Selasa, 18 Desember 2012

talk to my self

Di sela-sela suara hujan

di antara tampiasnya...

aku kembali melihat wajah ini...

wajah jiwaku....

angin yang menderu deru lewat daun jendela

gelombang dingin yang menyeruak mengisi segala arah

di sini aku duduk bersama diriku, lagi.

mudah bagiku kehilangan diriku.

tercecer di antara banyaknya urusan...

tertinggal di atas meja kerja...

terselip di tumpukan tugas...

terbengkalai di puing-puing kesibukan...

teronggok di belakang pemikiran-pemikiran

tanpamu yang tersecer, tertinggal, terselip, terbengkalai  dan teronggok...

hidupku otomatis

hidupku monokromatis....

sudah lama aku mencarimu...

sudah lama aku merindukanmu...

wahai diriku yang  tercecer, tertinggal, terselip, terbengkalai dan teronggok

sudah begitu lama aku tidak menyapamu...

sudah teramat lama aku tidak mendengarkan suaramu...

mari berbincang...

biar hujan juga mendegarkan...

mari bernyanyi...

biar angin ikut mendesau...

mari...

mari jiwaku...

mari diriku...

 

 

 

 

 

 

 

Y. Defrita R.

Wonosobo, 18 Desember 2012

*tulisan ini dibuat karena beberapa waktu yang lalu, cukup lama agaknya saya merasa ada yang terampas dari diri saya. rupa-rupanya saya kehilangan diri saya yang dulu akrab saya ajak bicara, diri saya yang menyempatkan waktu untuk menulis dan melukis. Dan kini kami sudah bertemu kembali....*

Thanks, Please Help, and Sorry Would Be Enough....

Saya pernah mempost "thanks would be enough" di sosmed tanggal 24 November 2012. Tangggapan dari seorang sahabat saya adalah " So pathetic to the man who thinks thanking would be too much..." Kemudian dia melanjutkan "He3.. please dont be mistaken... I mean that there are some people so hard to give thank.. Thanking would be too much to give.." Apa yang diucapkan oleh sahabat saya ini memang benar adanya. Beberapa waktu lalu saya mengalami sendiri bertemu dengan orang-orang yang "thanking would be too much to give". Agak tidak percaya memang, namun setelah bertemu dengan orang-orang seperti ini saya berasa bertemu dengan anak-anak playgroup yang baru belajar "how to say thank you". Jadi untuk bilang "thank you", "Matur nuwun", "Terimakasih" itu masih diajari. Miris memang....

Suatu kali saya mengikuti ceramah yang diadakan John Robert Powers, dalam salah satu sesinya dibahas tentang kata-kata ajaib atau Three Magic Words yaitu "Please help" , "Thank you" dan "Sorry". Tiga kata ajaib yang nampaknya sederhana namun absen dilakukan. Si pembicara menceritakan pengalamannya menguji dampak salah dua kata itu dalam diri anaknya yang masih SD. Suatu pagi si pembicara berkata, "Ambilin sepatu mama yang warna merah." Si anak menatap agak lama pada mamanya lalu memberikan sepatu itu. Keesokan harinya hal yang sama diulangi lagi. Lama-lama kelamaan si anak meletakkan sepatu mamanya dengan agak setengah dibanting. Seminggu kemudian, si pembicara meminta si anak mengambilkan sepatunya, "Nak, mama minta tolong ambilkan sepatu mama ya." setelah sepatu datang, si pembicara berkata, "Terimakasih". Si anak tidak lagi membanting sepatu mamanya. Namun dia tersenyum dan berkata "terimakasih kembali ma."

Dari pengalamannya inilah si pembicara menyimpulkan bahwa dampak dari kata "tolong" dan "terimkasih" itu sangat positif. Namun faktanya, sedikit sekali orang yang menggunakan kata tolong untuk menyatakan permohonan bantuan, yang paling sering adalah kalimat perintah. Apalagi berterimakasih, sangat sedikit orang yang saya jumpai akhir-akhir ini berkata terimakasih kepada orang lain yang sudah menolongnya atau memberikan sesuatu. May be thanking would be too much to give...

Sekarang coba diingat-ingat apakah pernah kita mengatakan "terimakasih" kepada tukang parkir yang sudah menjaga dan menolong kita mengeluarkan kendaraan dengan aman? pernahkah kita mengatakan "terimakasih" kepada pramusaji yang sudah membawakan pesanan kita? Pernahkah kita mengatakan "terimakasih" kepada asisten rumah tangga kita yang sudah melayani semua kebutuhan kita? Pernahkah kita berkata "terimakasih" kepada loper koran yang setia mengantar koran atau majalah kesayangan kita? Pernahkah kita berkata "terimakasih" kepada Pak Polisi yang sudah menolong kita menyeberang jalan? Pernahkah kita berkata "terimakasih" kepada anak-anak kita karena kehadiran mereka mencerahkan hari-hari kita? Seberapa sering kita berkata "terimakasih" kepada pasangan kita? Dan seberapa sering kita mengatakan "tolong" kepada asisten rumah tangga kita? seberapa sering kita menggunakan kata tolong kepada rekan, anggota keluarga dan tetangga kita untuk menyatakan permohonan bantuan?

Kalau mau jujur hati nurani kita akan menjawab bahwa kita masih kayak anak playgroup yang selalu mesti diingatkan dan diajari kapan harus bilang terimakasih dan kapan harus bilang tolong.

 Ketika saya sedang makan bersama dengan teman saya di sebuah restoran jepang, kami dilayani oleh pramusaji yang cukup cekatan. Namun karena pilihan sayuran yang kami pilih sering berubah-ubah, maka dia mesti bolak balik melayani kami. Dan setiap kali itu pula saya katakan "tolong..." dan kemudian "terimakasih" sekalipun barang yang kami pesan belum datang.Dan permintaan maaf karena pesanan kami yang berubah-ubah itulah yang merepotkan si pramusaji. Dia tersenyum dan berkata bahwa itu sudah bagian dari pekerjaannya. Teman saya lama-lama menyadari kalau ternyata si pramusaji ini lebih enjoy melayani di tempat kami ketimbang melayani meja sebelah karena di meja sebelah nyaris tidak ada yang menggubris bantuannya. Semuanya kalimat perintah. Ya emang sih, pembeli adalah raja tapi si pramusaji ini juga manusia loh punya rasa juga. Dari situ sekali lagi kata "tolong dan "terimakasih" juga "Maaf" punya daya positif yang membuat orang lain dihargai dan dihormati ^^

 

Mengucapkan kata "tolong" tidak menunjukkan bahwa kita lemah....

tapi menunjukkan bahwa kita membutuhkan keberadaan orang lain untuk membuat hidup ini berjalan...

Mengucapkan kata "Maaf" bukan berarti kita pengecut dan pecundang....

tapi menunjukkan bahwa kita pribadi yang dewasa dan berani mengakui kesalahan dan berani memaafkan juga...

Mengucapkan kata "Terimakasih"  bukan berarti kita tak berdaya...

justru kita orang yang murah hati yang mampu melihat dan menghargai jerih payah orang lain...

 

 

 

 

 

Y. Defrita R.

Wonosobo, 18 Desember 2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lupa Bawa Otak....

Pagi tadi dalam perjalanan menuju suatu bank saya menjumpai sebagian besar pengendara yang lewat di hadapan saya lupa membawa otaknya. Semuanya berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan. Saya menduga mereka berpikir ini sirkuit balapan F-1 yang mengedepankan kecepatan, ketepatan dan ketangguhan berkendara. Namun ini jalan raya mas dan mbak, jadi kalau mau adu balap cepat ya silahkan berlomba di sirkuit saja yang memang diciptakan untuk itu. Kalau semangat balapan diterapkan di jalanan, alhasil kekacuan dan kecelakaan yang terjadi. Tadi pagi memang tidak terjadi kecelakaan karena rata-rata penyebrang jalan dan pengguna trotoar cukup antisipasif dalam berbagi jalan dengan para pengendara yang lupa membawa otaknya itu. Agaknya yang diutamakan adalah bisa mengendarai kendaraan dulu baru urusan sopan santun dan tata tertib berlalu lintas yang dipikirkan itupun setelah kena sanksi atau lantaran karena ada polisi. Kota tempat saya tinggal memang kota kecil, namun untuk urusan lalu lintas, bisa dibilang semrawut dan sebagian besar pengendara kendaraannya barbar. Tidak butuh waktu lama bagi saya dan mungkin bagi Anda yang baru pertama kali datang ke kota saya untuk mengamati kekacauan berlalu lintas di sini. Sampai-sampai seorang teman saya berseloroh, "Gila, ni jalanan udah kayak di India aja, ruwet, kalau punya nyawa lebih boleh deh diadu."

Ruas jalan yang tidak terlalu lebar, jumlah kendaraan bermotor yang makin banyak (mungkin karena cicilannya dan uang mukanya makin enteng), ditambah dengan fungsi lain yang harus ditanggung jalan yaitu sebagai lahan parkir dan lahan bisnis. Lahan parkirnya saja bisa memakan separoh badan jalan, sekalipun jalan yang dipakai sebagian untuk parkir itu adalah satu arah, namun volume kendaraannya kan banyak. Jadi tetap saja menambah kericuhan berkendara di jalanan. Belum lagi lahan parkir yang luas itu juga berbagi dengan para penjual mulai dari gorengan, penjual es, pulsa sampai tukang kunci ada. Tak heranlah saya kalau acara berlalu lintas menjadi kian rumit di sini.

Selain kereta besi bermesin alias mobil dan motor, kendaraan lain yang masih populer adalah dokar. Bagi teman-teman saya yang di kotanya sudah tidak ada lagi kendaraan bernama dokar, datang ke sini justru menimbulkan sensasi nostalgia dengan naik dokar kemana-mana. Selain lebih murah, naik dokar juga lebih santai. Namun jangan coba-coba kalau pagi hari kita berkomentar seperti itu. Pagi hari, dokar dan kendaraan bermotor lainnya adu cepat menguasai jalanan. Masalahnya, dokar menggunakan kuda sebagai motornya, kuda itu mahluk hidup yang kadangkala susah dikendalikan sekalipun kusirnya sudah merawat dia tahunan tetap saja kadangkala kusirnya tidak memahami isi hati kudanya. Pernah ada kejadian, saya naik dokar yang kudanya tipikal kuda bandel semau gue banget. Bolak-balik si kusir mengatur agar dokarnya minggir supaya bus mini dan aneka truk juga angkot dapat lewat. Eh bukannya nurut minggir si kuda mencak-mencak enggak karuan. Saya putuskan turun aja deh daripada dokar yang saya tumpangi dicium bus mini dari belakang yang nampaknya sopirnya kurang sabaran. Oleh sebab itu kecelakaan dokar yang dicium atau dipepet kendaraan lain seolah-olah hal biasa di sini. Fiuuhhhh....kuda berpacu dengan motor.

Satu lagi, kalau ada waktu ke pasar pagi, siapkan diri dengan baik-baik, dan sebisa mungkin jangan terlalu gemuk karena ketika Anda sibuk memilih sayur mayur atau daging yang segar tiba-tiba pantat Anda sudah dipepet body angkot atau mungkin kaki Anda terkena knalpot. Pasar pagi yang tumpah ruah di jalanan itu sejatinya sudah harus tutup alias masuk ke dalam pasar induk jam 7 pagi. Namun entah mengapa atau salah siapa, sampai jam 9 pagi pun mereka masih anteng aja jualan di jalanan yang ramai dilalui dokar, angkot, truk, dan motor. Pembeli yang membludak di pagi hari, ibu-ibu yang asik berjongkok memilih sayuran atau buah tiba-tiba harus berdiri dan merapatkan diri supaya pantatnya tidak diserempet angkot atau kendaraan lain. Betapa di kota saya ini yang namanya mau ke pasar saja ibarat mau setor nyawa.

Sudah ada kemacetan semacam itu tetap saja jalanan yang sebagian besarnya berubah jadi pasar pagi itu dibuat dua arah. Kali ini memang harus bilang "wow" karena antrean kendaraan dan bunyi klakson juga teriakan pembeli yang merasa lahannya untuk jongkok dan memilih tidak ada bersahut-sahutan. Ah...memang pada lupa bawa otaknya kali ya....

Berkendara dan bahkan berjalan kaki di sini, memang dibutuhkan kehati-hatian. bukan hanya dari kita sendiri tapi juga orang lain. Teringatlah saya akan kepolosan dan kejujuran seorang bapak yang mengendarai sebuah mobil usang di jalan Magelang beberapa waktu lalu. Di bagian belakang mobilnya dia menempelkan print tulisan yang berbunyi "NYUWUN NGAPUNTEN, JAGA JARAK, NEMBE SINAU". Dari cara berkendaranya memang dia masih belajar, mobilnya selalu ditengah hehehehehe...Namun karena tulisan itu, tak banyak orang yang mengklakson tapi langsung mengambil jarak tertentu atau mendahuluinya. Seandainya semua orang membawa otaknya ketika berkendara, maka angka kecelakaan lalu lintas di negara ini bisa dikurangi setiap tahunnya...

 

kalau orang lain suka lupa bawa otak waktu berkendara, sebaiknya kita jangan ikut-ikutan lupa bawa otak. Demi kita sendiri dan orang lain ^^

 

 

 

 

 

 

 

Y. Defrita R.

Wonosobo,18 Desember 2012 

 

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 17 Desember 2012

Apa maknanya....

Tidak terasa seminggu lagi kita merayakan Natal. Sekalipun kesibukannya sudah mulai terasa dari beberapa bulan yang lalu. Saya pun dalam moment jelang Natal ini turut terhanyut dalam kesibukan Natal. Berbeda dari tahun yang lalu, saya menjadi anggota jemaat yang baik, yang mengikuti setiap kegiatan Natal yang diadakan di gereja. Kesibukan itu ternyata tidak hanya menggerus energi saya, sehingga harus terkena ISPA dan radang, namun juga menggerus waktu saya untuk merenung. 

Dalam kesibukan seperti ini, justru hal yang paling saya takutkan adalah saya kehilangan diri saya sendiri di antara tumpukan-tumpukan kegiatan dan urusan. Kesibukan yang terlanjur menancap di benak dengan bentuk jadwal kegiatan dan goalnya, jelas mampu membuat siapapun, termasuk saya jadi lengah dan lelah. Lengah terhadap apa? lengah untuk menikmati apa yang sedang saya kerjakan. Lengah untuk menikmati apa yang sedang menjadi kesibukan saya. Yang terjadi jurstu saya berlari dari satu list kegiatan menuju list berikutnya dan begitu seterusnya. Sehingga ketika semua sudah berlalu, ketika lampu sudah dipadamkan, kemeriahan sudah beranjak menjadi sepi, maka yang terisa adalah pertanyaan besar bagi diri saya sendiri, "Apa maknanya?" 

Saya pun merenung, dalam kesibukan ini, tak masalah apapun jenis kegiatan yang sudah terlanjur membuat saya jadi orang sibuk, satu hal yang pasti saya, si pelakon tidak boleh kehilangan kesadaran saya sendiri saat saya mengerjakan semua urusan yang menyibukkan saya. Tak masalah apa jenis kegiatan yang sudah membuat saya sibuk, saya harus melakoninya dengan seluruh keberadaan diri saya sehingga ketika semua sudah usai, lampu sudah dipadamkan, lagu-lagu natal sudah berhenti, saya dapat memberi jawab pada hati nurani saya, apa makna semua ini bagi saya.

Apakah hanya putaran rutinitas belaka yang begitu adanya setiap tahun? Apakah hanya karena terlanjur mengiyakan? Apakah karena ada keinginan mengasah diri dan menambah jam terbang? Atau karena saya ingin mempersiapkan "ruangan" bagi Dia dan sesama?

 

saya masih merenungkannya...dan hati nurani saya masih setia menunggu jawaban saya :)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Y. Defrita R.

Wonosobo, 17 Desember 2012

Christmas_greetings_-_namecovers