Senin, 10 Juni 2013

Cerita Anak-Serial Dodo " TERIMAKASIH HUJAN"




            “Haduhhh, hujan lagi, hujan lagi. Kapan main di luarnya kalau tiap sore hujan!!” Keluh Dodo. Dengan wajah memberengut dia duduk di sofa dan menatap lurus ke luar jendela yang basah oleh hujan. Tidak berganti posisi, masih dengan wajah jengkel, Dodo kembali mengomel, “ Kan sekarang mestinya udah gak ada hujan lagi. Katanya kalau ada suara tonggeret itu tandanya kemarau akan datang. Lha ini apa, masih aja hujan!!”
            Ibunya yang ada di dapur mendengar gerutu Dodo.”Kamu kenapa Do?” tanya ibunya.
            “Enggak apa-apa Bu.” Jawab Dodo lesu.
            “Lho, kalau nggak ada apa-apa kenapa kamu ngomel-ngomel sendiri?”
            “Bu, Dodo sebel gak bisa main di luar, padahal udah bikin layangan, udah janji ama Rinto mau ngadu layangan. Tapi gimana mau main layangan kalau hujan mulu tiap hari.”
“Ya ditunggu sebentar lagi mungkin reda dan langit kembali cerah ya Do.”hibur ibunya.Dodo tidak bisa berharap bahwa langit akan segera cerah dan hujan kian reda.Karena ketika ia melongokkan kepalanya melewati jendela, dia bisa melihat awan cumulus seperti tertambat di atas genting rumahnya, dan hujan kian deras sampai tampias ke wajahnya.
“Ah yang bener aja bu, awan hitamnya aja kayak lagi parkir di atas atap kita kok, dan hujannya makin deras. Bakalan batal lagi aku main sama Rinto kalau gini ceritanya bu.” Dodo menghempaskan tubuhnya ke sofa, dan kembal cemberut.
            Ibu datang menghampiri Dodo sambil membawa donat kesukaan Dodo. “Do, ibu punya ceruta soal hujan lho.” Dodo mengambil donat, memasukkan dalam mulutnya dan mulai mengunyah. Dengan mulut penuh, ia menjawab, “Cerita apa bu?”
            “Kamu tahu nggak Do kalau hujan itu juga dirindukan?” tanya ibunya.
            “Ah, yang bener aja bu. Siapa juga yang kangen dan pengen hujan turun. Tukang es gak suka hujan, tukang parkir juga males kalau hujan, dan orang-orang yang jualan di pinggir jalan pada basah kuyup kena hujan.”
            “Hmmm jangan salah Do, dulu ada orang-orang yang pengen banget hujan turun.”
            “Siapa bu?”
            “Gini ceritanya, di sebuah daerah bernama Samaria sedang terjadi bencana kelaparan karena musim kemarau berkepanjangan. Nih, ibu bawain kamu Atlas Alkitab, supaya kamu tahu letak Samaria itu di mana.” Ibu memperlihatkan letak Samaria di Atlas Alkitab dan Dodo memperhatikan dengan seksama.
            “terus bu?”
            “Ada seorang nabi bernama Elia. Dia disuruh oleh Tuhan untuk bertemu dengan Raja Ahab. Padahal saat itu Elia sedang jadi buronannya Izebel istri Ahab yang sudah membunuh banyak nabi-nabi Israel. Namun ada 100 nabi Israel yang disembunyikan oleh Obaja di dalam gua-gua masing-masing limapuluh orang. Ahab menjadi panik ketika kemarau tak kunjung usai, dan hujan tak datang. Dia mengajak Obaja untuk berkeliling mencari mata air bagi kuda dan bagalnya. Dalam perjalanan itulah Obaja bertemu Elia. Elia meminta Obaja untuk bertemu dengan Ahab. Dalam pertemuan itulah Elia menantang Ahab. Elia menyuruh Ahab mengumpulkan 450 orang nabi-nabi Baal dan 400 orang nabi Asyera. Elia menantang mereka semua di Gunung Karmel. Nih, Do letak Gunung Karmelnya.”

            “Waduh, Elia nggak salah tuh bu nantangin orang sebanyak itu?”
            “Enggak Do. Elia menyuruh nabi-nabi Baaldan Asyera itu untuk mengambil 2 ekor lembu dan memotong-motong tubuhnya lalu menumpuknya di atas kayu. Tapi baik Elia maupun nabi-nabi Baal dan Asyera itu tak ada yang membakar kayu-kayu tersebut. Elia berkata bahwa ia akan berdoa kepada Allah. Nabi-nabi Baal dan Asyera juga begitu. Allah yang menjawab doa salah satu dari mereka adalah Allah yang berkuasa mengirimkan api sehingga kayu-kayu itu terbakar dan membakar potongan-potongan daging lembu itu. Rakyat Israel setuju. Elia mempersilahkan nabi-nabi Baal itu berdoa duluan kepada ilah mereka. Tapi tidak terjadi apa-apa. Elia mengolok-ngolok mereka. Elia bilang jangan-jangan ilah mereka sedang sibuk, sedang bepergian atau sedang tidur. Mereka berdoa makin keras dan tetap tidak ada yang terjadi. Maka sekarang giliran Elia yang berdoa. Sebelum berdoa, dia membangun lagi mezbah yang runtuh itu dan membuat parit di sekitar mezbah yang bisa menampung air sebanyak 15 liter Do. “
            “Terus apa yang terjadi selanjutnya bu?” tanya Dodo tidak sabar sambil siap melahap donatnya yang keempat.
            “Elia meminta orang-orang menyiram potongan hewan itu dengan air sampai tiga kali dan parit yang dibuat Elia itu jadi penuh air. Elia pun berdoa. Seketika itu juga api turun dari langit dan membakar habis potongan hewan korban itu bahkan air di parit yang menggenang itu habis kering oleh api. Dan kemudian Elia menyuruh mereka pulang sebab suara hujan sudah terdengar. Namun mereka tidak mendengarnya. Elia menyuruh pelayannya naik ke bukit sampai enam kali, yang ketujuh barulah si pelayan berkata bahwa ia melihat awan setelapak tangan dari arah laut. Elia menyuruh hamba itu menemui Ahab dan meminta Ahab segera pulang sebelum terhalang hujan. Dalam sekejap awan setelapak tangan itu menjadi awan gelap pekat dan hujan turun sangat deras. Begitu ceritanya Do.”
            “Ohh jadi sebenarnya orang-orang itu dalam masa kekeringan yang panjang dan mereka merindukan hujan turun supaya semua tumbuh-tumbuhan bisa hidup lagi dan mereka nggak kelaparan ya bu.”
            “Iya Do, hujan itu adalah bukti pemeliharaan Tuhan atas umat-Nya.”
            “Tapi bu, sekarang kebanyakan orang kayak Dodo, nggak suka hujan. Soalnya selain kalau hujan turun bikin anak-anak nggak bisa main juga bikin banjir bu.”
            “Eitss jangan nyalahin hujannya dong. Do, hujan gak bikin banjir kalau kita semua bisa menjaga lingkungan dengan baik. Nggak ngotorin sungai. Sekarang coba kamu lihat kalau kamu lewat sungai yang dekat sekolahmu itu kamu lihat apa di sana?”
            “Hehehe macem macem bu, ada kasur bekas, sampah di kiri kanan sungai, ada ban bekas, wah banyak bu.”
            “Menurut Dodo barang-barang itu mestinya diapakan?”
            “Ya jangan dibuang di sungai bu, soalnya sungai kan bukan tempat pembuangan sampah, kalau dibuang di sungai, lama-lama sungai jadi dangkal karena banyak sampahnya ketimbang airnya bu hehehe.”
            “Nah itu Dodo pinter dah tahu jadi jangan sembarangan nyalahin hujannya hehehe. Coba kalau kita nggak rakus nebangin pohon tapi ogah nanam lagi, nggak ngebuang sampah di sungai atau selokan, nggak ngotorin muara dan pantai, ya banjir nggak datang. Hujan itu anugerah dari Tuhan jadi bukan untuk disalah-salahin. Kalau kita bisa merawat alam ini dengan baik, maka musim kemarau dan musim penghujan itu tidak akan datang sembarangan. Orang jawa kuno bilangnya pranata mangsa. Jadi udah jelas musim kemarau itu kapan dan kapan musim hujan datang. Makanya Do orang-orang jaman dulu bisa bilang kalau ada suara tonggeret maka itu tandanya kemarau datang. Tapi sekarang? Tonggeret nya juga binggung kapan hujan kapan kemarau. hehehehe”
            “Hehehehe iya bu. Dodo nggak akan ngomel lagi deh kalau hujan, soalnya kalau gak hujan Dodo juga yang susah. Semua pada kering. Panas. Dan dari cerita ibu tadi, Dodo janji nggak akan mau lagi ngotorin sungai, selokan dengan sampah. Juga ntar kalau Dodo udah gede, Dodo nggak mau nebangin pohon Cuma supaya Dodo bisa bangun rumah atau villa. Kalau nebang ya kudu nanam hehehe.. Dodo udah nggak marah lagi sama hujan bu.”
Dodo memeluk ibunya dan melupakan kejengkelannya terhadap hujan. Seiring dengan redanya rasa jengkel Dodo terhadap hujan, langit berangsur-angsur cerah. Di ujung sana ada pelangi yang sangat indah. Dodo segera berlari keluar memandang pelangi dan bekas hujan yang masih tersisa. Hatinya kini dipenuhi rasa syukur.






Y.Defrita R.

#proyek iseng-iseng membuat cerita anak-anak hehehehehe ^_^


SUSAH SUSAH GAMPANG?!?!?



            Beberapa saat yang lalu saya diberitahu teman saya kalau ada update status yang menarik dan sedang ramai diperbincangkan di sebuah media sosial. Kebetulan saya memang berkawan dengan yang membuat update status itu. Sekalipun saya berkawan dengannya, namun benar kata seorang teman yang lain kalau saya ini sejenis manusia yang ketika membuka media sosial hanya akan meng-update status, mengganti ini itu seperlunya namun jarang menjelajah ke “rumah” orang lain apalagi memberikan komentar dan menempelkan jempol saya. Jadi wajar kalau urusan yang beginian pun saya masih mesti diberi tahu orang lain kalau ada yang lagi IN dan HOT hehehe.
            Balik lagi ke soal saya membaca update status  yang sedang ramai diperbincangkan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Bukankah memang selalu begitu ya hehehe. Maka tidak heran kalau membaca puluhan komentar yang bersarang di sana, ada yang marah, ada yang ikutan ngritik, ada yang membela, ada yang ngasih guyonan, wah rame rasanya. Seorang teman di Blackberry Messenger berdiskusi dengan saya soal komentar-komentar yang rame itu.  Entah bagaimana mulanya, sampailah kami diskusi soal kotbah.
            Bukan, bukan soal teknik berkotbah apalagi soal materi kotbah hehehe, percayalah obrolan kami tidak seserius itu. Yang kami bahas adalah soal “kok nggak ngomong langsung aja sih” dan juga “Kog nggak lewat mimbar aja.” Saya berpendapat kalau dalam kotbah ada unsur teguran, didikan, penghiburan, penguatan. Hanya saja dalam beberapa konteks sosial di gereja-gereja tertentu unsur teguran ini dihindari. Alasan yang paling sering saya dengar adalah jangan sampai kotbah yang mengandung teguran itu menyinggung pihak-pihak tertentu. Ya memang kalau dalam kotbah disebutkan nama orang per orang nya ya itu namanya bukan lagi teguran kasih tapi penghakiman. Tapi yang namanya teguran, sekalipun nggak pake sebut merk, tetap aja akan nyinggung pihak-pihak yang merasa ditegur kan hehehe. Kotbah yang beginian yg bikin kuping merah hati panas. Sebuah komplikasi yang enggak enak. Dan emang manusia punya defense mekanisme. Jadi begitu kuping merah hati panas, defense mekanismenya jalan. Ya biasanya sih balik ngritik, atau ada yang lebih sopan-walaupun intinya sama, lewat surat yang disampaikan ke Majelis Jemaaat.
            Di sini saya jadi mikir, bisa aja sih pemikiran saya salah, cuman dasar iseng dan nothing to lose juga kan mikir gini hehehe…hmmm jadi gimana mestinya? Apakah kotbah itu isinya Cuma buaian yang bikin kuping seneng hati adem ayem aja? Karena kalau teguran itu disampaikan lewat kotbah konon kabarnya yang bersangkutan akan dipanggil menghadap Pihak-Pihak Yang Lebih Tinggi di Gereja. Kalau di Gereja Katolik Roma dulu istilahnya inkuisisi yang dilakukan oleh Dinas Suci. Nah, jadi gimana dong?
            Teman saya yang lain bilang, “Itu mah tergantung gimana kita ngomongnya.” Oke, ini emang juga terkait dengan kemampuan kita berkomunikasi. Emang teguran bisa disampaikan dengan nada positif? Semestinya bisa kalau kita mau. Kecuali kita sudah nggak bisa ngendalikan emosi maka teguran pun bernada negatif dan diskriminatif. Omong-omong nih, pendapat teman saya ini boleh juga. Semua tergantung dari gimana kita ngomongnya. Jadi unsur teguran, didikan, itu mesti tetap ada dalam sebuah kotbah. Kalau kotbah isinya cuman bikin kita adem ayem tapi nggak ngedidik dan nggak negur kita dari perbuatan yang gak bener kan sama aja tuh kotbah sama iklan. Tapi kalau kotbah isinya cuman teguran bernada negatif itu sama aja kita ngajak debat anggota jemaat hehehe… Hmmm emang bener kali ya kalau kotbah itu susah-susah gampang…kepanjangan dibilang ngebosenin, kependekan dibilang kagak niat, banyak istilah-istilah ajaib, dibilang sok ilmiah, banyak ilustrasi dibilang gak Alkitabiah, kalau kotbahnya bikin ati adem dibilang cari  pendukung, kalau kotbahnya pedes sedep, dibilang cari musuh…duhhhhhh…
            Bagi saya, konten kotbah itu tidak untuk menyenangkan si Anu, si Itu, si Ini, tapi bagaimana teks itu bicara dan kawin dengan konteks masa kini….hehehehe…So, kalau nanti ternyata gara-gara kotbah kita dipanggil sama “Dinas Suci” untuk menjalani Percakapan ya dijalani saya sebagaimana kita sudah yakin dengan apa yang kita kotbahkan hehehe. Bukankah dulu ada seorang pria yang langganan penjara dengan bijak menasehati supaya kita masing-masing siap memberikan pertanggungjawaban bila diperlukan?





Y.Defrita R.
10 Juni 2013

Baldassare Embriaco dan Kiamat



Amin Maalouf
            Amin Maalouf, sebuah nama yang nyaris asing di telinga saya dan Anda. Tadinya pun saya mengira dia seorang penulis baru dari Timur Tengah. Namun setelah saya membaca bukunya yang berjudul “Balthasar’s Odyssey-Nama Tuhan Yang Keseratus-Sebuah Novel” saya sedikit mengetahui siapa Amin Maalouf. Amin Maalouf adalah seorang mantan pemimpin harian terkemuka di Beirut “An-Nahar” dan editor “Jeune Afrique”. Sedangkan karya fiksi yang dilahirkannya dalam terjemahan bahasa inggris antara lain “Leo The African”, “The Rock Of Tanios” yang memenangkan Prix Goncourt, “Samarkand,” “The Garden Of Light”, dan “Ports Of Call”. Di antara karya nonfiksinya adalah kumpulan esai “On Identity” dan “The Crusades Through Arab Eyes”. Setelah berkenalan dengan gaya penceritaan Amin Maalouf saya tertarik untuk mencari dan membaca karya-karya nya yang lain. Tapi saya tidak akan menyinggung soal ini di sini.
            Kali ini saya ingin cerita sekelumit isi novel Balthasar’s Odyssey-Nama Tuhan yang Keseratus dan kaitannya dengan fenomena ramalan kiamat. Novel karya Amin Maalouf ini memang cerdas namun tidak berlebihan. Novel ini merekam perjalanan panjang Baldassare Embriaco seorang saudagar buku keturunan Genoa asal Gibelet, Libanon. Selama hampir dua tahun ia menjelajahi tiga benua dan mengelilingi nyaris separuh dunia yaitu Libanon, Maroko, Turki, Yunani, Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, Prancis, dan Italia demi sebuah buku berjudul “Nama Tuhan yang Keseratus” karya Mazandarani. Buku ini menjadi begitu penting dan menjadi incaran banyak orang lantaranm buku itu konon katanya memuat nama Tuhan yang keseratus, sebuah nama yang tersembunyi sebagai pelengkap 99 nama Tuhan yang lazim dikenal oleh umat muslim.  Di dalam  diskusi antara Baldassare Embriaco dengan Esfahani seorang yang mengaku sebagai Pangeran dari Persia, hal ihwal semangat menggebu-nggebu mencari buku bertajuk Nama Tuhan Yang Keseratus itu dikarenakan sejak datangnya agama Islam, para ulama telah berdebat mengenai satu ayat yang muncul tiga kali dalam istilah serupa di dalam Alquran dan terbuka terhadap berbagai pemaknaan. Esfahani mengutip, “Sabbihisma rabbika-a-l-a’la”(Q.S 87:1) yang bisa diterjemahkan sebagai “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” Menurut Esfahani kemenduaan muncul pada kenyataan dalam bahasa Arab mengenai sebutan “A-l-A’la”, “Yang Maha Tinggi”, bisa mengacu pada Tuhan ataupun nama-Nya. Dalam tafsiran pertama, ayat ini semata-mata anjuran untuk memuliakan nama Tuhan. Namun jika penafsiran kedua benar, maka ayat itu bermakna “Sucikanlah Tuhanmu dengan nama-Nya yang paling tinggi.”
            Dalam novel ini, Amin Maalouf tidak menjebakkan dirinya pada diskusi soal kemenduaan makna tersebut. Sebab memang ini sebuah novel, bukan sebuah buku yang merekam debat teologis. Amin Maalouf justru bercerita tentang ekspresi dan reaksi orang-orang yang hidup pada tahun 1666-1667 yang beranggapan bahwa dengan buku Nama Tuhan yang Keseratus maka orang yang memilikinya bisa selamat dari kiamat. Walapun saya bertanya-tanya, apatah gunanya selamat dari kiamat kalau hanya seorang saja di dunia ini? Hehehe bukankah akan sangat menyedihkan hidup di dunia seorangan wae?!
            Sebagaimana layaknya novel drama maka kisah ini pun tak luput dari cinta yang berliku, antara Baldassare Embriaco dan Marta, Baldassare Embriaco dan Bes, Baldassare Embriaco dan Giacominetta. Juga ada kisah benturan antar agama dan peradaban, renungan filosofis tentang kesejatian hidup manusia serta kronik sejarah yang kaya dengan latarbelakang dunia abad ke-17. Namun terlepas dari itu semua ada yang menarik hati saya karena terpajang sepanjang perjalanan membaca Balthasar’s Odyssey yaitu berita tentang kiamat desember 1666 dan bagaimana reaksi para pedagang sampai penguasa bahkan rohaniawan.
            Konon di tahun 1665 sudah banyak orang meramalkan bahwa 31 Desember 1666 adalah tahun kiamat. Dunia akan meredup. Banyak yang mencibir, namun banyak pula yang diam-diam percaya. Baldassare Embriaco awalnya tidak terlalu ambil pusing dengan persoalan kiamat jatuh kapan. Dia menjadi sedikit terusik tatkala keponakannya-Jaber serius menyelidiki berbagai macam dokumen yang terkait dengan ramalan tersebut. Sampai akhirnya mereka berlayar berkeliling dunia hanya untuk mencari buku yang bisa menyelamatkannya dari kiamat.
            Dalam perjalanan itu dia berkenalan dengan seorang kawan yang ternyata juga sedang mencari tahu keabsahan kabar soal kiamat itu. Dan di daerah lain, seorang rohaniawan mencemooh pemikiran bodoh semacam ini walapun jauh di dalam hatinya dia pun bertanya adakah kiamat tiba tanggal 31 Desember 1666. Sepanjang novel itu, Amin Maalouf menceritakan berbagai ekspresi dan reaksi dari mereka yang percaya, percaya tapi malu mengakui kalau percaya, atau menolak mentah-mentah ide ramalan kiamat itu. Namun lucunya di Genoa yang ramai oleh perdagangan dan kapal yang hilir mudik, ramalan soal kiamat itu tak ada gaungnya sama sekali. Seolah-olah orang Genoa benar-benar tidak peduli kiamat akan menjemput kapan. Mereka hanya peduli pada perdagangan damar wangi dan aneka rempah dan barang-barang dari Eropa ataupun Asia selain hal itu mereka peduli pada vernaccia yang memabukkan. Selain itu mereka juga taat menjalankan aturan agama dan gereja. Maka Genoa seolah-olah tetap berjibaku dengan uang, minuman, dan doa ketika dunia di sekitarnya sedang panik dengan ramalan kiamat tahun 1666.
            Dan benar saja ramalan itu hanya isapan jempol belaka dari seorang yang bernama Sabbatai Zevi. Dia adalah seorang Ratu Adil Palsu Yahudi yang memimpin gerakan mesianik terbesar dalam sejarah Yahudi. Ia lahir di Smyrna (sekarang disebut Izmir, Turki) dan kemudian ditahbiskan sebagai Hakkam (Rabi yang dianggap memiliki kearifan istimewa). Pada tahun 1665 ia dinyatakan sebagai “Al-Masih” oleh tokoh agama Karismatis yaitu Nathan dari Gaza. Penguasa Kesultanan Utsmaniyah memenjarakan Sabbatai pada tahun 1666 namun kemudian ia menyatakan masuk Islam untuk menghindari hukuman mati. Pada tanggal 1 Januari 1667 tidak terjadi suatu apapun dan Baldassare Embriaco siap menjalankan rencana demi rencana yang terbentang bagai karpet Persia di hadapannya.
            Rupa-rupanya sejak dulu boleh dikata manusia suka dengan semua berita atau ramalan terkait kiamat:

great fire of London
  • tahun 1533 Seorang warga Jerman bernama Michael Stifel meminta pengikutnya menjual seluruh harta mereka karena yakin hari akhir akan terjadi pada 3 Oktober 1533. Ia begitu yakin akan perhitungannya. Di hari yang telah ditentukan ia bersama pengikutnya naik ke sebuah bukit dengan alasan agar mudah diangkat ke surga. Ditunggu-tunggu kiamat tak kunjung datang. Stifel dan pengikutnya pun turun. Walau ramalannya terbukti gagal, Stifel tetap yakin kiamat segera datang. Ia akhirnya meminta dipenjara untuk perlindungan dari hari akhir. Ada-ada saja.
  • Tahun 1666
    Dalam tradisi Kristen, angka 666 dianggap sebagai angka setan. Maka, tak heran menjelang dan saat tahun itu tiba seluruh warga Eropa didera rasa termat cemas, jangan-jangan ini tahun terakhir mereka hidup di bumi. Apalagi setahun sebelumnya wabah penyakit menyapu Eropa menewaskan 100 ribu orang, seperlima warga London. Bencana itu membuat orang-orang makin khawatir kiamat sudah dekat. Hingga pada 2 September 1666 sebuah kebakaran besar melanda London. Kebakaran berlangsung selama tiga hari dan membakar lebih dari 13 ribu gedung dan puluhan ribu rumah. Namun akhirnya diketahui hanya 10 orang tewas dalam kebakaran, yang meskipun besar, bukanlah akhir dari dunia. Data inilah yang menjadi latar belakang novel Amin Maalouf.
  • Tahun 1844
    William Miller disebut majalah Time sebagai nabi palsu paling tenar. Pada 1840-an ia mulai berkhotbah kehidupan dunia sebentar lagi berakhir, Yesus akan kembali turun ke bumi, dan bumi bakal hancur antara tanggal 21 Maret 1843 hingga 21 Maret 1844. Ia menyampaikan khotbahnya dengan mengumpulkan orang di keramaian, mencetak poster dan tulisan. Sepanjang 1840 dan 1844 sebanyak 100 ribu orang termakan omongannya, menjual harta benda mereka dan pergi ke perbukitan menunggu kiamat datang. Saat tanggal yang ditetapkannya tak terjadi apa-apa, Miller mengubah ramalannya jadi 23 Oktober tahun yang sama. Hasilnya serupa. Kiamat tak mampir di hari itu.
  • Tahun 1914
    Perang Dunia pertama dimulai di tahun itu. Hal itu tak hanya membuat orang ketakutan dilanda perang, tapi was-was jangan-jangan ramalan pendiri majalah Watch Tower Charles Taze Russell tentang akhir dunia benar adanya. Russell meramalkan Yesus turun ke bumi pada 1914. Saat perang besar terjadi tahun itu, Russell menafsirkannnya sebagai pertanda kiamat akan datang. Sejarah membuktikan sebaliknya. Perang Dunia I berakhir 1918.
  • Tahun 1977
    Pada 28 Februari 1963, sebelum matahari terbenam, di saat langit Arizona, AS memperlihatkan gumpalan awan misterius nan cantik, pendeta William Branham menuju padang gurun mendaki bukit Sunset dan mengklaim bertemu 7 malaikat yang mengungkap 7 perisai di Kitab Revelation. Beberapa hari kemudian ia mengutarakan 7 khotbah di Jeffersonville, Indiana, selama 7 malam. Ia meramal Yesus akan turun ke bumi tahun 1977.Namun, ia tak melihat ramalannya ternyata gagal karena saat sedang menyetir di Texas pada Desember 1965, seorang pengemudi mabuk menabrak mobilnya. Di malam Natal atau 6 hari setelah insiden tabrakan, Branham meninggal.
  • Tahun 1988
    Pendeta Hal Linsey mengubah ramalan kiamatnya beberapa kali. Ia menulis buku Late Great Planet Earth yang jadi buku laris di tahun 1970-an. Di bukunya, ia meramal kiamat terjadi 31 Desember 1988. Ia mengutip ancaman bencana nuklir, komunisme Uni Soviet, dan kelahiran negara Israel sebagai tanda-tanda kiamat. Tentu kiamat tak terjadi tahun itu. Negara Uni Soviet malah bubar. Tapi Linsey tak lelah meramal bahkan di tahun 1990-an dan 2000-an. Linsey kemudian tak hanya salah meramal, tapi lebih dari itu, ia membuat buku-buku ramalan kiamat jadi genre populer. Setelahnya banyak bermunculan buku sejenis. Salah satunya Edgar Whisenant yang menerbitkan buku pada 1988, mendukung ramalan Linsey, 88 Reasons Why Rapture Will Be in 1988 (88 Alasan Kiamat Bakal Terjadi Tahun 1988). Buku itu laku terjual 4,5 juta eksemplar.
  • Tahun 1993
    David Koresh mengunci diri beserta pengikut sektenya di sebuah kawasan peternakan di Waco, Texas, pada 1993. Ia meyakinkan pada pengikutnya kalau ia Yesus dan mereka semua harus bersiap menyambut kiamat yang segera datang. Saat pihak berwenang Texas bermaksud menggeledah tempat Koresh dan pengikutnya tinggal yang dinamai Mount Carmel Center, karena dicurigai ada penyiksaan terhadap anak-anak dan wanita plus senjata ilegal. Namun, Koresh dan pengikutnya melawan. Empat petugas tewas. Koresh tak mau menyerah. Selama 50 hari terjadi ketegangan di peternakan itu. Hingga, pada 19 April tahun itu, FBI akhirnya menyerbu peternakan. Lusinan orang tewas termasuk Koresh. 
  • Tahun 1994
    Pada 1992, Harold Camping menerbitkan buku berjudul 1994? Yang meramalkan kiamat bakal terjadi pertengahan September 1994. Ia bilang Yesus bakal turun ke bumi lalu kiamat datang. Camping mendasarkan ramalannya dari hitung-hitungannya pada angka-angka di Alkitab. Dari rumusan yang ia buat diperoleh angka itu. Tapi dunia tidak berakhir di tahun 1994. Begitu juga di tahun 1995 sewaktu ia merevisi hitungannya.
  • Tahun 1997
    Anggota sekte Pintu Surga yakin kehancuran bumi datang setelah komet Hale-Bopp lewat pada 1997. Mereka meyakini satu-satunya cara untuk selamat adalah dengan bunuh diri sehingga arwah langsung diangkut oleh pesawat makhluk luar angkasa dan terbang di belakang ekor komet. Sebanyak 38 jasad pengikut aliran sesat itu ditemukan tak bernyawa di sebuah rumah di California pada Maret 1997.
  • Tahun 2000
    Perpindahan milenium pernah juga diramal jadi akhir dunia. Ada lusinan sekte sesat meramalkan kiamat bakal datang di pergantian 1000 tahun. Apalagi dengan adanya kekhawatiran sistem komputer bakal kacau di saat milenium berganti alias Y2K. Sistem penanggalan komputer yang hanya mengenal dua digit tahun akan mengacaukan sistem kerjanya—karena komputer akan membaca tahun 2000 sebagai tahun 1900. Nyatanya, tak terjadi kerusakan berarti. Padahal Carlos Roa, seorang kiper Argentina, sudah menolak perpanjangan kontrak dengan sebuah klub spanyol karena yakin hari akhir datang pada 1 Januari 2000.
  • Tahun 2011
    Harold Camping kembali di tahun 2011. Ia merevisi hitung-hitungannya tahun 1994 dulu menjadi 21 Mei 2011. Ketika tak terjadi kiamat di tanggal itu ia berdalih, “Hari penghakiman betul-betul terjadi, sayangnya tidak ada jiwa yang pantas untuk diselamatkan dan diangkat ke langit, jadi tak ada yang merasakan hari itu datang.” Lalu mengapa Camping juga tidak “diselamatkan”? Apakah ia temasuk orang-orang yang tak pantas diangkat ke langit? “Saya ditugasi untuk membawa 80 juta orang di dunia, termasuk para pengikut saya untuk dikumpulkan di Cayman Island saat dunia berakhir bulan Oktober nanti.” Oktober? Kok mundur lagi? Reuters mencatat, menurut teori pendiri radio Family Radio Network ini, 21 Mei hanya awal serangkaian peristiwa besar yang mengacu pada bencana dahsyat yang disebut kiamat. Bencana besar yang menghancurkan dunia beserta isinya itu diprediksi akan terjadi 21 Oktober. Nyatanya tak terjadi apa-apa di tanggal itu.

Tanggal 21 Desember 2012, sejak dua tahun terakhir, tanggal itu jadi tenar lantaran dikatakan di tanggal itu dunia yang kita tinggali berakhir alias kiamat. Awalnya adalah bangsa kuno Maya di Amerika Tengah yang membuat perhitungan tahun kalender yang berakhir di tahun 2012. Tepatnya, kalender Maya hanya sampai menyebut tanggal 21 Desember 2012. Banyak menafsirkan dunia akan kiamat di tanggal itu.Namun tanggal 22 Desember 2012, saya ingat sekali, hari itu panas, matahari sangat cerah, semua begitu indah karena sosok pegunungan Dieng, Gunung Sumbing, dan Gunung Sindoro nampak. Dan selanjutnya hari berjalan sebagaimana mestinya. Yang juga membuat saya ingat adalah, hampir di setiap tempat saya mendengar orang menertawakan dan mencemooh ramalan kiamat yang gagal lagi. Diam-diam saya curiga jangan-jangan orang-orang yang menertawakan dan mencemooh ini adalah orang-orang yang dulunya percaya akan ramalan itu hehehe.
            Dan seperti kita lihat, tahun 2013 pun kita jelang hingga detik ini. Yah, di setiap masa selalu ada orang-orang yang mengaku dirinya sebagai orang yang mendapatkan wahyu ilahi dan menyampaikan tanggal pasti kiamat. Lalu tidak terjadi apapun setelahnya. Fenomena ini membuat saya melihat bahwa sebagian besar orang tertarik dengan kehidupan di masa yang akan datang ketimbang di masa kini. Sebagian besar orang lebih tertarik untuk bicara tentang kerajaan yang akan datang, kehidupan damai sejahtera di surga, keadilan ilahi yang bertahta di bumi dan serangkaian kejadian yang dianggap sebagai “clue” bagi datangnya kiamat.
            Dengan demikian, seolah-olah orang-orang ini kakinya di masa kini namun leher dan kepalanya ditarik ke depan menjauhi kakinya. Sederhananya, orang tidak hidup di masa kini namun di masa yang akan datang. Teringat petuah seorang bikhu di Vihara Mendut yang mengatakan bahwa manusia senang jadi pendulum yang bergerak ke depan ke belakang namun tidak pernah diam di tempatnya. Manusia senang membuang waktu dan energi hidup di masa lalu, dan senang berangan-angan tentang masa depan namun mengabaikan berbagai macam kesempatan dan pengalaman di masa kini.
            Sebagian besar orang yang meyakini ramalan-ramalan ompong kiamat ini pada akhirnya menjelma menjadi orang yang memiliki spritualitas egosentris. Dia menjual semua barangnya, karena toh kiamat kita semua terangkat jadi warga sorga yang jalannya dari emas, jadi ngapain bawa-bawa barang. Ada pula yang mengemas barang-barangnya karena kata pemimpin spritual nya yang diangkat ke sorga bukan Cuma orang tapi juga barang. Dan rata-rata mereka akan hidup eksklusif hanya dengan komunitasnya saja demi menjahui dunia. Kehidupan semacam ini diyakini dapat menjaga kesucian diri sampai kiamat tiba.
            Terlepas dari perkara benar dan tidak benar, saya sendiri berpendapat bahwa sampai kapanpun manusia tidak mampu memahami dan memprediksi  kapan kiamat tiba. Bahkan kalau mau “sok biblis” di Alkitab Anak Manusia juga tidak menyatakan diri-Nya tahu. Dan bagi saya ketimbang hidup ini disibukkan dengan persoalan “KAPAN KIAMAT?” mending kita hidup sepenuhnya di saat ini. Sebab jalan yang kita pilih tidak bisa kita ulangi lagi. Dan begitulah yang akhirnya diinsyafi Baldassare Embriaco seorang saudagar buku dari Gibelet, Lebanon yang mulai melepaskan diri dari kekhawatiran soal kiamat menjadi orang yang mensyukuri segala hal yang terjadi dalam hidupnya kini dan di sini.
            Hidup sepenuhnya adalah hidup yang menerima duka seikhlas suka. Hidup sepenuhnya adalah hidup yang mengutamakan kasih, keadilan, kejujuran, dll sebagai sebuah gaya hidup. Saya membayangkan jika semua orang menjalannkan sebagai sebuah gaya hidup maka persoalan Kerajaan Allah yang Memerintah di Dunia bukan lagi perkara di atas awang-awang namun perkara bagaimana saya dan Anda menyatakannya selama kita masih di dunia. Jadi nggak usah nunggu di surga buat ngarasain Kerajaan Allah, kalau kita mengupayakan nilai-nilai Kerajaan Allah maka kita membiarkan Allah yang merajai dunia.
            Jadi gimana, kiamat kapan? Besok? Bulan depan? Tahun depan? Hahahahah kapan saja boleh!






Y. Defrita Rufikasari
Juni 2013

Selasa, 04 Juni 2013

Ngerehreh ati?

Beberapa saat yang lalu teman saya ngirim short message service. Dalam short message service itu dia bilang bahwa tulus is nothing to lose seperti hanya menghibur diri, ngerehreh awake dhewe. Dia berargumen bahwa berbuat tulus akan ada kemungkinan kita justru lose lebih banyak dari yang kita kira. tapi kita tahu bahwa yang lakoni ini sudah bener "tsaddiq" dan sudah "dikaios". Lanjutnya, "Siapa sih yang engga makan hati kalao setiap perbuatan baiknya selalu dikatakan ada udang di balik batu. Respon positif yang pertama terhadap hal ini menunjukkan seberapa tulus diri kita dan menyingkap motif kita sebenarnya.
Memang saya dan dia pernah sama-sama harus membawakan tema Tulus Is Nothing To Lose yang sempet bikin saya ngacak-ngacak Alkitab dan berbagai macam buku yang terkait. Namun sekali lagi, menuliskan atau lebih tepatnya menguraikan topik itu terkadang lebih mudah ketimbang melakoninya.
Selang beberapa mingu, ya mungkin sekitar 2 mingguan saya "kepentok" dengan yang namanya Tulus Is Nothing To Lose. Singkat cerita saya bertemu dengan orang-orang yang sebenarnya awalnya digadang-gadang sebuah kerja sama. Dalam beberapa kali tatap muka saya mengusulkan ide-ide dan pendapat saya kadang juga usulan solusi yang tepat guna. Namun suatu hari, kerjasama yang digadang-gadang itu bubar jalan. Di sana saya merenungkan short message service dari teman saya itu. Karena tanpa dinyana diapun mengaitkannya dengan tema ketulusan. Ya mungkin ketika peristiwa itu terjadi kalimat tulus is nothing to lose cuma ngerehreh hati aja. Tapi lama-lama saya mikir, "Yo wis lah, ndak ada yang rugi. anggap saja ide-ide dan usulan solusi itu sebagai bentuk lain dari sedekah." Apakah ini tandanya saya masih ngerereh hati saya? heheheheh nampaknya tidak. karena ketika kejadian serupa terulang kembali saya disadarkan bahwa memang setulus apapun kita, tak berarti kita kebal terhadap kecurangan yang dilakukan oleh orang lain... namun dengan kalimat tulus is nothing to lose saya merasa langkah saya makin ringan...sekalipun sudah teramat sering dicurangi orang lain...
persoalan tulus is nothing to lose bagi saya bukan cuma persoalan bagaimana reaksi kita ketika dicurangi orang lain atau ketika dituduh punya niat jelek. Namun juga dalam menjalani hidup ini sikap tulus is nothing to lose itu sesungguhnya meringankan langkah saya. Saya jadi teringat sebuah kisah yang menceritakan seorang lumpuh yang diminta mengangkat tilamnya dan berjalan oleh seorang pria nan bijak bestari. Dia mengangkat tilamnya dan berjalan. Bagi saya tindakan si lumpuh ini bukan sekedar tindakan iman. Karena saya pun ndak tahu kadar keimanannya, dan kalaupun perkara kadar iman itu ada atau bisa diperdebatkan. Yang saya pikirkan ketika membaca kisah itu adalah, dia melakukannya karena semata-mata nothing to lose kok. Kalaupun ntar dia ngangkat tilamnya dan ambruk lagi, yo wis, kan hari-hari dia juga udah lumpuh. Kalau ternyata bisa, ya syukur kepada Allah.
Begitu juga dalam hidup saya. Kalau saya gak jadi kerjasama dengan si A ya sudah ndak apa-apa, kalaupun sebelum-belumnya sudah banyak ide-ide dan usulan konstruktif yang saya gelontorkan. Dan sekalipun orang-orang di sekitar saya geram juga menganggap saya rugi. Juga kalau saya tidak jadi kerjasama dengan si B karena ketidakjelasan pihak B sementara waktu, energi dan pikiran sudah tercurah di sana...ya sudah ndak apa-apa...
Mungkin sekilas, sikap saya ini bisa diartikan sebagai sikap pasrah nyaris mendekati bodoh. Tapi dengan sikap tulus is nothing to lose saya ngrasa lebih enteng ngejalani hidup.. nggak mikir saya untung apa nggak setelah 2 kali gagal kerjasama dengan pihak lain. saya enggak mikir untung atau rugi kalau saya menggelontorkan ide, waktu dan energi bagi mereka...bagi saya kalau "tilam" itu gak jadi diangkat ya udah ndak apa-apa...ndak usah mikir ruginya...toh hari-hari juga gitu....

jadi, tulus is nothing to lose bukan cuman perkara ngerehreh ati saya aja, tapi ngentengke dalan saya juga hehehehehehe....






Yohana Defrita Rufikasari
awal juni 2013