Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4
Pada suatu malam ada sebuah kapal yang terbakar dan kemudian tenggelam. Hanya ada seorang pelaut saja yang selamat. Berbekal puing-puing kapal yang masih mengapung diapun berenang. Dia memandang bintang-bintang di langit untuk menentukan arah pulang. Dan ajaib, dengan pengetahuannya menentukan navigasi berdasarkan bintang-bintang itu dia pun selamat sampai di rumah. Dua puluh tahun kemudian dalam sebuah pelayaran, kapal pelaut ini dihantam badai. Namun nasib baik masih berpihak padanya, dia selamat. Setelah badai berlalu dia memandang ke langit. Dia tak dapat melihat bintang-bintang di sana. Dia hanya menemukan awan hitam yang menggantung di langit. Tak seberapa lama kembali dia menengadah ke langit, namun sekali lagi dia tak dapat menemukan bintang-bintang di langit. Dia pun dilanda keraguan. Benaknya dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan seperti “apakah aku sudah benar menentukan arah? Apakah masih jauh perlajalananku menuju rumah? Atau aku sudah tersesat jauh dan ditakdirkan merana di tengah laut? Apakah arah yang ku pilih ini sudah benar? Atau aku harus tetap percaya tanpa perlu diyakinkan lebih lanjut?”
Sama seperti pelaut tadi, barangkali kita pernah atau sedang mengalaminya. Kita sudah berjalan sedemikian jauh tiba-tiba kita mengalami suatu hantaman berupa beban berat, permasalahan, rencana yang gagal, impian yang musnah, yang membawa kita pada sebuah situasi bernama “KERAGUAN”. Pikiran kita dipenuhi oleh pertanyaan:
“apakah jalan hidup yang kita pilih ini sudah benar? Apakah keputusan-keputusan yang kita ambil ini sudah tepat? Atau sebaliknya kita perlu merubah segala-galanya? Dan mengapa di saat hidup kita mengalami hantaman yang besar, Tuhan tidak ada?”kita mulai meragukan keputusan-keputusan kita, dan bahkan mulai meragukan iman kita sendiri.
Inilah yang terjadi dengan komunitas yang membaca tulisan Matius yaitu komunitas yang mengalami berbagai macam beban berat yang menyebabkan mereka meragukan iman mereka sendiri. Beban berat apakah yang sedang dialami oleh komunitas Matius?Pertama, kalau kita perhatikan Matius 9:35-38 kita akan menemukan kata “domba” (ayat 36). Di sana disebutkan “seperti domba yang kelelahan dan terlantar”. “Domba yang lelah” ini di dalam Matius 9:36 memiliki arti kelelahan yang disebabkan adanya aktifitas menekan yang dilakukan terus-menerus. Dengan pengertian ini, komunitas Matius memang sedang berada dalam kelelahan karena tekanan yang luar biasa mengancam komunitas ini. Tekanan ini berasal dari para penguasa politik dan para imam yang berkuasa waktu itu. Belum lagi tekanan ekonomi berupa pajak yang sangat tinggi yang ditarik penguasa Roma melalui wakilnya yaitu Herodes. Naasnya para imam yang seharusnya mampu membela dan mengayomi penduduk justru mereka memanipulasi tafsiran teks kitab suci dengan mengatakan bahwa pajak itu sesuatu yang sah dan di dukunng oleh Torah Musa. Situasi inilah yang membuat mereka lelah dan seperti domba tak bergembala yang mengundang belas kasih Yesus. Dalam situasi konkrit Yesus menghadirkan diriNya untuk memberikan kelegaan. Kedua, komunitas Matius adalah komunitas yang berada di bawah tekanan kelompok Yahudi. Karena pengikut Yesus ini tidak lagi diakui keberadaannya sebagai sebuah collegia yaitu kelompok keagamaan yang diakui oleh penguasa Roma maka tekanan tidak lagi datang hanya dari sesama Yahudi tetapi juga dari penguasa Roma sendiri. Ketiga, kehancuran Bait Allah pada tahun 70 menjadi semacam pukulan hebat bagi mereka. Sekalipun komunitas Matius ini adalah komunitas yang mengikut Yesus namun perlu diingat bahwa komunitas Matius masih memegang tradisi keyahudian dan menganggap Bait Allah sebagai identitas diri mereka. Kehancuran Bait Allah tahun 70 bagi mereka berarti kehancuran Identitas Diri mereka. Beban-beban inilah yang membuat mereka bertanya-tanya, mengapa justru ketika mereka percaya kepada Yesus sebagai Mesias yang lama dinantikan, mereka justru menghadapi berbagai macam tantangan hari demi hari? Apakah keputusan mereka mengikut Yesus adalah keputusan yang tepat? Atau justru inilah saatnya mereka merubah keputusan mereka?
Komunitas ini dilanda keraguan akibat beban berat yang mereka pikul. Oleh sebab itulah Matius ingin meyakinkan komunitasnya agar tetap memegang keyakinan mereka. Keputusan mereka untuk mengikut dan percaya kepada Yesus sebagai Mesias yang lama dinantikan itu adalah keputusan yang tepat. Kalau sekarang mereka dihadapkan pada situasi yang serba tidak enak, keputusan untuk meragukan keyakinan mereka atas Yesus bukanlah sebuah solusi. Justru yang diinginkan oleh Matius adalah walaupun kita memiliki berbagai macam beban dan rupa persoalan, lihatlah Yesus yang kita imani itu mengundang kita untuk datang kepadaNya. Dia menawarkan diriNya untuk bergumul bersama-sama dengan kita!
Yang disampaikan di dalam ayat 28-30 bukanlah perintah namun sebuah undangan, ajakan. Yang namanya undangan atau ajakan itu tidak memaksa, artinya keputusan di tangan kita, kita mau mendekat atau pergi menjauh? Perhatikan pula bahwa undangan dari Yesus ini bersifat Empowering yaitu memberdayakan. Artinya ketika kita memiliki beban atau masalah maka tidak serta merta masalah atau beban kita akan hilang lenyap karena kita percaya kepada Yesus. Lihatlah ayat 29. Saya dan Anda tetap memikul beban-beban kita, tetap menanggung masalah-masalah kita, tetapi yang membedakan sekarang adalah kita belajar bersama-sama dengan Dia yang menawarkan diriNya untuk bergumul bersama-sama dengan kita. Barangkali komunitas Matius itu seperti kebanyakan kita yang berpikir bahwa jika percaya kepada Yesus maka beban akan hilang musnah, kita akan kebal dari segala macam masalah dan beban. Ingatlah bahwa Yesus tidak pernah sekalipun menjanjikan hal semacam itu, yang Dia janjikan adalah Dia mau bersama-sama dengan kita sehingga seberat apapun beban kita, kita bisa menanggungnya…
“Pada suatu malam aku bermimpi…
Aku berjalan di tepi pantai dengan Tuhan
Di bentangan langit gelap tampak kilasan-kilasan adegan hidupku
Di tiap adegan aku melihat dua pasang jejak kaki di pasir…
Satu pasang jejak kakiku…
Yang lain jejak kaki Tuhan…
Ketika adegan terakhir terlintas di depanku
Aku menengok kembali kepada jejak kaki di pasir…
Di situ hanya ada satu pasang jejak kaki…
Aku mengingat kembali bahwa itu adalah bagian yang tersulit dan paling menyedihkan dalam hidupku…
Hal ini mengganggu perasaanku maka aku bertanya kepada Tuhan tentang keherananku ini…
Tuhan, Engkau berkata ketika aku berketetapan mengikut Engkau, bahwa Engkau akan berjalan dan berbicara dengan aku sepanjang jalan…
Namun ternyata di masa yang paling sulit dalam hidupku hanya ada satu pasang jejak kaki…
Aku tidak mengerti mengapa justru pada saat aku sangat membutuhkan Engkau, Engkau meninggalkan aku…
Tuhan pun berbisik…
AnakKu yang Ku kasihi, Aku mencintaimu dan tak akan meninggalkanmu pada saat sulit dan penuh bahaya sekalipun. Ketika kamu melihat hanya ada satu pasang jejak, itu adalah ketika aku mengangkat kamu…
Sajak itu berjudula asli “Foot Prints” karya Margaret Fishback. Sajak itu mengajak kita menelusuri perjalanan hidup kita. Dalam perjalanan itu telapak kaki kita dan telapak kaki Tuhan membekas bersebelahan. Namun saat beban, masalah dan musibah menimpa perjalanan kita dan perjalanan itu menjadi sulit serta sarat bahaya, yang nampak hanya telapak kaki Tuhan. Telapak kaki kita tidak nampak padahal telapak kaki Tuhan nampak dengan jelas. Telapak kaki kita tidak ada sebab pada saat beban, masalah dan musibah menimpa, kita sedang diangkat…kita sedang digendong Tuhan. Amin.
Yohana Defrita Rufikasari, S.Si (Teol).
(kotbah ini disampaikan dalam kebaktian minggu 3 Juli 2011 di GKI Mojokerto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar