Rabu, 20 Maret 2013

oret-oretan dari Lukas 19:28-38....

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

            Seorang mahasiswa doktoral dihubungi oleh seorang profesor yang sedang berada di Afrika Selatan untuk diminta menghadiri kuliahnya di Amerika nanti. Mahasiswa ini menganggap bahwa si profesor salah orang atau hanya basa-basi saja. Ternyata si profesor tidak salah orang dan tidak sedang basa-basi, ia serius menginginkan si mahasiswa mengahdiri kuliahnya sekalipun si mahasiswa tidak terdaftar di kelasnya. Mendengar hal ini si mahasiswa merasa senang dan merasa terhormat karena ia yang biasa-biasa saja, tidak menonjol secara akademis dipercaya untuk terlibat di dalam kuliah si profesor dengan undangan dan ijin khusus dari si profesor. Di balik rasa senangnya itu, si mahasiswa tahu bahwa ia harus mempersiapkan dirinya demi memikul kepercayaan besar ini. Maka mulailah ia bersiap membaca banyak buku dan terlibat aktif dalam diskusi-diskusi di kelas sehingga si profesor merasa tidak salah mengundang si mahasiswa ini bergabung dalam kelasnya.

            Kisah tadi adalah kisah nyata yang dialami oleh salah seorang rekan saya. Betapa dia sangat senang dan menjadi sebuah kehormatan baginya maka ia serius mempersiapkan dirinya untuk bergabung dalam kelas yang diampu oleh si profesor. Kalau teman lain masih punya waktu untuk jalan-jalan dan shoping, maka dia menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku guna mendukung diskusi di kelas profesor tadi. Ketika saya mendengar ceritanya, saya membayangkan begini: Itu baru profesor yang memberikan kepercayaan kepada teman saya untuk bergabung di dalam kelasnya. Walaupun teman saya ini tergolong biasa-biasa saja. Ini baru profesor, bagaimana kalau Tuhan yang memberikan kepercayaan kepada teman saya atau saya untuk bergabung dalam proyekNya?

Madeleine L’engle camp adalah seorang penulis berkebangsaan Amerika yang wafat pada tanggal 6 September 2007 pernah mengatakan, “The important things is that creation is God’s and that we are part of it. And being part of creation is for us to be co-creators with Him in the continuing joy of new creation.” Artinya adalah hal yang terpenting dari penciptaan adalah Allah yang mencipta dan kita adalah bagian di dalamnya. Dan menjadi bagian di dalam penciptaan itulah kita dipanggil sebagai partner-rekan Allah yang bersama-sama denganNya melanjutkan karyaNya. Apa yang diungkapkan oleh Madeleine ini tepat diletakkan dalam pehaman bahwa sejak semula Allah menciptakan alam semesta ini, Ia sudah menjadikan saya dan Anda rekan sekerja-Nya.

Alkitab menyaksikan bahwa Allah tidak pernah berhenti bekerja dari masa dunia diciptakan sampai detik ini Allah terus berkarya. Allah yang terus berkaya ini berinisiatif MEMBERIKAN KEPERCAYAAN DAN KESEMPATAN bagi manusia untuk terlibat dalam karya-Nya, dalam proyek-Nya, dalam rencana-Nya. Kalau Allah mau melibatkan saya dan Anda ini bukan berarti bahwa Allah tidak mampu, namun sebaliknya dari sudut pandang manusia inilah kehormatan yang diberikan Allah kepada manusia. Menjadi partner seorang profesor saja sudah WOW…apalagi menjadi partner Allah…lebih WOW lagi! Inilah yang akan kita ulik lebih dalam lagi persoalah menjadi partner Allah, menjadi rekan Allah dalam proyek-Nya….

Bicara soal menjadi partner Allah, maka Injil Lukas 19:28-38 ini menarik untuk disimak sebab biasanya teks ini hanya dipandang sebagai “pintu masuk” dari masa-masa sengsara yang akan Yesus alami di Yerusalem nantinya dan memuncak pada peristiwa penyaliban. Sekarang kita akan melihat teks Injil Lukas 19:28-38 ini dari sudut pandang narasinya.

Setelah menyampaikan beberapa perumpaan, Yesus berjalan di depan murid-murid yang mengikuti-Nya. Seting lokasinya adalah di dekat kampung Beftage yaitu sebuah kampung atau desa dekat Bukit Zaitun tetapi masih merupakan bagian kota Yerusalem, bagian terluar barangkali lebih tepat disebut demikian. Dan di dekat Betania yang berada 3 km di sebelah timur Yerusalem. Kalau Yesus mengatakan, “pergilah ke kampung di dekatmu” maka pilihannya ada dua, yaitu di kampung Beftage atau kampung Betania. Ada yang sepakat bahwa kampung yang dimaksud adalah kampung Beftage namun ada pula yang sepakat menafsirkan bahwa kampung yang dimaksud adalah kampung Betania mengingat Yesus sering ke sana. Namun, ini bukan persoalan yang signifikan untuk menentukan kampung manakah yang dimaksudkan.

Kemudian, mari kita amati perintah Yesus kepada dua orang muridNya, “pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan mendapati seekor keledai tertambat yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah kemari. Dan jika ada orang bertanya kepadamu, mengapa kamu melepaskannya? Jawablah begini: Tuhan memerlukannya.” Dan kemudian dilanjutkan dengan kisah mereka atau banyak orang menghamparkan pakaiannya di jalan. Bagian ini menarik, karena:

-     Yesus merencanakan untuk membuat aksi dramatis yang tidak mungkin keliru ditafsirkan orang bahwa itulah sebenarnya klaimNya sebagai Mesias Raja yang diurapi Tuhan. Yesus menunggang keledai persis seperti yang dinubuatkan Zakharia dalam Zakharia 9:9. Sehingga jelas mereka tidak salah menafsirkan bahwa kedatangan Yesus dengan menunggang keledai adalah pemenuhan nubuatan Zakharia akan kehadiran Mesias yang lama dinantikan itu.

-     Aksi dramatis ini sesungguhnya bukan hanya pemenuhan nubuatan Zakharia namun juga aksi yang terbilang nekat. Sebab pada waktu itu sudah ditentukan oleh imam-iman dan orang-orang Farisi bagi siapapun yang mengetahui keberadaan Yesus harus segera melapor kepada mereka sehingga mereka segera menangkap Yesus. Bukannya bersembunyi, Yesus justru terang-terangan memasuki Yerusalem dengan cara sangat dramatis menunggang keledai muda. Jika Yesus masuk Yerusalem melalui Bait Allah ini berarti orang-orang berkerumun menyambutnya sepanjang lebih dari 1,5 km. Orang-orang ini agaknya ada di pelataran Bait Allah dan melihat Yesus menuruni Bukit Zaitun, menyeberangi Lembah Kidron, dan menyusuri jalan menuji gerbang Bait Allah.

-     Keledai di Palestina bukanlah binatang rendah. Sebab dalam masa perang sajalah seorang Raja diperkenankan menunggang kuda, dalam masa damai atau tiada perang, Raja pun wajib menunggang keledai. Maka dalam dunia Perjanjian Lama, keledai dikaitkan dengan simbol perdamaian. Selain itu keledai ini binatang yang sanggup membawa beban berat, sanggup berjalan sejauh 30 km sehari, dan mudah dijinakan. Pendek kata, keledai ini binatang yang multifungsi dan sangat berguna bagi kehidupan masyarakat Palestina saat itu. Sehingga pemilihan Yesus terhadap keledai bukan dalam konotasi rendah namun menyampaikan pesan bahwa kedatanganNya sebagai Raja Damai bukan sebagai sosok militer yang akan menaklukan dan menguasai.

-     Mengapa dipilih keledai yang belum pernah ditunggangi? Apa tidak sulit mengontrolnya? Dalam tradisi rabi[1] : tidak seorangpun diperkenankan mengendarai keledai atau hewan apapun yang sudah “dikhususkan” untuk raja. Selain itu Ulangan 21:3 mengungkapkan bahwa hewan yang belum pernah ditunggangi adalah hewan yang dikhususkan untuk persembahan bagi Tuhan. Maka keledai muda yang belum pernah ditunggangi dan orang pertama yang menungganginya adalah Yesus menunjukkan posisiNya sebagai RAJA dan menunjukkan bahwa keledai muda itu adalah PERSEMBAHAN KEPADA TUHAN. Lalu apa tidak sulit mengontrolnya? Beberapa penafsir mengatakan bahwa justru di situlah letak Keilahian Yesus yang mengatasi segala ciptaan sehingga keledai muda yang belum pernah ditunggangi inipun dapat patuh dan tidak memberontak.

-     Menghamparkan pakaian di jalan adalah cara penyambutan terhadap orang terpandang yang memasuki kota (2 Raja-raja 9:13). Para pegawai itu mengadakan upacara pemahkotaan raja dengan cara membentangkan pakaian mereka di tempat raja melangkah. Kemudian mereka mengakhiri upacara itu dengan meniup sangkakala dan seruan kebahagiaan sekaligus doa terhadap raja yang dimahkotai itu. Dengan demikian jelas udah aksi dramatis ini tidak salah lagi ditafsirkan orang sebagai momen penyataan diri Yesus sebagai Raja Damai, sebagai Raja yang diurapi Tuhan.

Point lain yang menarik adalah kalimat “Tuhan memerlukannya”. Dalam sebuah ibadah pemakaman yang pernah saya hadiri, saya terkesima ketika seorang hamba Tuhan menyampaikan kotbah dari Lukas 19:31. Yang membuat saya terkesima adalah baru kali ini ibadah pemakaman menggunakan kisah keledai sebagai kotbah penguatannya. Dan saya menantikan apa hubungannya antara almarhumah dengan keledai itu? Rupa-rupanya hamba Tuhan ini mengajak saya dan semua yang hadir dalam ibadah pemakaman itu untuk merenungkan bahwa TUHAN MEMERLUKAN ANAK INI, maka Ia memanggil anak ini kembali. Sangat indah pesannya!

            Maka ketika menyiapkan bahan ini, segenap pikiran dan hati saya terpancang pada kalimat sederhana ini “Tuhan memerlukannya”. Kalimat yang bagi sebagian penafsir ditafsirkan sebagai “pasword” atau kode dari Yesus kepada tuan si empunya keledai. Tafsiran ini mengandaikan bahwa sebelumnya Yesus sudah menemui orang tersebut dan mengadakan perjanjian bahwa Ia akan mengutus dua orang murid untuk mengambil keledainya dengan kode kalimat tersebut. Sekalipun, tafsiran ini masih perlu dipertanyakan keabsahannya. Tafsiran yang lain mengungkapkan bahwa dengan kalimat itu, maka si empunya keledai sudah mengerti maksudnya yaitu keledai satu-satunya yang ia punya diminta oleh Tuhan sebagai persembahan kepadaNya. Tafsiran ini agaknya dipengaruhi tradisi rabinik dan Ulangan 21:3.

            Namun bagi saya, kalimat ini menyatakan sebuah kenyataan bahwa TUHAN MEMBERIKAN KEPADA MANUSIA KEHORMATAN UNTUK TERLIBAT DALAM RENCANA-NYA, PROYEK-NYA, KARYA-NYA. Maka kalimat “Tuhan memerlukannya” itu mengundang saya dan Anda untuk melepaskan segala yang kita punya kepada tangan Tuhan termasuk kehidupan kita untuk dipakai-Nya. Ini adalah testimoni paling otentik akan kedaulatan Allah di dalam hidup kita. Persoalannya adalah, apakah saya dan Anda menganggap serius kehormatan untuk menjadi bagian dalam rencana Allah ini atau berpikiran bahwa mungkin Allah salah orang atau basa-basi semata?

Ketika Tuhan mengundang kita untuk terlibat dalam rencanaNya, dalam proyekNya, hal pertama yang mesti kita sadari ialah bahwa kita itu dipandang dan dinilai sangat penting dan istimewa oleh Tuhan. Kita semua mempunyai nilai khusus di hadapan Tuhan dan itulah sebabnya Dia memanggil kita satu-persatu untuk menjadi rekan sekerjaNya. Ingat, keledai pun dipanggilNya untuk terlibat dalam proyek-Nya memasuki kota Yerusalem dengan sangat agung dan semarak. Celakanya, penilaian Tuhan yang sangat positif tentang diri kita sering sangat bertentangan dengan penilaian kita terhadap diri kita sendiri. Kita sering menilai diri kita tidak layak paling tidak dalam dua hal:

·      Pertama, sering kita menganggap diri tidak layak untuk melayani pekerjaan Tuhan dan tidak layak menjadi partner Tuhan karena kita terlalu kotor dan berdosa.

Kalau setiap orang mempunyai penilaian seperti ini maka tidak ada seorang pun di dunia ini yang layak menjadi partner Tuhan bekerja di ladangNya, maka tidak ada seorangpun yang dapat terlibat dalam rencanaNya. Paulus yang pernah menjadi penganiaya orang Kristen tentu tidak akan layak menjadi rasul Tuhan. Matius yang kerjanya memungut cukai dan menindas umat Israel pasti tidak layak menjadi partner Tuhan. Kalau setiap orang berpikiran seperti di atas ini maka tidak ada seorang pun di dunia ini yang layak menjadi majelis, komisi apalagi pendeta karena kita semua adalah makhluk berdosa. Memang, untuk menjadi partner Tuhan dalam pelayananNya dibutuhkan orang yang "bersih." Namun demikian, kita bersih bukan oleh kemampuan dan kesalehan diri sendiri, tetapi "bersih" oleh karena anugerah Tuhan. Kita semua berdosa, tetapi kita semua dibersihkan dan ditebus oleh Tuhan agar layak untuk melayani bersama-sama dengan Dia. Kita semua berdosa, tetapi Tuhan bilang: "Aku tetap membutuhkan engkau dan engkau tetap berharga di mataKu." Tuhan memerlukan kita!

·      Kedua, sering kita menganggap diri tidak layak dalam pekerjaan Tuhan karena kita terlalu bodoh dan tidak tahu apa-apa serta tidak punya apa-apa.

Kalau pikiran seperti ini diterima maka murid-murid Tuhan yang tidak kenal bangku sekolah dan tahunya cuma menangkap ikan tidak akan mungkin dipilih oleh Tuhan untuk menjadi partnerNya, untuk terlibat dalam rencanaNya. Tentu saja Musa yang gagap dan penakut tidak akan dipilih oleh Tuhan untuk menjadi partnerNya dalam impossible mission pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Tentu saja Amos yang kerjanya cuma penggembala tidak akan dipilih untuk menjadi nabi Tuhan untuk menentang ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa Israel. Dan kalau kita berpikir tidak punya apa-apa, ingat kisah Rahab yang memberikan sebuah sudut di atap rumahnya sebagai tempat persembunyian para pengintai. Ingat Daud muda yang tahunya hanya menggembala domba dan hanya punya katapel. Ingat seorang janda di Sarfat yang hanya punya sedikit minyak dan itu minyak terakhir yang ia pakai untuk membuat hidangan. Ingat seorang janda miskin yang memberikan seluruh harta yang ia punya sebagai persembahan. Ingat, seorang anak yang memberikan bekal makan siangnya, 5 roti dan 2 ikan kepada Yesus. Mereka adalah orang-orang yang hanya punya barang-barang yang barangkali tidak berharga, tidak terlalu penting, tidak banyak namun mereka telah menjadi orang-orang yang terlibat dalam rencana Allah di muka bumi. Bila kita merasa bahwa kita tidak tahu apapun maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah meminta kebijaksanaan dan pengetahuan dari Allah. Salomo yang merasa tidak tahu apa pun meminta kepada Allah agar memberikan kepadanya kebijaksanaan. Apa itu kebijaksanaan ? Dalam tradisi Israel pengertian ini memiliki makna yang sangat sederhana tetapi dalam, yakni, kemampuan untuk mau belajar dari pengalaman kita, baik kegagalan maupun keberhasilan, sehari-hari. Allah akan membuka pemikiran kita dan memberikan kepada kita kebijaksanaan untuk terus belajar, berkembang dan bekerja sesuai dengan kehendakNya.

Merasa tidak mampu dan tidak layak dan oleh karena itu mau belajar agar berkembang dan menjadi dewasa adalah sikap yang masih jauh lebih baik daripada merasa sudah mampu dan merasa sudah layak. Orang dengan tipe terakhir seperti ini biasanya lebih suka mengajar daripada belajar; lebih suka berbicara daripada mendengar; lebih suka memerintah daripada melayani.

Menjadi orang-orang yang diundang, dipanggil untuk terlibat dalam rencana Allah berarti menjadi orang-orang yang siap sedia memberikan yang terbaik sebab TUHAN MEMERLUKANNYA itu artinya kita juga siap: KELUAR DARI ZONA NYAMAN kita, sebab:

§  Rencana Allah seringkali berbeda dari yang kita harapkan dan mohonkan kepadaNya. Kita punya rencana atau grand design yang luar biasa indah namun ada satu moment di mana TUHAN MEMERLUKAN GRAND DESIGN KITA dan MENGGANTINYA DENGAN GRAND DESIGN-NYA… bagaimana perasaan kita? (maybe you can tell a lil’bit a story of your own). Jika TUHAN MEMERLUKANNYA, maka berikanlah…GRAND DESIGN-NYA selalu melibatkan kita!

§  Rencana Allah atau proyek Allah bagi kehidupan sesama kita atau di luar kita itu selalu menuntut pengorbanan. Tidak ada ceritanya dengan duduk ongkang-ongkang kaki, maka sesama kita yang menderita dapat merasakan kasih Allah melalui kehadiran. Mission Impossible, karena kita hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Pengorbanan yang dilakukan bukan hanya perkara berkorban waktu, berkorban tenaga, pikiran, materi, tetapi seluruh keberadaan diri kita termasuk siap berjongkok di bawah kaki orang lain dan membasuh kakinya. Seluruhnya. Ingat, tuan si empunya keledai, memberikan keledai yang ia punya kepada Yesus. Tanpa ada perdebatan. Tanpa ada hitung-hitungan untung rugi.

Almarhum Bunda Teresa pernah berkata demikian, “Tuhan tak memintamu untuk sukses. Ia memintamu untuk setia. Dan saya hanyalah sebuah pensil kecil di tangan-Nya.”  Kita hanyalah pensil kecil di tangan Tuhan maka, jika mau meruncingkan kita, relakanlah. Semata-mata agar kita lebih terlibat dalam rencana-Nya….Lalu bagaimana dengan kita selama ini?Sudahkah kita benar-benar menyediakan diri untuk terlibat di dalam rencana Allah? Amin….

 

 

 



[1] Green, Luke p.685 fn.9, mentions catchpole, “Triumphal Entry” in Jesus and The Politics of His Day, edited by Ernst Bammel and C.F.D. Moule (Cambridge University,1984)p.324,whocites sanh 2.5

the long way to go.....

Jalan_yang_panjang_untuk_bertumbuh

 

for my bestfriend: Wahyu Esti Rahayu, Arivia Novia Susanti, Yobelia Karmila Nova Bili, and Ayub Sekti...guysssssss.....this is the long way to go....ya, the start is here :)

and i wash you....

Iwashyouniuw

a little "indelible" note.....

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

We have taller buildings, but shorter tempers,

Wider freeways, but narrower viewpoints.

We spend more but enjoy it less,

We have bigger houses, and smaller families.

More conveniences, yet less time.

We have more degress, but less sense,

More knowledge, yet more problems.

We have more gadgets, but less satisfaction.

More medicine, yet less wellness.

We take more vitamins, but see fewer results.

We drink too much, smoke too much,

Spend too recklessly, laugh too little,

Drive too fast, get too angry,

Stay up too late, get up too tired,

Read too seldom, watch tv too much,

And take a deep breath too seldom…

We have multiplied our possesions, but reduced our values.

We fly in faster, planes arrive there quicker to do less and return sooner.

We sign in more contract only to realize fewer profits.

We talk too much, love too seldom, and lie to often.

We’ve learned how to make a living, not a life.

We’ve added years to life, not life to years.

We’ve been all the way to moon and back, but have trouble crossing the street to meet the new neighbor.

We’ve conquered outer space, not inner space.

We’ve done larger thing, but not the better thing.

We’ve cleaned up the air, but polluted the soul.

We’ve split the atom, not our prejudice.

We write more, learn less, plan more, but accomplish less.

We make faster planes, but longer lines.

We learned to rush but not to wait.

We have more weapons, but less peace.

Higher incomes, but lower morals,

More parties, but less fun,

More food, but less appeasement,

More acquaintances, but fewer friends,

More efforts but less success.

We built more computers to hold more information,

To produce more copiers than ever,

But have less communication…

Drive smaller cars that have bigger problems.

Build large factories that produce less.

We’ve become long in quantity, short in quality.

Steep in profits, but shallow relationships.

There are times of world peace but domestic warfare.

More leissure and less fun,

Higher postage but slower mail,

More kinds of food, but less nutrition.

These are the days of two incomes, but more divorces.

There are quick trips, disposable diapers,

Catridge living, throwaway morality,

One night stands, overweight bodies and pills that do everything from cheer to prevent quiet or kill…

It’s time when there’s much in the show window, and nothing in the stock room…

 

-Bob Moorehead-

 

the article left an indelible impression on my mind to think again, feel again the inner space in me…

 

 

 

 

 

Yohana Defrita Rufikasari

TARIAN SUNYI-

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

 

          “Biarlah dewa-dewa menjadi saksi kemenanganmu. Inilah putriku Sinta, cintailah dia lebih dari hidupmu sendiri. Semoga ia menjadi kekasih yang setia. Jadikanlah ia teman dalam setiap perjalanan hidupmu. Bahagiakanlah putriku ini, dalam kesenangan maupun penderitaan. Satria, terimalah anakku,” kata Prabu Janaka. Dewi Sinta memandang Rama dengan mata yang menahan air mata. Hatinya merasakan suatu sentuhan tiada tara. Berdiri di hadapan Rama, ia merasa laksana menyelam ke dalam arus kehidupan yang luas. Rama membalas pandangannya dan bertemulah hati yang telah dipersatukan dengan cinta.

          Begitulah Romo Sindhunata menceritakan awal mula pertemuan Rama dan Sinta dalam buku Anak Bajang Menggiring Angin. Kisah Ramayana yang selalu diidentikkan dengan keagungan dan kesetiaan cinta, pengorbanan dan penemuan diri ini adalah kisah yang garis besarnya kita masih ingat dengan baik. Walaupun saya tidak terlalu yakin generasi yang lebih muda dari saya tahu siapa itu Rama dan Sinta. Paling banter disamakan dengan Romeo dan Juliet van Java. Agak miris memang melihat kenyataan bahwa tidak banyak orang khususnya anak muda yang menaruh perhatian kepada kisah-kisah klasik semacam ini. Sekalipun untuk menikmatinya tidaklah sulit, sebab kisah Ramayana ini “cair” artinya ia sudah banyak dipentaskan, dilukiskan, dituliskan dan ditafsirkan ulang. Namun diantara banyaknya varian itu, saya masih angkat topi kepada kelompok-kelompok yang memang menjaga pakem kisah Ramayana. Mereka bagaikan garda terdepan pertahanan Ramayana dari gilasan jaman.

          Hari Jumat saya dikabari oleh keponakan saya Andreas Notokusumo bahwa nanti malam jam 18.00 ada Sendratari Ramayana di Gedung Adipura Wonosobo. Bagi saya ini menarik. Ada beberapa hal yang menarik:

·         Di kota saya ini jarang ada hiburan yang benar-benar menghibur. Paling sering ya dangdutan atau campursarian yang digelar di alun-alun kota. Sama sekali tidak bermaksud mengecilkan varian hiburan tadi namun yang menyuguhkan hiburan klasik itu jarang sekali. Bagi saya hiburan klasik itu perlu supaya makin banyak orang menghargai kekayaan tradisi bangsa sendiri dan kemudian mencintainya sepenuh hati.

·         Saya sudah beberapa kali menyaksikan Sendratari Ramayana selama saya di Yogyakarta, maka saya ingin menyaksikan Sendratari Ramayana dari Wonosobo.

·         Para pemain Sendratari Ramayana ini biasanya adalah para penari klasik Jawa yang usianya di atas 40 tahunan. Namun kali ini yang menarik adalah para pemain Sendratari Ramayana adalah teman-teman difabel dari sekolah Dena Upakara Wonosobo. Mereka usia TK sampai SMP berperan serta dalam pementasan kali ini.

Sendratari Ramayana ini diletakkan sebagai acara pamungkas dalam rangkaian acara Dies Natalis ke-75 Dena Upakara Wonosobo. Tepat jam 18.30 acara dibuka oleh teman-teman dari UNSIQ Wonosobo yang membawaka shalawatan. Kemudian disusul dengan drama singkat dari sebuah komunitas di Wonosobo. Pada bagian ini sudah terlihat dengan jelas ekspresi tidak sabara dari para penonton untuk menyaksikan “menu utama” malam ini. Akhirnya yang ditunggu dengan sepenuh hati muncul juga.Sebuah tarian pembukaan yang bagi saya sangat agung dan mendebarkan dibawakan oleh teman-teman difabel dari Don Bosco Wonosobo. Dua orang dari mereka membawa tongkat a la mayoret namun bedanya di masing-masing ujung tongkat itu ada api yang berkobar-kobar. Sedangkan sisanya membawa lilin di sebuah piring kecil di tangan kanan dan kiri. Mereka menari dengan sangat indah sekalipun tidak seorang pun dari mereka mendengarkan irama pengiring tarian mereka. Mereka menari dalam kesunyian. Namun kesunyian mereka justru menyajikan sesuatu yang agung dan menggetarkan hati.

     Kalau selama ini setiap menyaksikan Sendratari Ramayana suasanya cenderung serius dan khidmat maka kali ini sepanjang Sendratari Ramayana Dena Upakara saya tertawa terbahak-bahak. Betapa tidak, para penari pria dari Don Bosco ini kemudian membentuk lingkaran a la penari kecak dari Bali sambil diiringi dentuman musik salah satu boyband Korea. Wow dong!!! Baru kali ini sebuah Sendratari Ramayana dikawinkan dengan dentuman irama pop boyband Korea. Memang pada akhirnya kembali pada selera masing-masing. Tetapi bagi saya, ya saya menghargai usaha perkawinan sendratari dengan irama pop boyband Korea-sesuatu yang tidak pernah terpikirkan. Namun suasana atau aura agung yang menggetarkan itu akhirnya lenyap. Sungguh kalau ada kesempatan ingin saya matikan saja lagu boyband itu dan menggantinya dengan gending yang bening dan anggun itu. Hahaha…

     Ya, dan inilah sajian utamanya, mungkin benar bahwa “anggur terbaik itu di simpan sampai akhir”. Para pengrawit mulai memainkan gendingnya, dan dua orang teman dari Dena Upakara sudah berada di posisi masing-masing berhadapan. Yang satu berperan sebagai Rama yang satu berperan sebagai Sinta. Kita segera memasuki babak pertama.

     Pada babak pertama ini Rama dan Sinta sedang berkelana di hutan ditemani oleh Lesmana (ada pula yang menyebutnya Laksmana), adik Rama. Kisah ini adalah lanjutan dari kisah sebelumnya yaitu perginya Rama dan Sinta serta Lesmana ke hutan akibat permohonan Dewi Kekayi kepada Prabu Dasarata suaminya (ayah Rama dan Lesmana). Dewi Kekayi memohon agar Rama diusir ke hutan dan anaknya Barata dinobatkan sebagai Raja Ayodya. Malang betul, Prabu Dasarata sudah terlanjur bersumpah akan melakukan apapun permohonan Dewi Kekayi. Maka berangkatlah Rama dan Sinta ke hutan setelah memohon restu dari Dewi Sukasalya ibunda Rama. Diikuti oleh adiknya Lesmana yang setia yang mengiringi Rama dan Sinta ke hutan setelah ia memohon restu ibunya Dewi Sumitra.

     Di dalam hutan itulah sewaktu Rama dan Sinta memadu kasih, datanglah seekor kijang kencana yang merupakan penjelmaan dari Kalamarica utusan Rahwana. Sinta sangat tergoda pada kijang kencana itu dan memohon kepada Rama supaya ia menangkapnya. Rama pun mengabulkan permohonan Sinta dan ia pergi mengejar kijang tersebut. Rama berpesan kepada Lesmana untuk menjaga Sinta. Sudah lama Sinta menunggu, Rama tidak kunjung tiba. Maka disuruhnya Lesmana untuk menyusul Rama. Lesmana pun pergi. Tak lupa ia memberi batas pagar yang tak tampak agar Sinta tetap aman. Sinta pun tidak diperbolehkan keluar dari pagar itu.

     Dari jauh Rahwana melihat Sinta sendirian di tengah hutan. Maka datanglah ia ke tempat Sinta. Rahwana hendak membawa kabur Sinta yang berada dalam pagar. Rahwana tidak dapat meraihnya. Maka ia mencari cara untuk dapat menangkap Sinta. Ia mengubah dirinya dan menjelma menjadi kakek tua yang miskin. Kakek tua itu segera mendekati Sinta untuk meminta sesuatu darinya. Sinta pun mengulurkan tangannya keluar dari pagar buatan Lesmana. Maka kakek tua itu segera menyambar tangan Sinta dan membawanya kabur.

     Pada bagian babak I ini para pemain sangat lemah gemulai menarikan bagiannya masing-masing sekalipun mereka masih muda belia dan perempuan semua. Makeup yang mereka gunakan juga sangat mendukung karakter yang sedang mereka perankan. Juga kostum yang sangat apik mendukung pementasan babak I ini.  Pada babak II, Rama dan Lesmana masih mengejar kijang. Setelah kijang berhasil dipanah oleh Lesmana, tiba-tiba kijang itu berubah menjadi Kalamarica. Maka terjadi pertempuran antara Kalamarica dengan Lesmana. Kalamarica kalah. Yang menarik adalah, sekalipun sunyi mereka dengar, namun mereka bermain dengan sangat profesional. Contohnya, jika aksesoris mereka jatuh, mereka akan tetap bermain sampai tuntas tanpa menghiraukan hal-hal semacam itu. Nampak betul mereka semua menyadari peran mereka sebagai penyampai cerita yang total.

     Pada babak III, Rahwana yang membawa kabur Sinta bertemu dengan Jatayu seekor burung garuda. Jatayu ingin merebut Sinta dan membawanya kembali kepada Rama namun Jatayu kalah perang melawan Rahwana. Dalam keadaan sekarat, Jatayu bertemu Rama dan Lesmana. Rama dan Lesmana berdoa untuk kedamaian jiwa Jatayu. Gending yang dimainkan sangat menyayat hati. Sehingga lengkap sudah suasana pelepasan jiwa Jatayu ke alam baka. Kemudian, singkat cerita, pada babak IV, Rama memanggil Hanoman, Anggada dan Sugriwa dan menceritakan tentang hilangnya Sinta, istrinya. Rama mengutus Hanoman untuk menemui Sinta dan diberi cicin sebagai bukti utusannya. Anggada iri hati atas kepercayaan Rama kepada Hanoman. Maka terjadilah perang saudara antara Anggada versus Hanoman yang kemudian dilerai oleh Sugriwa. Cerita pun makin dipersingkat dengan kehadiran pasukan kera yang membuat tambak atau jembatan untuk Rama dan Lesmana sehingga dapat mencapai Alengka.

     Yang berperan sebagai pasukan kera adalah teman-teman Dena Upakara yang masih TK dan SD. Tingkah polah mereka sangat lucu dan enerjik. Salto ke sana ke mari dan sangat menjiwai peran mereka sebagai pasukan kera. Patut diacungi dua jempol untuk penghayatan peran mereka.

     Mendekati akhir, di taman sari kerajaan Alengka Sinta ditemani oleh Trijatha saudara Rahwana dan para putri kerajaan Alengka. Trijatha jauh berbeda dengan Rahwana. Ia baik dan bersahabat dengan Dewi Sinta. Sewaktu Sinta bersama dengan Trijatha dan para putri yang sungguh indah dan anggun tariannya datanglah Rahwana ingin mendekati Sinta namun dihalau oleh Trijatha. Rahwana marah dan pergi meninggalkan taman. Kemudian datanglah Hanoman ke dalam taman. Hanoman menyampaikan cincin itu kepada Sinta. Kedatangan Hanoman diketahui oleh Indrajit anak Rahwana. Mereka bertempur dan sebagai hukumannya Hanoman dibakar hidup-hidup namun Hanoman dapat membebaskan diri dan justru membakar Alengka. Pada bagian ini diputarkan lagu Anoman Kobong. Pas betul hentakan dan suasananya!

     Pada bagian akhir Sendratari Ramayana, Hanoman bertemu dengan Rahwana dan mereka bertempur. Rahwana berhasil dikalahkan oleh Hanoman. Hanoman menimpakan gunung kepada Rahwana sampai ia mati. Sinta pun berhasil keluar dan kembali kepada Rama. Namun Rama tidak langsung menerima Sinta karena meragikan kesucian Sinta setelah lama berpisah (duh, kok ya ada satria berpikiran cupet seperti ini-komentar saya). Sinta harus membuktikan kesuciannya dengan dibakar, tetapi api padam dengan sendirinya. Sinta tidak mati. Kesucian Sinta terbukti. Rama akhirnya menerima Sinta dan menjadi pasangan saling mencinta.

     Keseluruhan pagelaran Sendratari Ramayana Dena Upakara dengan lakon “Brubuh Alengka” ini menarik, mengundang gelak tawa karena di sela-selanya ada kehadiran ponakawan yang saya tidak tahu menahu apa kaitannya dengan pakem cerita Ramayana pada umumnya. Kepolosan, keceriaan dan kesungguhan hati para pemain memerankan perannya masing-masing sangat menggugah hati. Justru dalam keterbatasan, mereka menyajikan sesuatu yang indah, agung, memenuhi hati dan jiwa.

     Sempat saya dengar pembicaraan ibu-ibu di depan saya, bahwa mereka belajar menari bukan dengan mendengarkan irama gending seperti pada umumnya. Karena keterbatasan mereka dalam mendengar dan bicara maka mereka belajar menari lewat hitungan dan olah rasa. Hitungan dalam bentuk ketukan yang dikomando oleh guru tari mereka di depan panggung, persis seperti ketika menyaksikan opera dimana ada ruang kecil di depan para pemain tempat pembaca naskah bersembunyi dan mendiktekan kata-kata yang mungkin terlupakan atau terlewatkan oleh aktor atau aktris. Tetapi jangan kira teman-teman Dena Upakara ini hanya terpancang pada kode dan hitungan semata namun terlebih dari itu semua, mereka mengolah rasa sehingga sudah tahu kapan harus menari dengan gerakan tangan yang halus, kapan harus menendag selendang dengan halus namun tegas. Ah, sungguh indah menyaksikan mereka menari dalam kesunyian. Sunyi karena irama gending dan riuh rendah suara penonton tak dapat mereka dengarkan. Seolah-olah saat itu hanya ada mereka dan tarian yang menjadi satu kesatuan. Sungguh agung!

     Pagelaran satu jam setengah itu pun usai, namun pesan terakhir dari pembawa acara menghentikan langkah saya. “Bapak, ibu, saudara, saudari, kami tidak minta dikasihani, tapi perlakukanlah kami selayaknya Anda memperlakukan orang lain.” Indah, betul nasehatnya…semoga tidak hanya terkenang namun diperbuat…. Terimakasih teman-teman Dena Upakara, Don Bosco, UNSIQ, teman-teman Gusdurian, terus berkarya untuk Indonesia!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wonosobo, Maret 2013

Y. Defrita R.