Kamis, 22 Maret 2012

solitudinem

My5

writting

My25
writting is my passion.

writting is the best way to talk without being interupted.

Pengusaha muda kelapa muda

Dodi namanya. Entahkah berakhiran "i" atau "y", mungkin dia sendiri tidak terlalu mempersoalkan pelafalannya, yang penting ketika disuarakan ia berbunyi D O D I. Dodi seorang lelaki yang mengaku dilahirkan tahun 1979, sekalipun ayahnya yang mengklaim diri sebagai "pencetak" memprotes pengakuan Dodi dan meralatnya menjadi tahun 1977. Untuk yang satu ini sungguh saya tidak memahami dengan baik maksud dodi dan ayahnya yang berdebat kusir soal tahun kelahiran dodi. Dodi sederhana. Sederhana dalam berpikir,berkata-kata dan bertindak. Tetapi dalam kesederhanaannya yang cenderung dijadikan bahan tertawaan orang-orang, saya menjumpai manusia yang otentik!. Manusia yang tidak pakai "tedeng aling-aling" demi menutupi diri. Manusia yang jujur apa adanya.

Dodi, manusia Bandung asli yang sederhana dan tulus. Sesehari ia memang bekerja sebagai penjaga dan tukang bersih-bersih kost-an, tetapi siapa nyana kalau ia adalah putra seorang pengusaha kelapa muda yang malang melintang di dunia perkelapaan selama 27tahun!. Dodi pernah dipercaya ayahnya mengelola salah satu cabang kelapa muda mereka. Dan diam-diam dodi menjelma menjadi pengusaha muda kelapa muda.

Maka pada suatu malam dalam sebuah wawancara ekslusif bersama dodi, ia menuturkan bahwa untuk memahami betul profesinya itu, ia butuh waktu 1 tahun mengenali kelapa. Seloroh seorang kawan, "wah berarti kamu udah bisa dong ngobrol sama kelapanya." dengan kepolosan seorang bocah, dodi menjawab, "iya pak, harus begitu." Derai tawa kami sudah meledak kemana-mana demi menyaksikan manusia yang polos bukan buatan di tengah-tengah dunia yang penuh kepura-puraan.

Bahkan dia pun masih meladeni pertanyaan seorang kawan, "Dodi, gimana sich ngebedain kelapa tua ama kelapa muda kalau ia sama-sama hijaunya?" Kepolosan dan kesabaran menuntun dodi menjawab demikian, "Wah kalau itu harus ada kelapanya pak, baru saya bisa nunjukin gimana membedakannya. ya bisa juga dari suaranya."

"Dodi, buah itu artinya apa?"

"oh itu artinya mangga ibu."

"Lha kalau buah-buahan?"

"ya buah-buahan aja ibu."

"Salah. kalau buah kan artinya mangga, kalau buah-buahan artinya mangga-manggaan"

"Ah ibu bisa aja"

itu salah satu dari sekian banyak celotehan dodi yang polos bukan kepalang.

Kepolosan yang tidak menampilkan kegarangan. Jujur saja saya sudah bosan dan jengah dengan segala topeng dan kegarangan yang dipamerkan orang-orang, maka dodi menjadi warna lain dalam wawancara ekslusif beberapa waktu lalu. Tidak nampak keponggahan sebagai seorang putera pengusaha kelapa muda. Bahkan ketika ditanya berapa keuntungan sehari, ia nampak kebingungan menjawab pertanyaan sederhana ini. Saya jadi mikir, jangan-jangan ni orang nggak peduli-peduli amat dia untung berapa. Yang dia tahu sebutir kelapa menghasilkan dua gelas es kelapa muda dengan susu yang "susah dilupakan" sesuai brand yang dia promosikan sebagai tagline dari usahanya. Dodi hanya tahu sehari dia membuat 200 gelas es kelapa muda. Entah apa yang ada di benak pemuda bernama dodi ini ketika ia berkecimpung dalam dunia perkelapaan. Apakah cari untung semata atau ada motif lain?

justru dalam kepolosannyalah saya tidak mampu membaca lebih jauh sosok Dodi yang sedang diwawancarai ini. Jangan-jangan kepolosan itu adalah sebuah keadaan yang memang apa adanya. Adanya ya begitu ya itulah yang ditampilkan. Dan saya tidak pernah menduga bahwa dalam kepolosan itulah saya gelagapan membaca dodi.

Barangkali karena kepura-puraan lebih mudah dijumpai ketimbang kepolosan maka membaca kepolosan berarti mengasah ketajaman hati nurani. Brangkali karena kepura-puraan lebih mudah dipakai, maka kepolosan dianggap sama dengan ketololan. Tetapi justru dalam kepolosan itulah manusia menjelma menjadi dirinya sendiri yang otentik. yang apa adanya tapi tidak seadanya dan tidak ada apanya!

terimakasih dodi...

 

 

y.defrita r.

bandung, maret 2012

*inspirasi obrolan bersama dodi dan teman2 yang lain*

Lady Gaga is "free pork"....

Tetapi sayangnya banyak orang beragama yang "menjebakkan" diri pada persoalan "dosa, tidak dosa, haram dan halal". Bahkan rela melakukan apa saja demi sesuatu yang membuatnya terjebak di sana, barangkali justru merasa itu bukan jebakan.

Melihat tayangan yang marak akhir-akhir ini soal konser Lady Gaga di Jakarta yang konon di-haram-kan saya cuman bisa tertawa. Bukan lantaran tidak suka atau gandrung setengah mati dengan Lady Gaga yang super kreatif dan inovatif ini, tapi tertawa menyaksikan tingkah pola segelintir orang yang mengatasnamakan agama dan kemudian menjatuhkan vonis haram pada sang diva.

Memang selama ini orang sudah sangat mafhum dengan outfit Lady Gaga yang super duper different and always spectaculer itu. Penampilan Lady Gaga semestinya menjadi warna yang berbeda dan menyegarkan bagi dunia musik internasional yang cenderung disetir pasar dan kehilangan idealisme dan otentisitasnya. Tetapi saya mencoba untuk jujur mengamati bahwa sekalipun sang diva ini kreatif dan berani untuk tidak disetir pasar, tetapi tokh ia menimbulkan kontroversi dalam penampilannya. Mulai dari menggunakan gaun mini terbuat dari daging segar lengkap dengan aksesoris rambut dari daging segar.Belum lagi beberapa kali ada bagian-bagian tubuhnya yang privat justru terekspos di media. Entah apakah memang sang diva memilih demikian atau pakaiannya tidak mampu menunaikan tugasnya dengan baik untuk menutupi bagian-bagian tertentu itu. hanya Lady gaga yang tahu.

Namun sejujurnya saya geli bukan kepalang ketika santer terdengar larangan dari majelis ulama indonesia yang menyatakan bahwa lady gaga itu haram karena merusak akhlak bangsa berdasrkan penampilannya yang dicap "nyleneh". Seloroh seorang teman, "ih ngapain sich lady gaga dibilang haram. kan dia nggak mengandung babi"

Tapi justru dari persitiwa konyol ini saya melihat sebuah lembaga dengan segelintir orang yang sehari-hari rupa-rupanya sibuk dengan mengklasifikasikan dan mendeskripsikan mana yang halal dan mana yang haram....mana yang dosa mana yang tidak dosa.

Entah apa yang ada di benak mereka ketika semua hal yang tidak tepat menurut ukuran mereka mendapat stempel"HARAM"  dan wajib dijauhi atau bahkan dimusnahkan. Konon alasan yang paling standar adalah "merusak akhlak bangsa"..Sungguh alasan standard yang aneh, karena akhlak bangsa kita ini sudah rusak sejak lama. sudah bobrok sejak saya masih orok!

Mengapa tak kalian "haram"kan saja itu lembaga-lembaga yang mempromosikan teror dan penindasan demi nama agama! mengapa tak kalian "haram"kan saja itu para koruptor yang jelas-jelas membuat sistem di bangsa ini rusak, moral pun sekarat! mengapa tak kalian "haram"kan saja "anak-anak TK" di gedung yang terhormat itu yang dengan santai tapi pasti merampok negara? bukankah mereka ini justru punya andil dalam bobroknya moral bangsa yang konon dulu adiluhung?

Mengutip statement tokoh A dalam novel "Cerita Cinta Enrico" karya Ayu Utami, ""Semua orang berdosa tetapi semestinya kita tidak lagi terobsesi pada dosa dan tidak dosa, dan lebih menggunakan energi kita untuk berbuat baik bagi orang lain" dan "Paling tidak dalam Alkitab ada dua jalur: hukum dan kisah. Hukumnya boleh hitam putih, tetapi tulisannya tidak pernah begitu. Pengalaman manusia jauh lebih rumit daripada hukum", maka janganlah kita beragama tetapi menjebakkan diri dalam pola pikir yang hitam putih...sungguh monton. Sudah cukup, jangan lagi jari kita sibuk bicara soal "dosa" "tidak dosa" halal dan haram dalam dunia yang sudah tua dan lelah ini. Lebih baik kita menggandeng dan merangkul sesama.

Kalau kita mau peka, maka bukan cuma Lady Gaga, disadari atau tidak relasi kita dengan orang lain sesehari juga kerap dibumbui pelabelan semacam itu. Dengan mengutip ayat-ayat tertentu, dogma tertentu dan tafsiran tertentu dengan mudah kita berkata"ini dosa"..."itu tidak"..."ini halal" dan "ini haram"...

Ketika kita punya paradigma seperti tokoh A dalam novel Ayu Utami yang berkata, "Yang penting adalah bukan bagaimana Tuhan menghukum tetapi bagaimana Tuhan menyelamatkan"...sekalipun kita seringkali lebih senang memposisikan diri sebagai "Tuhan" yang menghukum orang lain...maka STOP JUDGING...START LOVING

 

Y.defrita R.

Bandung, maret 2012

 

Senin, 19 Maret 2012

melangkahlah...

Desau angin maret perlahan-lahan meluruhkan dinding itu.

satu per satu lapisannya terkelupas.

hanya dinding beku berwarna merah diam menganga diterpa angin

serpihannya terbang kian kemari

menari dibawa angin pagi

yang menyapa diri...

ada geletar yang menyengat sadar...

satu per satu teman melangkah penuh pasti

melangkah menjemput mimpi...

dalam sepi yang teramat sunyi

aku diam mengamati...

satu per satu mengayun langkah..

membawa sebongkah rencana dan harapan...

membawa segenggam kecemasan akan masa yang di depan...

dalam sepi yang teramat menekan...

aku diam menyaksikan...

dalam-dalam ku kubur mimpi yang mulai kuncup itu

cukup ku rekam dalam pita memori akan hijaunya ia...

cukup ku pandang sekejap sebelum aku tersengat...

luka itu menganga...

pedih masih meraja

biarlah ku di sini dulu menyembuhkannya..

dan aku menyaksikan kaliah melangkah...

melangkahlah kawan...

melangkah sahabat...

doaku untuk kalian...

 

 

Minggu, 18 Maret 2012

KAKEK, PAMAN, DAN SEMANGKA

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4


"Kebun kita ini tidak terlalu luas, nak. Cuma sepetak-sepetak awalnya. Coba kau lihat itu dua bongkah gunung itu. Ha, itu punya kita sekarang." Begitulah kakek biasa mengawali kisahnya. Kisah suksesnya bertarung dengan liat lahan di desa ini. Sekarang setiap hari dengan sepeda onthelnya yang serenta dirinya, ia akan mengelilingi lahan nan luas ini. Entah untuk berkisah pada mereka yang ia jumpai di jalan atau sekedar menengok ladangnya.

Aku sebagai cucu pertama perempuan di keluarga ini adalah cucu yang paling dimanja. Setiap hari aku diajak ke ladang. Maklum di desa dulu mana ada play group atau tempat penitipan anak yang makin marak di hutan beton sana. Ruang sekolah ku adalah ladang milik kakek dan rumah. Maka berbekal ingatan bocah berusia empat tahun yang membaur dengan imajinasi, aku merangkai kisah ini.

Setiap pagi kakek akan memandikan aku. Ibuku sudah tidak ada waktu lagi untuk memandikan aku. Ia bangun pagi-pagi benar lalu ke pasar. Sebelum ayam-ayam itu ribut, ibu sudah berlaga di dapur yang legam dengan seperangkat senjata berpantat jelaga. Ia akan sibuk memasak berbagai macam makanan untuk, kakek, nenek, ayah, dirinya sendiri, dan aku. Ia akan memasak untuk tiga kali makan. Sementara ibu sedang sibuk memasak di dapur yang asapnya menyiksa mataku, nenek sudah menyapu halaman dan rumah. Sampai sekarang aku tak habis pikir, mengapa para perempuan bangun lebih pagi dan tidur lebih larut. Ya, ibu dan nenek akan tidur setelah ayah dan kakek sudah berdiam di kamar. Kalau mereka masih sibuk dengan rokok dan kopi serta ocehan dari televisi, dapat selalu dipastikan ibu dan nenek hanyut dalam rajutan mereka.

 

Setelah kakek memandikanku, nenek akan menyuapiku dan aku segera berangkat bersama kakek ke ladang. Di ladang hampir dibilang tak ada yang dapat ku kerjakan selain duduk manis mengamati kakek dan pekerja lainnya yang tak lain adalah paman dan bibiku. Atau aku akan berjalan sendirian di seputaran ladang itu. Mengejar capung. Merendam kaki di aliran parit ladang. Dan pulang dengan membonceng sepeda kakek.

Paling aku ingat ketika usai panen, dengan sepeda onthelnya yang renta itu kakek membawa 5 karung beras. Sampai detik ini pun aku tak mengerti bagaimana caranya ia mengikatkan semua karung beras itu di atas sepeda yang besinya sudah berubah coklat.Tapi dengan kecerdikannya ia tak perlu memanggil kendaraan lain, cukup onthelnya untuk mengangkut lima karung beras. Dan aku didudukkan di atas tumpukan karung beras itu. Wah itu pengalaman tiada terperi. Duduk di atas setumpuk karung beras tidak semudah bayanganmu Perlu dijaga keseimbangannya supaya kau tidak lompat. Tapi bagiku yang belum berkenalan akrab dengan yang namanya takut, pengalaman duduk di atas tumpukan karung beras itu sungguh mengasyikkan. Sedangkan nenek, ia akan membantu kakek mendorong onthelnya.

 

sekarang sudah berpuluh tahun sejak kepergian kakek. Sepotong memori masih menggelayut di benakku. Tempo hari ketika aku pulang ke desa, syak jantung ini demi menatap wajah pamanku di rumah. Paman yang dulu selalu dibanggakan kakek, kini kerjanya hanya diam tepekur tiada bersuara. Di balik senyum ramahnya, pamanku selalu menyimpan rasa bersalah teramat pedih.

Setiap aku menatap wajah pamanku, aku seperti menatap wajah kakek dalam versi lebih muda. Dan memang ada kedekatan di antara keduanya. Jauh sejak paman masih bocah bertelanjang dada bercelana pendek kedodoran, kakek selalu membangga-banggakannya. Kakek berujar bahwa pamanku ini akan menjadi orang hebat di bidang pertanian. Pamanku ini akan kuliah di universitas swasta katolik. Ia akan jadi satu-satunya anggota keluarga yang mencecap bangku kuliah. Ia akan jadi satu-satunya anggota keluarga dan warga desa yang menemukan teknik menanam semangka yang besar tanpa biji tapi manis.

Dan demi ujaran kakek yang membakar kuping tetangga, kakek mati-matian menggarap ladang, mengalahkan padas. Ia berhasil. Pamanku kuliah bidang pertanian di universitas swasta katolik pilihan kakekku. Senang bukan kepalang kakekku ketika ia melihat anak bungsunya meraih gelar sarjana pertanian.Ia buat pesta tiga hari tiga malam. Senyum tiada pernah lepas dari wajahnya yang diukir dengan kerutan. Ia senang bukan buatan.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, senyum itu berubah bentakan. Kakek marah besar! Kakek tidak habis pikir, mengapa pamanku belum juga menginjakkan kakinya di ladang. Perdebatan di antara dua orang ini menjadi warna sehari-hari sampai-sampai tetangga pun mafhum dengan riuh rendah suara mereka beradu barang.

Setahun, dua tahun, tiga tahun, senyum kakek sudah tidak ada lagi. Seolah-olah senyum di wajah kakek sudah menjelma legenda atau mitos semata. Ia hanya diam. Diam ketika di rumah. Diam ketika mengayuh sepeda dan membonceng aku. Dia diam. Paman diam.

Sudah lima kali panen, pamanku juga belum menunjukkan tanda-tanda ia menemukan teknik menanam semangka besar, manis dan tanpa biji. Ia tak juga kerja. Hanya di lapo saja kerjanya setiap hari.

Sekarang kakek sudah tiada. Paman belum jua beranjak ke ladang. Nenek sering menyindir, "Ah, apalah arti orangtua renta punya mimpi kalau telinga anak tidak memahami".Nenek paham betul bahwa keinginan kakek dari dulu adalah menanam semangka besar, manis dan tanpa biji. Impian sederhana seorang lelaki sederhana ini digantungkan tinggi di pundak pamanku. Sebab hanya dia yang kakek pandang sanggup mewujudkan impiannya.

Selang setahun sejak kepergian kakek, pamanku menebang pohoh-pohon di kaki gunung dan menanam singkong di sana. Astaga, bukan semangka tapi singkong. Maka syak lah hatiku tatkala nenek menyusul kakek demi tak tahan menanggung kecewa impian gagal.

Sekarang pamanku hanya duduk diam di rumah. Sarjan pertaniannya hanya sekedar dongeng dari mulut ke mulut bahwa ada pemuda di desa ini yang muncul sebagai sarjana satu-satunya. Semua pekerjaan di ladang hanya dikerjakan oleh orang lain.

Ah, semangka besar, manis dan tanpa biji itupun menguap seiring langkah pamanku meninggalkan ladang...

 

 

 

Y. defrita r.

Bandung, 18 maret 2012

*terinspirasi kisah seorang teman*

Senin, 12 Maret 2012

In your "day"

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Aku tidak tahu tepat atau tidak mengucapkan selamat untuk sebuah penanda akan hari kelahiranmu 28 tahun silam sementara engkau tak lagi di sini. Yang aku tahu hanyalah seharusnya saat ini kau sudah berusia 28 tahun, entahlah di tempat mu sana usia menjadi sebuah penanda atau tidak.

 

Aku memang tidak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan mu di sana hari ini. Mungkin saja kau merayakannya dengan sejuta malaikat dan Dia yang tahu pasti hari terjadimu…

Barangkali sukacita yang kau rasakan hari ini melebihi perayaan yang pernah kau cecap di bumi.

 

Ah…terlalu sebentar rasanya kau di sini menemaniku…

Terlalu cepat…

Tapi dalam waktu mu yang singkat itu, kau sudah meninggalkan jejak di lembaran-lembaran kehidupanku…

Hari ulang tahunmu yang justru aku lewati sendirian memang terasa pilu…

Tetapi bukankah ini hanya sebuah fase lain yang harus ku hadapi sekarang, setiap tahun?

Sama sunyinya seperti Natal yang  kemarin tiba…

ketika pergantian tahun menjelang…

Ketika hari jadi kita….

Dan kini ketika hari kelahiranmu…

 

Waktu memaksa ku…

Menyeretku untuk terus mengalir bersamanya…

Dan fase-fase ini menjadi begitu berarti untuk perjalananku…

Fase-fase yang membuat aku terus memasuki kedukaanku dengan berani…

Fase-fase yang mengajariku untuk menerima bahwa kehilangan bagian tak terelakkan dari manusia di bumi…

Fase-fase yang mengajariku untuk menerima bahwa kau tetap akan hidup dalam kenangan…

Kenangan yang tidak akan terlupakan…

Namun kenangan yang akan ku kenang dengan cara berbeda…

 

 

Somewhere in a land outside of time
Somewhere only hearts can ever go
Somewhere beyond words and ways and questions why
We still hold the wonder of our love
 

Happy birthday my schaat  Abdismar Cordius Zandroto...

wishing you have a wonderful birthday party with Father in heaven above...

 

Y. Defrita R.

Bandung, 11 Maret 2012

Sabtu, 10 Maret 2012

RAINBOW BRIDGE

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

 

Rainbow_by_planet_adventure

Do you know now that I must be going
To a place full of happy memories?
In an emerald meadow by a Rainbow Bridge
You can hear heaven's anthem on the breeze

Well, a heavenly light falls around me
In a twinkling my youth has been restored
Over green hills and valleys once again I roam free
Like the days when on eagle's wing we soared

I'm surrounded by many companions
And together we pass our pleasant days
Every need is provided, there is nothing I lack
Save for you to whose memory my heart strays

When you're heaven-bound
There's a place you pass through
Called the Rainbow Bridge,
I'll be waiting there for you
Yes, I'll be waiting for you
With a heart that's tried and true
Till the day I can feel , once again,
Your arms around me

Fare thee well now for I must be going
Dry your tears, no you must not cry for me
Till the day that we meet again at long journey's end
At the Rainbow Bridge,
You know that's where I'll be

At the Rainbow Bridge
This heart waits faithfully

 

dinyanyikan oleh Emi Fujita, so touching

STUMBLING BLOCKS OR STEPPING STONE?

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Stumbling_or_stepping

Lukas 17:1-4

 

                Istilah stumbling blocks atau batu sandungan sudah sangat sering kita dengarkan dalam pembicaraan sehari-hari. Mulai dengan memberi judul masalah-masalah kita dengan batu sandungan sampai orang lain yang membuat kita celaka mendapat julukan batu sandungan. Konotasi batu sandungan selalu negatif di telinga kita entah ketika ia dilekatkan pada masalah atau pada perilaku orang lain. Di dalam pertemuan Dewasa Junior kali ini kita akan membicarakan soal stumbling blocks alias batu sandungan dalam konteks perilaku orang lain yang menjadi batu sandungan bagi kita dan apa yang seharusnya kita lakukan.

                Istilah batu sandungan pertama kali muncul di Imamat 19:14 yang berbunyi  janganlah kau kutuki orang tuli dan di depan orang buta janganlah kau taruh batu sandungan, tetapi engkau harus takut akan Allahmu; Akulah Tuhan. Ayat ini tidak mudah untuk dimengerti. Mengapa Taurat mengemukakan topik masalah ini dalam peraturannnya? Apakah memang benar pada waktu itu ada kebiasaan orang untuk meletakkan batu di depan orang buta, sehingga mereka tersandung jatuh? Talmud memberi penjelasan bahwa peraturan di Im. 19:14 tersebut pada prinsipnya bukan arti secara lahiriah saja. Tetapi pengertian orang buta dalam konteks ini dimaksudkan secara metaforis sebagai orang-orang yang tidak tidak berpendidikan, lugu, bodoh, buta secara moral dan mudah menaruh percaya kepada orang lain. Dalam hikayat Minchas Chinuch[1] melaporkan keadaan di mana pada zaman itu peraturan yang berlaku tidak cukup untuk melindungi orang-orang yang buta yaitu orang-orang yang rentan dari tindakan dengki dan jahat dari sesamanya. Karena itu diperlukan hukum khusus untuk melindungi orang-orang yang tersebut.[2] Jadi pengertian lifnei iver lo sitten michshol dalam bahasa Ibrani secara harafiah berarti melarang seseorang untuk menaruh batu sandungan, yaitu dengan memberikan nasihat yang menyesatkan kepada sesamanya untuk melakukan suatu kesalahan atau dosa.

Di Luk. 17:2, perihal lifnei iver lo sitten michshol atau skandalon dinyatakan oleh Tuhan Yesus dengan suatu peringatan keras berupa ucapan celakalah dalam bentuk gambaran figuratif yaitu: adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini (Luk. 17:2).[3] Peringatan keras yang tidak lazim keluar dari mulut Tuhan Yesus ini menunjukkan bahwa tanggungjawab kepada sesama yang lemah, rentan dari berbagai bujukan dan tidak berdaya merupakan tanggungjawab etis yang tidak dapat ditawar-tawar.

Selain kita dipanggil untuk memberi fokus perhatian kepada sesama agar mereka dilindungi dari berbagai kemungkinan batu sandungan. Di Luk. 17:3-4 juga terdapat panggilan agar kita senantiasa mampu menunjukkan kemurahan dan pengampunan. Tuhan Yesus berkata: Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia." Ungkapan jagalah dirimu (prosechete) memiliki arti:

a. Mengarahkan pikiran pada sesuatu dan memberikan perhatian

b. Menjaga agar tetap pada arah yang tepat

c. Waspada dan berjaga-jaga

Dengan demikian makna skandalon (batu sandungan) ditempatkan dalam pengertian sejauh mana tindakan kita didasari oleh kemampuan untuk mawas diri dengan mampu bersikap waspada dan mengendalikan diri. Manakala kita mampu bermawas diri, maka kita dimampukan pula untuk memberi teguran dan nasihat kepada saudara yang melakukan kesalahan. Dalam hal ini para murid diingatkan agar mereka selaku pelayan-pelayan Kristus senantiasa berhati-hati dalam berkata-kata dan bertindak, agar tidak melemahkan iman, harapan dan kasih orang-orang di sekitar mereka.  Namun pada sisi lain, mereka dipanggil untuk berani menyampaikan teguran secara langsung dan tidak membiarkan kesalahannya terus berlanjut.

Sikap mawas diri juga tidak boleh menjadi sikap yang kaku dan tanpa belas kasihan. Sebaliknya sikap mawas diri harus dinyatakan dalam bentuk kemampuan untuk mengampuni orang yang mau menyesal terhadap kesalahannya. Walaupun kita telah ditebus oleh Kristus menjadi warga negara Kerajaan Sorga, tetapi kita tetaplah seorang insan manusia yang rentan terhadap berbagai kesalahan dan kelemahan. Ungkapan humanum est errare (to ere is human) yang berarti: kesalahan adalah watak manusia harus senantiasa mengingatkan kita untuk mau bermurah hati dengan mengampuni orang yang bersalah dan menyakiti hati kita. Bilamana berbicara tentang humanum est errare seharusnya jari telunjuk kita tersebut kita arahkan lebih dahulu kepada diri kita sendiri, bahwa kesalahan itu merupakan tabiat diri kita. Jika demikian, apakah kita selaku anak-anak Allah juga bersedia untuk mengevaluasi dan mengukur diri sendiri atas berbagai kekurangan, kelemahan dan kesalahan yang telah kita lakukan selama ini?

Seorang musafir sedang berjalan menyusuri jalan setapak menuju sebuah kuil. Tinggal sekitar 200 meter lagi, ketikadi dijumpainnya sebuah pohon asam yang begitu rindang. "akhirnya aku sampai juga. Ah alangkah nyamannya jika aku beristirahat di bawah pohon ini", pikir musafir. Kemudian dia pergi menepi, dan duduk di bawah pohon itu. Diambilnya bekal makanan dan minuman, lalu bersantaplah ia. "Hari yang panas ya". tiba-tiba saja terdengar suara menyeletuk. Musafir pun menoleh, mencari siapa yang tadi berbicara. "Siapa yang berbicara?" tanya musafir. "mari duduk di sini, bergabung dengan saya. Saya punya sekantung minuman dan sedikit makanan yang bisa dibagikan". Undang musafir. "saya ada di sini, disamping Anda". Jawab suara itu, yang ternyata sebongkah batu yang berada di samping musafir. "Dari bentukmu yang teratur, bukankah kamu batu jalanan? kenapa kamu ada di sini, bukankah seharusnya kamu berada di jalan bersama dengan yang lain?" tanya musafir heran.

"Ya, aku dulu juga berdiri di sana, menjadi batu jalanan. Tapi coba kau lihat! bukankah tubuhku sedikit lebih besar dibandingkan dengan teman-temanku? ini membuat aku lebih menyembul, menonjol dari yang lain". Jawab batu jalanan.

"Lalu apa masalahnya?" Tanya musafir.

"Begini, banyak orang-orang yang pergi ke kuil tersandung karena terantuk tubuhku yang menyembul ini. Itu membuatku sedih dan merasa bersalah. Jika aku tetap di sana, maka aku hanya akan terus menjadi batu sandungan bagi orang-orang yang mau datang ke kuil. Aku tidak mau menjadi batu sandungan. Makanya aku kemudian aku meminta seseorang untuk membawaku menepi di tempat ini, dan menggantikanku dengan batu yang lebih sesuai". jawab batu jalananan, mencoba menjelaskan masalahnya kepada musafir. "Oh, jadi begitu persoalannya. Kamu memang batu yang baik. Tidak banyak yang bisa menyadari jika dirinya menjadi batu sandungan seperti kamu. Memang sudah seharusnya selama kita hidup di dunia ini, kita harus berusaha agar tidak menjadi batu sandungan bagi yang lain. Alangkah benar keputusanmu ini." Sambut musafir.

"Lalu kenapa kamu tampak tidak bahagia? bukankah kamu sudah tidak lagi menjadi batu sandungan? Sambung musafir. "Ya, mulannya aku sangat bahagia, karena aku tidak lagi membuat orang tersandung. Tapi entahlah, mungkin karena aku sudah terlalu lama di sini, aku jadi kesepian. Atau mungkin karena sekarang tidak ada lagi yang bisa aku kerjakan selain diam di sini. lalu apa gunanya aku?" Keluh batu jalanan. "Yah ... mungkin juga seperti itu. Hei ... coba lihat! tembok yang di sana itu, kelihatannya sengaja di jebol. benarkah?" Tanya musafir. "Oh, itu. Tembok itu memang sengaja di jebol, supaya bisa menjadi jalan pintas bagi warga desa yang ingin pergi ke kuil. Sekarang tembok jebol itu menjadi semacam pintu, warga desa biasa menyebutnya pintu gapit." Terang batu jalanan. "Ide yang cemerlang, penduduk desa bisa lebih cepat sampai ke kuil melalui pintu gapit itu. Tapi aku lihat pintu gapit itu masih terlalu tinggi untuk dilalui anak kecil, atau nenek-nenek. Bukankah mereka masih harus melompat?" tanya musafir.

"Memang, itu karena tanah yang ada di sebelah luar lebih tinggi dari yang ada di sebelah sini. makanya tidak bisa di jebol lebih ke bawah. Tapi biasanya yang lain akan membantu, mengangkat tubuh mereka agar bisa melewati pintu itu dengan mudah." Sambung batu jalanan. "Hem... aku jadi punya ide untukmu. Kenapa kamu tidak berdiri saja di dekat pintu gapit itu. Bukankah di sana kamu bisa jadi batu pijakan supaya anak-anak dan orang tua bisa melewati pintu tanpa harus diangkat atau melompat?" terang musafir. "Ah benar juga katamu. kenapa tidak pernah terpikir olehku. Bukankah di sana aku bisa menjadi batu pijakan. Aku bisa berguna kembali. Terimakasih tuan kamu mengembalikan semangat hidupku." Pekik batu jalanan dengan girang. Musafir kemudian membantu, mengangkat batu jalanan dan meletakkannya didekat pintu gapit. "Sekarang setiap orang bisa melewati pintu ini dengan mudah. baiklah teman aku akan meninggalkanmu di sini. Aku harus melanjutkan perjalanan. baik-baiklah menjalankan peranmu, menjadi batu pijakan di sini." Pamit musafir. Musafir pun pergi meninggalkan batu jalanan yang tampak begitu bahagia.

Ah ... memang baik jika kita tidak menjadi batu sandungan, tapi alangkah lebih berbahagiannya jika bisa menjadi batu pijakan bagi yang lainnya.

 

 

 

 Y. defrita R.

Dibawakan pada Persekutuan Dewasa Junior GKI Maulana Yusuf tanggal 7 Maret 2012

 



[1] Minchas chinuch adalah sebuah komentar hukum melalui perspektif Talmud dan dipelajari dalam lembaga pendidikan Yahudi atau Yeshiva dan dipergunakan sampai saat ini

[2] www. jlaw.com/Articles/placingstumbling.html taken at 01.26 AM/ 6 maret 2012

[3] Batu kilangan adalah batu yang biasa digunakan untuk menggiling gandum. Kilangan itu terdiri dari dua bungkal batu bulat yang masing-masing bergaris tengah 45 cm. Batu yang di atasnya yang berputar karena ada lubang di tengah-tengahnya sehingga bisa dilekatkan pada sumbu yang ada di batu yang bawah. Sepotong kayu muncul dari lubang dekat tepi batu yang di atas itu, dan itu yang jadi pegangan. Butir gandum dimasukkan ke dalam melalui lubang sumbu pada batu yang di atas dan tergiling tatkala batu itu diputar sehingga tepungnya keluar di antara kedua batu itu ke tanah.

PUASA

Normal 0 false false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

 

[[posterous-content:pid___0]]

MATIUS 6:16-18


 

Kita sering mendengar kata puasa dan bahkan mungkin kita juga sudah sering melakukan praktik puasa. Tetapi puasa itu apa dan bagaimana, barangkali tidak semua memahaminya. Maka melalui pemahaman Alkitab saat ini kita akan menggali seluk beluk puasa.

1.       Macam-macam puasa di dalam Perjanjian Lama

a.       Puasa pada Hari Perdamaian (Im 16:29-31; Bil 29:7)

Kata yang digunakan adalah ta’anit yang berarti merendahkan diri. Hari pendamaian ini dirayakan 1 tahun 1 kali pada bulan ke-7 tanggal 10. Pada hari pendamaian orang merendahkan diri dengan berpuasa dan mempersembahkan kurban. Lama puasanya hanya satu hari.

b.      Puasa ketika perang

·         Israel puasa di Bethel ketika perang melawan bani Benyamin (Hak 20:26)

·         Di Mizpa dalam perang melawan Filistin (I sam 7:6)

c.       Puasa ketika orang yang kita kasihi sakit

Daud berpuasa ketika anaknya sakit (2 Sam 12:16)

d.      Puasa ketika orang yang kita kasihi meninggal dunia

·         Kota Yabesh-Gilead berpuasa selama 7 hari untuk Saul yang meninggal dunia (I Sam 31:13, I Taw 10:12)

·         Daud dan orang-orang berpuasa untuk Saul dan Yonathan (2 Sam 1:12)

e.      Puasa untuk meminta pengampunan dari Allah

·         Muasa puasa 40 hari karena dosa Israel (Ul 9:15-18)

·         Ahab puasa agar diampuni (I Raj 21:17-29)

·         Ninewe puasa setelah dengar berita dari Yunus (Yun 3:4-10)

·         Daniel puasa setelah mengakui dosa-dosa Israel (Dan 9:3-5)

·         Puasa yang dilakukan oleh seluruh penduduk ketika Ezra membacakan hukum-hukum (Neh 9:1-3)

f.        Puasa ketika merasa terancam

·         Yosafat puasa ketika terancam Edom (2 Taw 20:3)

·         Ezra mengajak puasa orang-orang di pembuangan ketika mereka hendak kembali ke Israel (Ez 8:21)

·         Nehemia puasa ketika ia mendengar kabar tentang kondisi Israel (Neh 1:4)

·         Orang-orang Yahudi puasa ketika mendengar dekrit yang dikeluarkan oleh Naaman (Ester 4:3)

·         Ester dan Mordekhai puasa sebelum menemui Raja (Ester 4:16)

g.       Puasa ketika memperingati suatu peristiwa

·         Pembunuhan Gedaliah (2 raj 25:23-26)

2.       Lamanya berpuasa

a.       1 malam               : Dan 6:18

b.      1 hari                     : I Sam 14:24, 2 Sam 1:12, Hak 20:26

c.       3 hari                     : Ester 4:16

d.      7 hari                     : I Sam 31:13, I Taw 10:12, 2 Sam 12:16-18

e.      14 hari                   : Kis 27:33-34

f.        21 hari                   : Dan 10:3-13

g.       40 hari                   : Kel 34:28, Ul 9:9, I Raj 19:8, Mat 4:2, Luk 4:2

3.       Makna puasa di dalam Perjanjian Lama

·         Bukti lahiriah dukacita (I Sam 31:13, 2 Sam 1:12, Neh 1:4)

·         Pernyataan pertobatan baik secara kolektif maupun secara individual (I Sam 7:6, I Raj 21:27, Neh 9:1-2)

·         Ganjaran yang ditimpakan kepada diri sendiri dan agar mendapatkan bimbingan serta pertolongan dari Allah (Kel 34:28, Ul 9:9, 2 Sam 12:16-23)

·         Tapi ada pula orang-orang yang berpikir jika puasa itu membuat doa mereka terdengar. Terhadap pemahaman yang terakhir ini para nabi seperti Yesaya dan Yeremia sangat menentang dan mengatakan bahwa puasa mereka itu sia-sia belaka (Yes 58, Yer 14:11-12, Zak 7)

·         Puasa bukan ajang show off tetapi puasa adalah perendahan diri di hadapan Tuhan dan pelayanan kasih terhadap sesama.

4.       Puasa di dalam Perjanjian Baru

Ø  Gereja Antiokhia yang berpuasa dalam rangka Paulus dan Barnabas yang akan pelayanan keluar (Kis 13:1-13)

Ø  Penetapan penatua (Kis 14:23)

Ø  Puasa yang dilakukan oleh Paulus (2 Lor 11:23-27)

Ø  Puasa pada hari pendamaian (Kis 27:9)

Ø  Puasa senin dan kamis yang dilakukan oleh orang-orang Farisi. Puasa senin dan kamis yang mereka lakukan konon karena mereka beranggapan bahwa Musa naik ke Sinai hari kamis dan turun hari senin.

Bahasa yunani untuk puasa adalah nesteuo yang berarti tidak makan untuk menunjukkan ketergantungan kepada Allah dan menundukkan diri pada kehendakNya.

5.       Matius 6:16-18

ü  ayat 16

“jangan muram”

Jangan muram atau skuthropos juga berarti jangan bermuka sedih. Orang-orang Farisi pada umumnya berpuasa dengan menampilkan muka yang sedih, muram.

“jangan mengubah air muka”

Mereka pada umumnya akan menghitamkan sudut-sudut mulut dan bagian bawah mata dengan arang. Pengubahan air muka ini dimaksudkan sebagai tanda atau bukti yang mengatakan bahwa puasa yang mereka lakukan itu sangat berat.

“mereka sudah menerima upah mereka”

Diambil alih dari formula yang biasanya dituliskan di kwitansi sebagai pengakuan bahwa orang yang memberikan kwitansi itu telah menerimanya. Maka kalau orang-orang Farisi puasa dan wajahnya dibuat sedih, muram dan menggunakan abu di sudut-sudut bibir dan bawah mata untuk dilihat orang maka mereka menerima upah mereka yaitu pujian dari sesama manusia.

ü  ayat 17-18

Orang-orang Yahudi jika puasa tidak bercukur, tidak menggunakan minyak rambut tetapi menggunakan abu di sudut-sudut bibir dan bawah mata, serta tidak melakukan hubungan seksual dan hanya mencuci 1 pakaian saja per hari. Maka menyaksikan motivasi puasa orang-orang Yahudi, Yesus meminta murid-muridNya untuk memiliki motivasi puasa yang berbeda yaitu biarlah Allah yang tahu puasa kita. Bukan berarti puasa itu dilakukan sembunyi-sembunyi tetapi janganlah pamer seolah-olah kalau puasa, maka kita lebih beriman, lebih rohani.

“Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu..”

Biarlah hanya Allah Bapa yang tahu apa motivasi kita puasa, bagaimana sikap kita sehari-hari selama ini dan biarlah Bapa yang membalasnya kepada kita.

Kesimpulan

§  Puasa bukanlah agar kita dilihat dan dianggap saleh dan suci oleh orang lain

§  Puasa juga bukanlah ritual

§  Puasa bukanlah “alat” yang menjamin doa-doa kita terjawab.

§  Puasa tidak diwajibkan tetapi lebih merupakan sebuah pilihan

§  Yang terpenting motivasi puasanya.

Yaitu puasa yang dilakukan dengan hati yang bersih di hadapan Allah sebagai perwujudan penyerahan diri kepadaNya dan melakukan kehendakNya lewat sikap hidup sehari-hari.

 

------o0o------

Y.defrita.R.

dibawakan pada Pemahaman Alkitab tanggal 15 Februari 2012 di GKI Maulana Yusuf

PERJUMPAAN YANG MENGUBAHKAN

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4



Yesaya 40:21-31; Maz 147:1-11, 20c; I Kor 9:16-23; Mrk 1:29-39

Anggota jemaat memahami kasih Allah

yang telah mengubah hidup setiap orang yang berjumpa dengan-Nya

 

                Pada suatu ketika dalam sebuah rapat yang diadakan oleh para setan dibahaslah sebuah persoalan mengenai bagaimana caranya menjadikan para manusia sebagai sekutu mereka. Setan A berkata, “Bapak dan Ibu setan sekalian yang saya hormati, perkenankan saya menyampaikan sebuah fakta yang menyedihkan. Bahwa ternyata selama ini usaha kita menggodai manusia untuk tidak pergi ke gereja,terbukti kurang mempan dan makin lama kita menuju kegagalan, bagaimana pendapat Anda sekalian?” Setan B berkata, “Hmm biarkan saja mereka ke gereja tetapi curi waktu mereka sehingga mereka tidak punya waktu mengembangkan hubungan dengan Allah.” Setan A menimpali, “Tapi gimana caranya?” Pimpinan para setan itu pun angkat bicara,”Inilah yang harus kalian lakukan: buatlah mereka tidak menyadari bahwa mereka harus menjaga hubungan dengan Allah. Buat mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak esensial sama sekali, buat mereka sibuk dengan pikiran-pikiran mereka sendiri. Goda mereka untuk menghabiskan uang mereka. Goda mereka untuk bekerja terus-menerus sehari 10 jam. Buat mereka sibuk, sangat sibuk sehingga hidup mereka kosong. Buat mereka tidak mampu mendengar suara Allah yang mencoba bicara pada mereka bahkan ketika mereka berdoa. Buat mereka terus-menerus memikirkan urusan mereka bahkan ketika mereka beribadah atau melayani. Dan buat mereka yang hidupnya kosong itu untuk mengorbankan waktu, kesehatan dan keharmonisan relasi karena mereka terus menerus sibuk berjuang dengan kekuatan sendiri.” Serempak para setan itu menyepakati kata-kata pimpinan setan dan mulai mengerjakannya. Dan banyak orang Kristen yang pada akhirnya memiliki sedikit waktu untuk menghayati dan menumbuhkan hubungan mereka dengan Allah. Sehingga banyak dari mereka yang  hidupnya “datar-datar” saja, tidak merasakan perubahan apapun, tidak nampak kasih Allah dinyatakan bagi sesamannya.

                Kisah di atas barangkali hanya fiktif belaka, tetapi kalau kita mencermati kehidupan kekristenan kita saat ini, maka kisah di atas tidaklah terlalu “lebay” karena masih banyak orang yang belum benar-benar menghayati apa yang selama ini dipercayai, diyakini, diimani. Berita sukacita yang diterima di dalam kebaktian ataupun persekutuan ditinggal begitu saja di dalam gedung dan tidak dibawa pulang. Persis seperti tulisan besar di semua buku-buku pujian yang ada di gereja, “MILIK GEREJA TIDAK UNTUK DIBAWA PULANG”. Seolah-olah Firman Allah yang menyapa dan menjumpai umat percaya hanya untuk di gereja saja, tidak berdampak apa-apa di dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak ada perubahan apa-apa di dalam hidup keberimanan kita, kata anak muda masa kini “lempeng”. Padahal sejatinya perjumpaan dengan Allah itu harus menampakkan sebuah perubahan. Perubahan di sini tidak selalu dipahami atau ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Tetapi yang berubah adalah cara kita memandang suatu peristiwa/seseorang/sesuatu dan cara kita merespon peristiwa/seseorang/sesuatu yang seharusnya berubah.

Tetapi hal semacam ini tidak selalu nampak dalam kehidupan bangsa Israel. Yesaya 40:21-31 yang mengisahkan bangsa Israel yang baru 40 tahun berada di dalam pembuangan sibuk mengeluhkan Allah yang seolah-olah tidak lagi peduli pada nasib mereka dan tidak bersegera menolong mereka. Bangsa Israel pun mulai kehilangan harapan untuk dapat kembali ke tanah airnya.Kepercayaan mereka kepada Allah makin meredup. Sekalipun dalam sepanjang sejarahnya, bangsa Israel mencatat banyak pengalaman bersama dengan Allah, ditolong oleh Allah tetapi tokh nyatanya ketika kesulitan demi kesulitan di dalam pembuangan kian mendesak, mereka kehilangan kepercayaan kepada Allah yang dulu membawa mereka keluar dari Mesir dan menyeberangi laut merah. Pengalaman berjumpa dengan Allah tidak membuat cara mereka memandang dan menyikapi suatu peristiwa berubah. Pembuangan yang dirasa kian menyengsarakan tidak lagi dipandang sebagai cara Allah mendidik mereka. Pembuangan yang dirasa kian menyakitkan tidak lagi disikapi dengan rasa syukur karena Allah yang menguasai semesta ini masih memberikan mereka hidup. Melalui nabi-Nya Allah menyatakan diri-Nya sebagai pencipta dan pengatur semesta raya, maka tak perlu ada yang dikuatirkan oleh bangsa Israel. Dan melalui nabi-Nya, Allah menyatakan pertolonganNya dan Dia memberikan kekuatan kepada setiap orang untuk sabar menantikan pertolongan Allah, untuk tetap kuat menjalani hidup sehari-hari dalam pembuangan.

Sejatinya seluruh bagian Alkitab mengisahkan Allah yang berkenan menjumpai manusia terlebih dahulu karena Ia mencintai ciptaan-Nya. Maka pertolongan dan kelepasan adalah murni prakarsa Allah yang sudah bersedia menjumpai manusia. Allah yang berkenan menjumpai bangsa Israel melalui nabi-Nya dalam pembuangan adalah Allah yang melalui Yesus Kristus menjumpai ibu mertua Petrus, orang-orang di Kapernaum dan di Galilea. Penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus Kristus kepada ibu mertua Petrus tidak hanya menyembuhkannya tetapi memampukan ibu mertua Petrus melayani tamu-tamu di rumahnya. Kesembuhan itu juga membawa kesembuhan bagi orang-orang lain di sekitar kediaman ibu mertua Petrus yang tahu bahwa ibu mertua Petrus disembuhkan oleh Yesus. Kesembuhan yang mereka alami bukan hanya kesembuhan secara fisik, sembuh dari sakit tetapi juga kesembuhan jiwa, bebas dari kerasukan setan. Allah melalui Yesus Kristus yang berkenan menjumpai manusia itu membawa perubahan dalam hidup orang-orang yang Ia sembuhkan baik di Kapernaum maupun Galilea. Mereka tidak hanya pulih secara fisik tetapi terlebih lagi mereka menjumpai Injil yang menyatakan bahwa Allah begitu dekat dengan mereka, Allah datang memberikan harapan bagi setiap orang, Allah mengampuni, Allah menolong mereka dan memberikan kekuatan kepada mereka. Ada perubahan di dalam diri orang yang mengalami perjumpaan dengan Allah.

Pada saat ini pun Allah tidak pernah jemu-jemunya menjumpai setiap kita lewat berbagai macam hal dan cara. Tetapi kesibukan yang menguras energi dan waktu, kekuatiran yang menguasai pikiran dan meredupkan harapan, serta rencana demi rencana yang melahirkan ambisi bercokol dalam hati, membuat sebagian orang tidak lagi mampu merasakan perjumpaan dengan Allah lewat hidup sesehari dan tidak ada perubahan yang dirasakan, lempeng-lempeng aja. Dan akibatnya hidup sesehari yang dijalani terasa kosong, dan juga kelelahan karena mengatasi masalah dan pergumulan dengan kekuatan sendiri yang seringkali justru membabi buta. Lalu pertanyaannya adalah :Bagaimana mungkin perubahan hidup bisa dicapai jika uluran tangan Allah dibiarkan menggantung bebas tidak disambut? Bagaimana mungkin cara kita memandang hidup yang sarat pergumulan ini diubahkan ketika uluran tangan Allah kita abaikan? Bagaimana mungkin orang-orang di sekitar kita merasakan kasih Allah lewat hidup kita jika uluran tangan Allah yang penuh cinta itu tidak kita raih?

Kalau kita mau sejenak menyediakan waktu dan menyambut uluran tangan Allah, membiarkan Allah menjumpai kita, kita akan merasakan cinta-Nya yang teramat besar bagi kita. Dan perlahan-lahan cinta Allah yang begitu besar itu akan menolong kita untuk melihat dan merespon berbagai macam hal dengan kacamata yang berbeda. Sekalipun hidup yang kita jalani tidak sesuai dengan harapan, kita tidak akan mudah mengeluh karena kita tetap mampu merasakan penyertaan Allah dalam hidupnya. Ada seorang jemaat di tempat saya dulu praktek melayani yang didera oleh suatu penyakit yang konon katanya tidak dapat disembuhkan lagi entah karena sudah stadium akhir atau karena jenisnya langka. Hari demi hari kesehatannya kian memburuk namun keceriaannya tidak pernah meredup. Dalam sebuah pelawatan iseng-iseng saya bertanya, “Bu, apa sich yang membuat ibu tetap ceria?” Masih dengan nada antusias walaupun suaranya lemah ibu ini berkisah pada saya bahwa sekalipun sakit yang ia alami tak dapat lagi disembuhkan, justru melalui sakitnya ia makin mampu merasakan bahwa Allah dekat dengannya. Sekalipun pada awalnya protes, namun kemudian ia mampu menghayati kehadiran Allah lewat orang-orang sekitarnya yang terus mendukungnya. Persitiwa tadi membuat saya belajar melihat bahwa perubahan yang dialami ibu tadi mungkin bukan berbentuk kesembuhan fisik seperti yang dialami ibu mertua Petrus tetapi perubahan cara ia memandang sakitnya.

Sekalipun kita berurusan dengan orang-orang yang memiliki karakter yang sulit (orang Jawa Timur bilang mbencekno) dan mungkin mempersulit kita akan tetap berupaya mengasihi mereka. Berusaha membangun sikap yang terbuka, fleksibel dan menyingkirkan prasangka-prasangka negatif dalam berhubungan dengan sesama (I Kor 9:21). Sekalipun pelayanan atau pekerjaan kian hari dirasa kian berat, kita akan tetap telaten dan sabar melakoninya tanpa pernah memikirkan apa yang menjadi hak-hak kita, apa fasilitas atau kemudahan apa yang kita dapatkan. Sebaliknya, seperti Paulus dalam wejangannya kepada jemaat di Korintus, kita justru akan melakoninya demi kemuliaan nama Allah.

Dan itu semua terwujud kalau setiap kita tidak memandang perjumpaan dengan Allah sebagai “MILIK GEREJA TIDAK UNTUK DIBAWA PULANG.” Amin

 

 

Y. defrita R.

dibawakan dalam kotbah tanggal 5 Februari 2012 di GKI Maulana Yusuf

Hidup sebagai Orang yang Dipanggil Allah

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4


I Korintus 7:17-24

Peserta menyadari bahwa Allah terutama mengharapkan perubahan hati bukan perubahan status lahiriah ketika seseorang menjadi Kristen dan peserta bersedia menjawab panggilan itu dengan ketaatan, pengabdian dan penyerahan diri total kepada Kristus.

 

Ada orang yang memang sejak dari kecil sudah menjadi Kristen, ada pula yang baru setelah dewasa menjadi Kristen, dan ada pula yang sejak dari kecil sudah menerima warisan iman kristen namun baru benar2 menghayati kekristenannya pada waktu dewasa. Apapun situasinya kira-kira apa sich  yang dirasakan berubah ketika menjadi orang Kristen?sharingkanlah….

Di dalam buku nyanyian Pelengkap Kidung Jemaat nomor 239, Rufus H. Mc Daniel  (1850-1940) menorehkan sebuah lagu berjudul”What a wonderful change/ since Jesus came into my heart  yang oleh Yamuger diterjemahkan menjadi “Perubahan Besar”

Perubahan besar di kehidupanku sejak Yesus di hatiku

Di jiwaku bersinar terang yang cerlang sejak Yesus di hatiku

Reff:

Sejak Yesus di hatiku, sejak Yesus di hatiku

Jiwaku bergemar bagai ombak besar sejak Yesus di hatiku

 

Aku tobat kembali ke jalan benar sejak Yesus di hatiku

Dan dosaku dihapus jiwaku segar sejak Yesus di hatiku

 

Aku rindu pergi ke tempat Tuhanku sejak Yesus di hatiku

Aku riang gembira berjalan terus sejak Yesus di hatiku

Rufus adalah seorang pendeta asal Ohio dan melayani di Christian Church Disciples of Christ. Lagu ini dia buat pada tahun 1914 ketika ia dan istrinya Margaret Dragoo kehilangan seorang anak mereka yang bernama Herschel. Lirik lagu ini kemudian digubah oleh Charles H. Gabriel dan pada tahun berikutnya diperdengarkan pada sebuah kebaktian “Billy Sunday”. Dan pada saat yang sama ada seorang polisi bernama Fowler mengikuti kebaktian tersebut dan kemudian ia memutuskan untuk menerima dan mengikut Yesus. Belakangan “perubahan ajaib” yang terjadi pada Fowler adalah ratusan rekannya sesama polisi datang dan menerima Kristus dalam hidup mereka dan keluarga mereka.

Di dalam lagu tersebut nyata termaktub sebuah pengakuan bahwa ada perubahan dalam hidupnya ketika ia membiarkan Yesus menguasai hatinya. Dikatakan bahwa jiwanya bersinar terang, jiwanya bergemar bagai ombak besar, jiwanya segar, dan ia riang gembira berjalan terus menapaki kehidupan ini bersama dengan Yesus yang bertahta di hatinya. Kalau kita amati maka perubahan besar yang dimaksudkan oleh si pembuat lagu bukanlah sebuah perubahan lahiriah yang sifatnya permukaan saja tetapi sebuah perubahan yang bermula dari hati, bersumber pada jiwa terdalam seseorang yang jiwanya disentuh oleh kasih Yesus.

Celakanya, perubahan besar yang dipahami oleh jemaat Korintus sungguh berlainan dengan penulis lagu di atas. Jemaat Korintus rupa-rupanya menghayati perubahan yang terjadi adalah perubahan status pernikahan, perubahan dalam aspek keagamaan dan aspek sosial. Maka dalam rangka inilah dan baru di dalam surat ini pula Paulus memperingatkan jemaat Korintus sampai empat kali di I Kor 4:17, I Kor 11:16, I Kor 14:33 yang menyerukan agar jemaat Korintus kembali ke track mereka seperti yang sudah diajarkan oleh Paulus kepada mereka. Lalu kalau demikian ceritanya, kira-kira mengapa atau ada apa dengan jemaat Korintus sampai Paulus memberikan perintah, “…hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu dipanggil” sampai tiga kali dalam ayat 17, 20 dan 24?

Mari kita lihat lebih dekat:

Ayat 17

Entah sudah menikah atau belum menikah, entah apakah sudah menikah dengan orang percaya atau belum percaya, orang Kristen harus tetap menjaga kondisi dan situasi mereka seperti ketika mereka dipanggil oleh Allah. Yang harus menjadi fokus adalah melayani Allah dengan segala keberadaan mereka sebagai orang2 yang dipanggil oleh Allah. Paulus menekankan hal tersebut ketimbang jemaat Korintus bersibuk-sibuk ria berusaha mengubah hal-hal yang pada dasarnya tidak prinsipil dalam kaitannya dengan iman mereka kepada Yesus.

Ayat 18-19

Pada dasarnya tidak ada keharusan hidup menikah atau selibat, sunat atau tidak sunat di dalam kekristenan namun pilihan2 itu tadi kembali kepada keputusan masing2 orang.

Ayat 20

Panggilan setiap kita adalah menjadi saksi-saksi Yesus Kristus jauh lebih penting ketimbang panggilan kita untuk meraih status sosial tertentu atau status ekonomi tertentu dalam masyarakat atau berkutat dengan sunat atau tidak.

Ayat 21

Paulus sama sekali tidak beranggapan bahwa orang-orang Kristen memiliki pandangan hidup fatalistik yang menganggap kondisi dirinya saat ini tak boleh diubah. Termasuk Paulus tidak mendukung status quo perbudakan pada masa itu sebab kalau kita melihat di Kolose 4:1 maka di tengah masyarakat yang memandang budak sebagai orang kelas bawah, Paulus justru mengemukakan pandangan untuk memperlakukan budak-budak dengan adil dan jujur. Kalau kita punya kesempatan untuk mengembangkan diri kita, pakailah kesempatan itu dengan catatan bahwa itu semua kita lakukan untuk kemuliaan nama Allah. Tetapi sekalipun kita tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri, maka tetaplah mekar dimanapun Allah “menanam” kita.

Ayat 22

Apakah orang-orang Korintus memandang diri mereka sebagai budak atau orang merdeka? Orang yang merdeka adalah orang yang dulunya adalah budak namun ia dibebaskan. Dengan sudut pandang ini Paulus mau menekankan bahwa memang benar orang-orang Korintus sebagian adalah budak namun mereka adalah orang-orang merdeka di hadapan Allah. Apakah orang-orang Korintus memandang diri mereka sebagai orang merdeka atau budak?Secara sosial seseorang mungkin memiliki status bukan budak, tetapi secara spiritualitas ia adalah seorang budak Allah.

Pemahaman semacam ini haruslah kita lihat dalam terang konteks budaya Greco-Roman tentang perbudakan. Memang secara kelas sosial, budak ada di anak tangga paling bawah, namun dalam relasinya dengan majikannya, para budak ini memiliki kebebasan penuh dalam hal kebutuhan hidup mereka dicukupi oleh majikan sebab majikan menikmati hasil dari kerja mereka. Tetapi sekalipun demikian ia tetap bukan miliknya sendiri, ia adalah milik majikannya.

Dalam kebudayaan Greco-Roman yang demikian itulah Paulus seolah-olah memberikan counter sekaligus penegasan kepada jemaat di Korintus bahwa ketimbang dirundung penyesalan dengan situasi yang dialami, orang-orang diajak untuk melihat kemampuan mereka dan peluang yang Allah berikan kepada mereka untuk menjadi saksi-saksi Yesus Kristus dalam hidup sesehari. Artinya, kalaupun seseorang memiliki status sosial sebagai seorang budak dan ia harus melayani majikannya maka dalam terang pemahaman yang dipaparkan oleh Paulus tadi, budak ini tidak lagi menganggap pekerjaannya melayani majikannya sebagai beban atau keterpaksaan belaka tetapi ia melakukannya seperti ia melakukannya untuk Tuhan.

Dalam konteks inilah Kolose 3:22-24 menjadi landasan kita, bukan hanya budak saja, untuk melakukan segala hal entah apapun pekerjaan kita seperti kita melakukannya untuk Tuhan karena Tuhanlah majikan kita! Dengan sikap demikian Paulus mau mengajak bukan hanya budak pada masa itu namun juga kita untuk menjadi saksi-saksi Kristus dimanapun Tuhan “menanam” kita.

Ayat 23-24

Paulus kembali bicara tentang Salib (I korintus 6:20), dimana Allah melepaskan kita dari segala macam perbudakan dan kita telah dibeli dengan darah Anak-Nya yang berharga. Maka sebagai orang-orang merdeka di hadapan Allah, kita memiliki kesempatan yang sangat luas untuk melayani-Nya, untuk hidup dalam relasi yang benar dengan Allah begitu juga dengan semua ciptaan. Status sosial atau tanda sunat atau tidak sunat janganlah dipermasalahkan, justru kita harus melihat fakta bahwa Tuhan memerderkakan kita karena Ia sangat mencintai kita dan kita ini hambaNya, budakNya yang harus berkarya bagi sesama.

                Melalui nasihat-nasihat yang ia ulang tiga kali dalam perikop ini dan uraian-uraiannya, Paulus sebenarnya ingin menegaskan sekali lagi kepada jemaat di Korintus akan:

§  Tiap-tiap orang, apapun kondisi atau status mereka harus hidup bertanggung jawab di hadapan Tuhan dan tiap-tiap orang harus menerima kondisi mereka baik sebelum bertobat atau sudah bertobat dengan hidup bertanggung jawab di hadapan Allah. Paulus meyakini bahwa jika tiap orang Kristen apapun statusnya hidup dengan benar di hadapan Allah maka akan berdampak bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya.

§  Paulus ingin meluruskan pemahaman jemaat Korintus yang keliru yaitu bahwa sebagian orang percaya di Korintus meyakini dan mendefinisikan pertobatan mereka atau respon mereka terhadap panggilan Kristus adalah dengan MERUBAH segalanya menjadi baru, misalnya status sosialnya yaitu budak atau bukan budak, jelas nampak bahwa ada kekeliruan konsep soal kemerdekaan disini, mereka beranggapan ikut Yesus maka mereka jadi orang merdeka bisa semena-mena dan sombong bahkan memberontak, padahal kemerdekaan Kristus melalui salib adalah kemerdekaan yang mengundang orang untuk menyadari bahwa Tuhan mengasihi dirinya dan memanggil dirinya untuk berbagi kasih dengan orang lain apapun status sosial mereka. Selain status sosial juga perkara sunat dan tidak sunat. Padahal kalau mau jujur, orang-orang Yahudi di Korintus pada waktu tidak benar-benar memahami bahwa sunat adalah tanda perjanjian Allah dengan Abraham. Mereka hanya memahaminya sebagai “bukti moral spritiual” seseorang dan tolok ukur apakah seseorang dapat bergabung di komunitas mereka atau tidak.

§  Justru yang seharusnya berubah adalah sikap hati mereka. Perubahan hidup yang didasarkan oleh perubahan hati, pembaharuan hati. Apa sich yang dimaksud dengan perubahan atau pembaharuan hati? kesadaran bahwa dirinya dicintai, dikasihi oleh Allah dan dipanggil untuk mencintai, mengasihi orang lain. Ayat 23 yang dipaparkan Paulus soal salib Yesus yang memerdekakan kita adalah bukti nyata betapa Allah begitu mencintai kita dan memanggil kita untuk berbagi cinta dengan semua ciptaan sehingga sikap hidup sesehari sebagai orang Kristen bukan sekedar nampak dari sikap lahiriah tetapi justru memancar dari dalam hati yang telah disentuh dan dikuasai oleh Yesus Kristus dan hasilnya adalah sebuah kehidupan yang berkualitas bagi sesama ciptaan. Amin.

 

 

Y. defrita R.

Dibawakan pada Pemahaman Alkitab 27 Januari 2012 di GKI Maulana Yusuf

Transfigurasi Yesus

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Trans

2 Kor 4:3-6 dan Markus 9:2-9

            Menurut tradisi gerejawi, minggu ini kita merayakan peristiwa transfigurasi Yesus Kristus. Apa itu transfigurasi? Transfigurasi adalah perubahan rupa Yesus Kristus ketika Ia bertemu dengan Elia, Musa, juga suara Allah Bapa yang disaksikan oleh Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Peringatan peristiwa transfigurasi Yesus sendiri dilaksanakan atau dirayakan oleh beberapa denominasi gereja seperti Katolik, Anglikan, Ortodoks dan beberapa gereja Protestan. Di gereja-gereja Ortodoks, peringatan transfigurasu Yesus dilaksanakan setiap tanggal 19 Agustus. Sedangkan pada gereja-gereja Protestan peristiwa transfigurasi Yesus dilaksanakan pada minggu-minggu terakhir Epifani atau menjelang masa-masa pra Paskah sesuai kronologis Injil. Lalu apa maknanya bagi kita?

            Markus menceritakan secara cepat dan ringkas peristiwa transfigurasi yang dialami oleh Yesus. Yesus mengajak Petrus, Yakobus, dan Yohanes menaiki gunung yang tinggi dan memberi mereka keistimewaan untuk menjadi saksi dari peristiwa transfigurasi Yesus. Seperti kata pepatah Tiongkok kuno bahwa sebuah gambar yang layak untuk ribuan kata, maka peristiwa transfigurasi Yesus memuat banyak makna tetapi setidaknya di dalam kesempatan kali ini hanya ada dua yang kita ulik yaitu:

·         Peristiwa transfigurasi adalah peristiwa penyingkapan bahwa Yesus adalah Allah. Dalam peristiwa itu penyataan kemuliaan Tuhan Yesus dihadiri oleh nabi Musa dan Elia. Musa adalah nabi yang membawa hukum Taurat, sedangkan Elia adalah nabi yang paling berpengaruh untuk membawa umat Israel kepada satu-satunya Allah yang Esa dengan melawan dewa-dewa Baal. Kini mereka secara khusus datang untuk menghormati dan mempermuliakan Tuhan Yesus. Kemuliaan Yesus Kristus bukan hanya terjadi dalam peristiwa kebangkitan dan kenaikanNya ke Surga tetapi juga dinyatakan ketika Ia masih hidup sebagai seorang manusia.

·         Peristiwa transfigurasi juga memiliki makna bagi Petrus, Yakobus dan Yohanes, mereka bukan hanya diberi kesempatan untuk menyaksikan tetapi juga menerima sebuah pendelegasian tugas untuk memberitakan kemuliaan Kristus kepada yang lain.

Kemudian Yesus yang mereka saksikan di atas gunung itupun usai dan mereka harus kembali turun gunung mengerjakan peran mereka yang baru sebagai saksi. Tapi saksi yang bagaimana?

Saksi itu ada saksi yang mengalami dan jujur menceritakan, saksi yang tidak mengalami tapi menceritakan dan saksi yang mengalami tapi tidak mau menceritakannya. Mereka ternyata memilih menjadi saksi yang mengalami kemuliaan Yesus dan menceritakannya lewat karya dan hidup mereka.

            Bukan hanya Petrus, Yakobus, dan Yohanes yang menjadi saksi kemuliaan Yesus, kita pun saat ini yang hidup di jaman pasca kebangkitan Yesus Kristus juga diberi kesempatan untuk meyaksikannya. Tetapi kalau kita bicara soal kemuliaan Allah seringkali pikiran kita mengarah kepada sesuatu yang spektakuler namun sejatinya kemuliaan Allah dapat kita saksikan dalam 3 hal ini:

·         Kemuliaan Allah nampak ketika Ia menjadi Rajadirajadalam peristiwa kebangkitan Yesus, Kenaikan Yesus ke surga dan juga transfigurasi dan masih banyak lagi.

·         Kemuliaan Allah nampak lewat alam semesta ciptaanNya

·         Dan Shekinah alias kehadiran Allah dalam hidup manusia yang mencapai puncaknya dalam kehadiran Yesus di dalam sejarah kehidupan manusia.

Menjadi saksi kemuliaan Kristus berarti harus mengalami kehadiran Allah di dalam hidup kita sehari-hari melalui peristiwa sederhana sekalipun seperti bangun di pagi hari, bernafas dan dapat melakukan segala aktivitas kita. Dan itulah yang kita sampaikan atau beritakan kepada orang lain seperti kata Paulus “Sebab bukan diri kami yang kami beritakan tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus”.

            Tetapi bagaimana bisa menjadi saksi yang mengalami kehadiran Allah dalam hidup ini?pertama kita harus mengalami perubahan, mengalami transigurasi yaitu dengan mendengarkan DIA (Markus 9:7) dan kemudian mengalami perubahan hati seperti kata Paulus (2 Kor 4:6) sehingga terang kemuliaan Allah itu bersinar dalam diri kita dan memancar keluar menyapa kita di sekitar kita. Tidak perlu berpikir yang muluk-muluk untuk dapat menjadi saksi dari kemuliaan Yesus. Suatu ketika di ruang makan kost-kostan saya,  terdengarlah percakapan antara si A dan si B. Si A berkata, “Eh, aku stuck nih sama TA ku. Rasanya gak bisa lagi. Aku nyerah.” Si B menimpali, “Oh gitu. Kalo aku sih bisa dan nggak stuck dan yang pasti gak bakalan nyerah.” Selesai menjawab seperti itu si B ngloyor kembali ke kamarnya membiarkan si A yang galau dengan TA-nya. Menyaksikan percakapan dua orang yang sesungguhnya sangat akrab ini bahkan layakanya saudara saya tertegun. Ketika si A mengeluhkan sulitnya TA yang ia kerjakan dan rasanya ingin menyerah saja, si B bukannya menanyakan mengapa si A merasa demikian, apa yang bisa ia lakukan untuk menolong si A agar bersemangat lagi, malahan ia mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa kondisinya jauh lebih baik dari A. Statement si B bagi saya berbunyi, “terserah kamu mau stuck dengan TA mu yang penting aku enggak.” Terserah orang lain mau menderita, mau menyerah, mengalami kesulitan yang penting diri sendiri senang, bahagia, dan tidak mengalami kesulitan. Ini adalah “ilah jaman” yaitu hedonisme yang menjangkiti manusia. Padahal kalau kita mengingat akan peran kita sebagai saksi kemuliaan Yesus Kristus, maka yang dapat kita lakukan adalah menyediakan waktu dan diri untuk mendengarkan pergumulan orang lain, syukur kalau bisa menolong. Seandainya si B tadi tidak mengeluarkan statement semacam itu dan ia mau mendengarkan pergumulan si A, dan menolong si A untuk bersemangat, apa resiko yang ia tanggung? Ia berkorban waktu, tenaga dan pikiran. Waktunya terpotong untuk mendengarkan pergumulan orang lain, tenaga dan pikirannya terpakai sebagian untuk menolong si A bersemangat kembali. Tetapi dengan menanggung resiko semacam itu, sejatinya si B sedang menghayati perannya sebagai saksi kemuliaan Yesus minimal untuk orang di sekitarnya. 

Ketika kita menghayati peran kita sebagai saksi kemuliaan Yesus di tempat kerja atau kuliah, barangkali kita akan dianggap aneh, sok suci, sok alim karena tidak mengikuti “trend yang lazim” seperti misalnya, menolak suap, menolak untuk berbuat curang ketika ujian atau mengerjakan tugas, menolak untuk merendahkan orang lain atau menyingkirkan orang lain, dan menolak untuk memanfaatkan orang lain demi kepentingan diri sendiri. Memang menjadi saksi bagi kemuliaan Yesus juga berarti menanggung resiko, seperti halnya Elia, Musa, Petrus, Yakobus, Yohanes, dan Paulus. Kemuliaan Allah yang disaksiakan oleh Petrus, Yakobus, dan Yohanes juga kita pembaca masa kini untuk tidak merespon hanya dengan keterpukauan saja tetapi kembali “turun gunung” dan masuk dalam kehidupan kita sehari-hari untuk menghayati kehadiran Allah dalam hidup kita dan menyaksikannya kepada orang-orang sekitar kita. Amin.

 

 

Y. Defrita R.

dibawakan dalam kotbah pemuda GKI Maulana Yusuf, 19 Februari 2012