang membuat jiwamu dibasuh setelah
lelah bertualang. Dia katakan, “I will
ci” ah, ayem hatiku mendengar janjinya.
Kemudian
seorang bapak sekaligus kawan perjalanan saya melewati lembah kedukaan beberapa
tahun yang lalu bertutur demikian, “Dapat
menjadi gambaran kerinduan ingin berjumpa secara dekat dan intimate dengan
sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan kehidupan)…dan kita bersedia mengambil
segala risiko yang harus kita ambil ketika telah memaknai panggilan kehidupan
untuk menuju ke sana…kesediaan kita seharusnya kita tempatkan pada panggilan
itu…dan bukan organisasi apapun buatan manusia. Itulah arah “spiritual
direction” di dunia postmo ini. Banyak orang terbius kemewahan sarana kehidupan
kita…dan tidak terbius oleh panggilan kehidupan itu sendiri. Enjoy your living
pilgrimage” Tuturan bapak sekaligus kawan ini memang melihatnya dalam
konteks yang lebih luas. Bahwa proses pulang ke “rumah” adalah kerinduan yang
terpendam akan sesuatu yang terkait dengan tujuan hidup dan selalu membawa
resiko.
Maka
sesungguhnya bagi saya acara pulang ke rumah dan “rumah” adalah proses kembali
menyusuri jalan yang dulu pernah dilalui atau bahkan mungkin jalan yang baru
untuk memunguti hal-hal yang menolong kita membawa pada kepenuhan makna hidup…
Sesampainya
di rumah dengan tubuh lelah, berbaring adalah sebuah obat. Ya, saya sudah
sampai di rumah yang menghangatkan saya, yang melegakan. Namun saya pun masih dalam proses pulang
mencari “rumah” bagi jiwa saya…”rumah” bagi hati saya. Sehingga sejauh apapun
saya berkelana…sejauh apapun saya berlayar…selelah apapun saya oleh tekanan di
luar sana…saya selalu punya tiket pulang…saya selalu punya jalan pulang…saya
selalu mendengar seruan untuk pulang…pulang ke “rumah”. Kata seorang bijak
bestari, “dimana hartamu berada di situ
hatimu berada” bagi saya, “dimana
“rumah”mu berada, di situ hatimu berada.”
Selamat pulang..
Selamat mencari dan menemukan “rumah”…
Y.Defrita R.
Akhir Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar