Hari ini hari senin tanggal 27 September 2010. Mulai pagi ini Monday Morning Service (MMS) di kontrakan kami sudah dimulai. Kalau biasanya MMS diadakan di ruang tamu, kini Michael punya ide untuk mengadakan MMS di pekarangan samping kontrakan. Sesuatu yang baru. Maka kursi-kursi besi nan legam itu ditata membentuk formasi huruf U. Pelan tapi pasti satu per satu teman-teman hadir dan menduduki kursi-kursi itu. Mungkin bagi pembaca ini biasa, tapi tidak bagi saya. Nah, saya mau membicarakan apa yang tak biasa yang saya alami pagi ini…
Pertama, saya duduk sambil memejamkan mata (sesuai instruksi Michael si pemimpin MMS). Saya menikmati hangatnya matahari, hembusan angin pagi, daun-daun yang berguguran, dan beberapa menerpa wajah saya, suara tetangga yang sedang ngobrol sambil menjemur pakaian, suara tetangga yang sedang memanasi vespa, suara ayam di pekarangan tetangga, suara burung, deru pesawat, suara langka kaki orang-orang yang berjalan di depan rumah kami. Akh…betapa saya menyukai ini semua. Sudah lama saya melewatkan moment untuk mencerna semua, menikmati semua, menghargai semua. Moment dimana saya benar-benar hidup di masa kini. Dan saya pun terhenyak, bahwa saya selama ini tidak benar-benar hidup di masa kini, saya lebih suka terpelanting dari masa lalu ke masa depan, sehingga tidak mempedulikan hidup dan segala yang terjadi dalam hidup di masa kini…di hari ini. Maka benarlah perkataan, bahwa “Today is a gift”. Hari ini adalah pemberian. Pemberian dari Tuhan Sang Sumber Hidup.
Betapa saya terharu menyadari bahwa ternyata setiap detik yang saya jalani adalah pemberian Tuhan. Bayangkan, setiap detik Dia mengaruniakan kesempatan untuk hidup. kesempatan untuk menikmati cara Dia mencintai kita. Kesempatan untuk berbagi cinta. Betapa saya sudah melewatkan hal-hal agung dan mendasar dalam hidup ini. Akh…malunya hati ini.
Ini yang kedua: Pagi ini juga, berdasarkan Our Daily Bread, Michael mengajak kami semua untuk merenungkan Roma 12:3-13 dengan judul “Pursuing Hospitality”. Nah, ada beberapa hal yang menarik dari renungan dan sharing teman-teman pagi ini. Saya mencatat ada tiga yang menarik:
· Menyitir perkataan Henri Nouwen dalam renungan tersebut, “Hospitality is not to change people, but to offer them space where change can take place”
Hospitality di dalam bahasa Indonesia sepakat diterjemahkan sebagai sikap ramah terhadap orang lain. Dalam bahasa Yunani, hospitality berarti “mengasihi orang asing” (love of strangers). Kita tidak akan memperdebatkan makna dari hospitality dalam bahasa ibu kita dan dalam bahasa yunani, namun saya mau mengajak pembaca untuk mencermati kalimat ”Hospitality is not to change people but to offer them space where change can take place”. Keramaham tidak untuk merubah orang, tetapi menawarkan tempat dimana perubahan mungkin terjadi.
Jleb!!!! Saya tertusuk oleh kalimat itu. Saya limbung dihantam sari pati kalimat itu. Mengapa? Saya termasuk dari sekian puluh persen orang yang mempunyai ekspetasi tertentu ketika bersikap ramah terhadap orang lain. Saya ramah terhadap si A, agar si A bisa berubah menjadi ramah atau lebih ramah lagi terhadap saya. Saya baik terhadap si Z agar si Z dapat memaafkan kesalahan saya. Aih…aih…orang macam apa saya ini! Bersikap ramah kok ada embel-embelnya, bersikap baik kok ada maksudnya. Saya yang bebal nyaris idiot ini pun belajar mengunyah dan mencerna baik-baik pelajaran pagi ini yaitu, “kalau mau bersikap ramah ya ramah saja, kalau mau bersikap baik ya baik saja, tidak perlu mengharapkan orang lain menjadi berubah, tapi biarlah keramahan dan kebaikan kita itu bagaikan tetesan air yang perlahan tapi pasti mampu menghancurkan kebekuan batu.” Entah kapan, tapi biarlah keramahan dan kebaikan saya dan Anda itu tulus….
· Kali ini mengutip David McCasland, “Hospitality is making room for people in need”.
Seorang teman mengurai sharingnya kurang lebih seperti ini, “teman-temanku, terimakasih ya sudah mau memberikan saya ruang yang leluasa untuk menjadi diri saya sendiri, memberikan saya ruangan untuk berteduh…saya sungguh sangat bahagia memiliki teman-teman seperti kalian. Tidak memaksa, tidak mengintimidasi saya tetapi memberikan saya ruangan yang luas…yang lapang sehingga saya mampu menjadi diri saya sendiri dan tetap tegar. Saya harap hal yang baik ini bisa terus dikembangkan sehingga tidak hanya saya yang merasa demikian tetapi makin banyak orang juga merasakan apa yang saya rasakan ketika berteman dengan kalian…” Saya tercenung mendengarkan sharing dari teman saya ini. Betapa tidak, rupanya keramahan dari kami membuat dia merasa “dianggap”, dibutuhkan dan terlebih lagi rupa-rupanya kebersamaan ini juga turut membentuk dirinya menjadi dirinya sendiri…menerima keberadaan dirinya. Wah-wah…saya tidak menyangka bahwa ternyata keramahan itu berarti menyediakan ruangan bagi mereka yang memerlukan. Ruangan bagi mereka untuk tumbuh dalam pengenalan dan penerimaan akan dirinya sendiri, orang lain dan Tuhan. Luar biasa, ternyata sikap ramah yang contoh paling sederhananya adalah tersenyum ternyata mempunyai makna dan dampak yang dalam serta luar. Luar biasa!
· Dan yang terakhir, seorang teman mengutip dari buku Antony De Mello “Burung Berkicau”, “Aku mencintai maka aku hidup” (kurang lebih begitu kata-katanya). Mirip seperti formulasi Cogito Ergo Sum, itu kesan pertama saya. Namun ketika teman saya yang lain sharing tentang poin ini, maka kesan formula cogito ergo sum pun langsung saya shift+delete dari otak saya. Dia mengatakan bahwa pernyataan bahwa “Aku mencintai maka aku hidup” adalah pernyataan yang sangat dalam maknanya. Eksistensi dan esensi kita sebagai manusia adalah ketika kita mencintai. Tidak memberi ruang pada sebutir kebencian untuk bersemanyam dalam ruangan hati kita. Tidak memberi peluang pada segenggam dendam untuk memenuhi sudut hati kita. Tidak memberi waktu pada sebakul iri hati untuk tersaji di hati kita. Yang ada hanyalah mencintai diri sendiri, orang lain, semua ciptaan dan Tuhan.
Hah…inilah pelajaran-pelajaran berharga yang seringkali saya lewatkan. Kini saya menemukannya dan menyusunnya menjadi mozaik kehidupan. Terimakasih teman-teman…
Yogyakarta-Pulanggeni
Y. Defrita R.