Rabu, 27 April 2011

Di depan tempat cuci piring, aku mencuci dan merenung...

Kotak ajaib bernama televisi sudah lama menayangkan sajian khas berselera untuk para ibu rumah tangga yaitu Menu Sinetron dengan berbagai macam bumbu, variasi dan toping. Tapi sejatinya bahan dasarnya sama yaitu menampilkan sesuatu yang tidak sepenuhnya real bahkan ada yang lantang mengatakan bahwa itu semua hanyalah hipereralitas. Konflik yang dijual sejak dari episode pertama sampai entah kapan berakhirnya adalah konflik yang kadangkala over exposed. Sosok para pemainnya pun dengan gamblang dibedakan hitam dan putihnya. Ada tokoh yang hobi teriak, membentak, selalu dipenuhi ide-ide jahat dan keji, macam tidak ada perikemanusiaannya. Ada pula tokoh yang sungguh malang nasibnya karena sejak dari awal episode selalu menangis (saya heran kok ndak capek ya nangis terus), dihina, ditipu, dijebak, dianiaya dan seterusnya. Jarang ada sinetron yang mampu menampilkan karakter yang tidak murni hitam juga tidak sepenuhnya putih. Barangkali memang lebih mudah mengolah dan menampilkan yang ekstrem sekalian ketimbang yang tanggung.

Malam ini sewaktu saya makan, televisi sedang menampilkan adegan sebuah sinetron. Tenang bukan saya yang menonton. Saya yang sedang makan cukup takjub mendengar gaya bicara khas pemain sinetron. Lebih takjub lagi menyaksikan para pemirsa yang setiawan dan setiawati menonton adegan demi adegan. Dan menjadi sangat takjub tatkala adegan-adegan tersebut memancing emosi para pemirsa. Yah, sinetron yang namanya nama bunga, nama karakter sikap, nama sifat, telah berhasil meyedot perhatian pemirsa (tentu tidak semua). Sambil mencuci piring 1 buah, gelas 1 buah, sendok 1 buah saya termenung (tentu saja sambil menyabuni piring, gelas dan sendok). Saya membandingkan karakter-karakter yang ditampilkan di sinetron dengan karakter-karakter manusia yang saya jumpai dalam keseharian saya. Jujur saja, saya adalah orang yang suka mengamati. Mengamati  orang adalah kegiatan yang sangat menarik. Saya betah duduk berjam-jam hanya untuk mengamat-amati cara orang berinteraksi dengan orang lain, mengamati gesture tubuh orang lain ketika mengucapkan kalimat tertentu, ekspresi wajah, intonasi suara dan tanpa mereka sadari, mereka yang saya amati itu sudah mentransferkan begitu banyak informasi kepada saya tanpa mereka sadari. Informasi itu saya pakai nanti ketika saya harus berinteraksi dengan orang-orang yang sudah saya amati itu tadi. Dan menurut pengalaman saya, ini memudahkan saya untuk menjalin keakraban dengan mereka, dan relasi atau kekerabatan itu pun tercipta. Balik lagi ke soal permenungan di depan tempat cuci piring.

"Ehm..enak ya kalau karakter-karakter orang di sekitar ku itu gampang di tebak, jelas hitam dan putihnya." begitulah dialog pertama saya dengan diri saya yang lain. "Iya lho...kalau dalam kehidupan sehari-hari orang-orang yang kita jumpai itu ndak murni hitam atau sepenuhnya putih..tapi ada juga yang abu-abu...ya ndak jahat ya ndak baik-baik amat..." Walah, yang begini ini yang runyam...ya ndak jahat ya ndak baik..nah lo..ni orang berdiri di mana yak. Begitulah rentetan gerutu saya disaksikan piring, gelas, sendok, garpu, penggorengan dan panci yang diam membisu.  Kalau saya berhadapan dengan mereka yang karakternya jelas hitam...barangkali konfrontasi terbuka bisa saja meletus dan dicetuskan. Atau setidaknya saya bisa menciptakan radius aman dengan orang itu. Begitu juga kalau saya berhadapan dengan orang yang karakternya putih, bisa dengan terang benderang hatinya yang baik itu saya saksikan. Tapi ini abu-abu...ya ndak jahat-jahat banget sich...tapi juga ndak baik-baik amat! ckckckckckc...

Tapi sebetulnya setiap kita ini punya grey area. Area dimana kita kadang ndak jahat-jahat banget sama orang lain, tapi ya tetep ada jahatnya walaupun ndak selalu karena masih ada baiknya...begitu sebaliknya. Kalau mau jujur manusia yang paling baik sekalipun...paling putih sekalipun tetap ada grey area-nya. Sebaik-baiknya hati saya, masih ada grey area-nya...dan sejahat-jahatnya saya, masih ada grey area yang menampilkan seberkas kebaikan. Sebaik-baiknya saya, saya masih punya sifat buruk (ndak cuman punya tapi mungkin banyak hehehehe)...dan seburuk-buruknya sifat saya, masih ada baiknya. Begitu juga dengan Anda...dengan kita semua. Sinetron menampilkan sesuatu yang tidak real yaitu karakter grey area yang tidak ditampilkan, sehingga kita hanya menyaksinya indahnya dunia kalau karakter setiap orang itu jelas. Jelas jahatnya dan jelas baiknya. Ada lakon pahlawan yang baiknya minta ampun dan lakon penjahat yang kejinya luar biasa. Tetapi syukur kepada Allah, bahwa narasi hidup saya bukanlah sinetron murahan. Allah menuliskan alur kisah yang menarik dan selalu penuh kejutan. Allah menciptakan karakter-karakter pemain yang tidak sepenuhnya berifat baik, dan tidak sepenuhnya bersifat jahat, sehingga hidup kita indah, berwarna, dan tidak murahan.

Dan akhirnya sambil meletakkan piring, sendok dan gelas, saya melirik sinetron itu dan tersenyum sambil berbisik, "Terimakasih Tuhan untuk orang-orang yang memiliki "grey area" yang kau tempatkan di sekitarku...ini pasti akan menjadi narasi yang indah...terimakasih bahwa seburuk-buruknya aku, masih ada yang baik dalam diriku dan demikian sebaliknya. amin"

 

 

 

 

Y. Defrita R.

Senin, 25 April 2011

Belajar dari ceker ayam

Ceker ayam?!?! Dua atau tiga kaki ayam bersemayam di dasar panci sop. Warnanya pucat dengan guratan hitam di sekitar kaki sampai mendekati kukunya. Uuuuhh sangat menjijikan, begitu komentar saya. Tetapi adik tingkat saya di perguruan tinggi-Lydia dan kakak tingkat saya-Nunik, amat sangat menyukai si pucat berjari empat itu. Dan setiap kali sop dihidangkan, mereka akan "memancing" ceker ayam. Ceker itu akan bertengger di piring mereka, sampai mereka selesai menghabiskan nasi dan lauk yang lain lalu mereka akan mengeksekusi ceker ayam itu dengan ekspresi penuh kenikmatan sementara saya "eneg" melihat ceker ayam itu. Di dunia ini, ada orang-orang yang sealiran dengan Lydia dan Nunik yang sama-sama suka makan ceker ayam, sementara ada pula yang sealiran dengan saya-anti ceker ayam. Di Amerika dan Eropa, ceker ayam adalah bagian tubuh ayam yang dibuang bersamaan dengan kepala, tunggir alias brutu, usus, hati, dan segala macam perkakas di dalam perut ayam. Mereka hanya mengkonsumi dada, paha dan sayap saja. Sedangkan kepala, ceker, dan jeroan ayam itu mereka olah untuk menjadi pakan ternak. Jadi ceker ayam dan teman2nya itu tidak dikonsumsi manusia. Di Asia, setahu saya hanya Korea yang juga ikut menganggap ceker ayam sebagai limbah ayam potong yang tidak layak dikonsumsi oleh manusia.

Sore ini sebelum berangkat rehat, saya menyempatkan diri membaca satu bagian dari buku yang baru saja saya beli yaitu "Selamat Berkerabat". Di salah satu bab-nya, Pak Andar menceritakan bahwa di Korea, mereka bisa makan ceker ayam dengan gratis karena itu sebenarnya sudah dibuang. Jadilah Pak Andar dan ke-7 orang teman kuliahnya dari berbagai macam negara itu saban hari ke pasar kaget di dekat asrama mereka. Di sana tujuan mereka selain membeli tahu dan sayur mereka juga selalu menuju ke tempat penjagalan ayam. Di sana ada beberapa ember besar berisi kaki ayam. Mereka diijinkan untuk mengambilnya dan tak perlu bayar. Penjual ayam senang karena tak perlu membuang limbah ceker ayam itu sekaligus heran dan barangkali rada jijik melihat ulah ke-8 mahasiswa internasional ini yang rajin meminta ceker ayam. Ceker ayam adalah satu-satunya sumber protein hewani yang mereka sanggup beli, maklumlah biaya hidup di Korea tinggi, sehingga mereka harus pandai atur uang biar bisa beli buku dan nonton bioskop.

Sesampainya di asrama, mahasiswa-mahasiswa internasional ini berjuang membersihkan ceker ayam yang sangat kotor itu. Mereka mengguyur sendi kuku ceker ayam itu dengan air panas lalu sendi kuku itu dibacoki dan dibuang. Lalu diguyur dibawah air kran yang sangat panas. Kemudian kulit luarnya dicopoti satu demi satu. Lalu dicuci lagi berkali-kali dengan air panas. Setelah bersih, barulah ceker ayam itu dirapikan dalam kantong-kantong plastik dan disimpan di dalam kulkas. Kulkas jumbo yang ada di asrama mereka pun penuh dengan ceker ayam. Pak Andar mengakui bahwa dia dan teman-temannya bukanlah para lelaki yang pandai memasak, namun keadaaan memaksa. Maka jadilah mereka yang sedang digembleng untuk menjadi dosen teologi berubah menjadi chef yang pandai bereksperimen dengan bahan baku ceker ayam. Ada yang masak sup ceker ayam, tim ceker ayam, tumis sawi ceker ayam dan lain-lain. Menurut Pak Andar, jangan bandingkan masakan para mahasiswa calon dosen teologi ini dengan kualitas depot..kalah jauh...tapi lumayan enak dan murah karena si ceker ayam kan gratis.

Well, ceker ayam itu dibuang oleh masyarakat di beberapa tempat. Tidak disukai, dianggap tidak bersih, menjijikan, jorok, tidak bergizi dan bahkan di beberapa kebudayaan di Indonesia, bahkan makan ceker ayam itu dianggap tabu, pamali. Ada yang bilang katanya tulisannya bisa jelek kayak ceker ayam (saya tidak suka makan ceker ayam, tapi kok tulisan tangan saya tetap jelek ya), ada yang bilang kalau suka makan ceker ayam, lama-lama kuku jarinya mirip ceker ayam (wah, salon manicure dan pedicure laris manis ini hehehehe...). Tapi ada juga mitos yang bilang kalau makan ceker ayam, maka kakinya kuat kayak ayam karena ayam gak pernah duduk, berdiri mulu. Apapun itu mitos, tabu dan pamali yang menyekitari si ceker ayam tetap saja ada orang-orang yang menganggapnya sebagai limbah.

Tapi ketika sebagian orang mencap ceker ayam sebagai limbah, ternyata masih ada orang-orang yang memanfaatkan limbah itu. Ada yang memanfaatkannya karena suka, karena desakan ekonomis, dan karena kepepet tidak ada sumber protein hewani lainnya yang bisa dimakan. Terlepas dari apapun motivasinya seseorang memakan ceker ayam yang dianggap limbah, ada sesuatu yang menarik disini yaitu apa yang dianggap tak berarti...apa yang sudah dibuang oleh orang lain...apa yang dianggap buruk...apa yang dianggap tidak enak...ternyata bagi orang lain bisa dianggap berarti...berharga...baik..dan enak. Jadi persoalannya adalah perspektif kita dan hidup ini kan memang paradoks dan bersifat relatif atau nisbi.

Dari ceker ayam dan Pak Andar dkk., saya belajar untuk melihat hidup saya itu tidak dalam satu warna saja. Belajar untuk tidak menganggap pergumulan saya, penderitaan yang saya alami, dan kemampuan yang saya miliki sebagai sesuatu yang paling buruk, paling memberatkan. Bisa jadi saya menganggap diri tidak berarti...tidak bisa melakukan suatu hal yang orang lain bisa...tetapi jangan-jangan apa yang saya anggap sebagai sebuah kelemahan, di mata orang lain justru itu suatu kekuatan saya. Bisa jadi saya menganggap penderitaan yang saya alami itu sebagai yang paling hebat yang paling berat, tapi jangan-jangan orang lain justru menimba kekuatan dan semangat lewat penderitaan hidup yang saya jalani. So, hidup ini paradoks...hidup ini bersifat relatif...hidup ini punya banyak spektrum warna...jangan hanya menilai dan melihat dari satu perspektif dan kemudian kita terpuruk dibuatnya...apa yang kita anggap sebagai kelemahan, bisa jadi dianggap orang lain sebagai berkat... kuncinya terletak bagaimana cara kita memandang hidup ini...

Hidup ceker ayam--sorak sorai bagi para pecinta ceker ayam dimanapun Anda berada hehehehehe

 

 

Senin, 25 April 2011

Y. Defrita R.

Secarik Kertas

Sebelum berangkat stage bulan Januari 2009, saya dan beberapa stagewan dan stagewati mengadakan retret di daerah Temanggung. Ya namanya saja retret-mundur sejenak dari rutinitas-maka hari-hari retret itu diisi dengan permenungan-permenungan. Suatu malam kami mengadakan ibadah malam ya hampir mirip semacam ibadah meditatif. Satu per satu kami maju dan bersimpuh di depan salib Yesus. Nyaris semua menangis tatkala harus bersimpuh di depan salib Yesus. Kegentaran...kekawatiran...ketakutan...kecemasan...kepasrahan berpadu menjadi satu dan akhirnya pecahlah tangis itu. Barangkali itu pula yang dialami oleh Yesus ketika bersimpuh di dalam doa di taman getsemani. Setelah bersimpuh menaikkan doa pribadi, kami semua kembali duduk dan Pdt. Stefanus meminta kami untuk menuliskan kata-kata yang mengobarkan semangat, doa atau apapun yang harus kita tuliskan dan kita berikan pada satu orang teman kita. Saya menerima tulisan dari seorang teman yang duduk di sebelah kiri saya. Orangnya sederhana dan bersahaja, tetapi kalau sudah berkotbah, takjub dan takzim kami dibuatnya. Belum lagi kalau dia sedang nembang atau menyanyi, damai kami rasa. Teman saya ini asli dari Kutoarjo, sangat mendetani, begitu kesan pertama yang nampak dari tampilan fisiknya. Namanya Adhika Tri Subowo. Kalau orang lain sudah memiliki account jejaring sosial, dia cuma punya email. Maka komunikasi saya dengannya hanya lewat email saja, itu pun jarang-jarang. Sekarang saya tidak tahu dia di mana. Sebab setelah lulus, dia langsung nyemplung gereja.

Kembali ke bulan Januari 2009. Tanpa diduga, Adhika memberikan secarik kertas bertuliskan sesuatu degan tinta ballpoint yang memudar pula. Sungguh perjuangan untuk membaca tulisannya dengan cahaya lilin semata. Tetapi ketika saya baca satu per satu kalimat yang dia torehkan di sana, saya terharu. Kurang lebih begini isi tulisannya:

"Ketika kamu sudah memberikan apa yang kamu mampu, dan itu sudah benar-benar seluruhnya yang sanggup kamu berikan...orang akan meragukanmu...orang akan melupakanmu...orang akan mencercamu...tetapi ingatlah bahwa DIA tahu segala proses dan jerih lelahmu yang mereka tidak tahu....bahkan ketika tidak ada seorangpun yang menghargai karya pelayananmu...ingatlah DIA yang tersenyum memandangmu..."

Kata-kata yang dia tulis di secarik kertas itu saya simpan di buku agenda saya dan saya bawa selama saya stage 6 bulan. Dan benarlah, ketika saya merasa "down", tulisan itu kembali menguatkan saya...bahwa DIA yang memiliki Ladang, tahu lebih banyak tentang jerih lelah proses yang harus saya tempuh daripada mereka yang meragukan saya, melupakan saya, mencerca saya baik di depan saya atau di belakang saya, dan mereka yang tidak menghargai saya. Berkali-kali tulisan itu diapakai oleh DIA untuk memandang kembali kepada sang empunya ladang yaitu Kristus. Dan sekarang tulisan itu kembali menggema di saat-saat saya merasa terpuruk. Sungguh saya berterimakasih untuk Adhika, seorang teman yang dipakai oleh DIA untuk selalu mengajak saya memandang kepada Kristus sang pemilik Ladang...

 

"Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi seorang  saudara dalam kesukaran" (Amsal 17:17)

terimakasih sahabat....

Sabtu, 23 April 2011

Sunyi

Kemarin duka menggelayut di cakrawala...

gelap datang seketika

pertanda semesta turut berduka.

Kemarin tangis memecah kepiluan..

tetes demi tetes air hujan jatuh ke pangkuan bumi

dalam sebuah gerak yang konstan...

betapa langit dan bumi pedih tak tertahankan

menyaksikan Dia yang tertikam karena pemberontakan kita

Dia memikul kesesangsaraan kita

Dia diremukkan karena kejahatan kita

Dia dianiaya...

Dia ditindas...

Dia dipermalukan...

demi membela sebuah perjuangan pada dasar yang paling bawah dari semua derita dan hinaan

pada inti dari segala tragedi...

dan hari ini semesta bungkam dalam kesunyian paling memilukan di dalam sejarah manusia...

kesunyian yang merasuk ke dalam jiwa

karena hari ini Dia tidak lagi di sini...

kesunyian yang paling menyayat hati...

karena Allah pun memilih untuk diam...

Pesona bunga padang dan cericip burung...

tak lagi memukau...

sebab kesunyian itu meliputi segala abad dan tempat...

betapa hari ini Juruselamat itu diam di dalam kesunyian...

 

 

 

 

 

 

Refleksi Pribadi Sabtu Sunyi

Y.Defrita R.

Darmo Satelit, 23 April 2011

 

l

Jumat, 22 April 2011

Tanda cinta dari Sorga

roti dipecahkan...

anggur dicurahkan...

roti dibagikan...

anggur diedarkan...

demikian yang aku jumpai di gereja...

di sela-sela denting gelas kecil berisi anggur beradu dengan nampan..

dan aroma roti yang beredar...

aku bertanya-tanya, "Apa yang ada di dalam benak-Mu wahai Yesus junjunganku?"

apa yang ada dalam pikir-Mu ketika orang terdekat justru mengkhianati-Mu?

apa yang ada di hati-Mu ketika semalaman penuh Engkau digiring ke sana dan ke sini

demi sebuah konspirasi?

apa yang Kau rasakan waktu tak ada seorangpun murid-murid-Mu mendampingi-Mu?

apakah Kau takut?

apakah Kau sedih?

apakah Kau kesepian?

Ya Tuhan,

barangkali sesah yang Kau tanggung

cambukan yang Kau terima

caci maki yang menyelusup ke telinga-Mu

dan kelelahan yang mendera

masih bisa Kau tahankan...

tapi...

tiadanya dukungan dari mereka yang Kau cintai...

tiadanya penghiburan bagi-Mu

barangkali jauh lebih menyayat hati-Mu...

Ya Tuhan,

terduduk disini diantara deretan sesamaku

memandang salib-Mu kosong...

aku tertunduk malu...

selama ini aku berteriak "Tuhan dimana? "

selama ini aku mengeluh, "Tuhan meninggalkanku."

ampuni aku...

bukan Kau yang dimana...

tetapi aku yang dimana...

bukan Kau yang meninggalkanku...

tetapi aku yang meninggalkan-Mu...

pun demikian kejam aku bersikap pada-Mu...

hanya tiga kata Kau ucapkan padaku. "Aku cinta kamu."

pun demikian aku sudah meninggalkan-Mu berkali-kali

tiada Kau marah, hanya berkata, "Sekali-kali Aku tidak akan meninggalkanmu."

dan puncak-Nya tanpa banyak kata

Kau terpaku di salib...

itulah kata cinta terindah bagi ku...bagi kami...

terimakasih Tuhan...

 

 

 

 

 

Refleksi good friday

Y. defrita R.

Darmo Satelit, 22 April 2011

Kamis, 21 April 2011

Ampun...susahnya berjaga-jaga dengan-Mu!

Tinggalah bersama Aku di dalam doa...

di dalam doa...

Tuhan...

Tiada letih Kau ajak kamiberteduh

bolak-balik Kau tepuk pundak kami

tiada marah di wajahMu

hanya sebentuk pilu

karena kamitak sanggup berjaga-jaga dengan-Mu...

Tinggalah bersama Aku di dalam doa...

di dalam doa...

Sekali lagi Kau beringsut mendekati kami

sekali lagi kami tampik usapan-Mu

tiada nada marah di dalam suara-Mu

hanya melodi luka yang menguak

karena kami lebih memilih terbuai dalam tidur

dari pada berjaga-jaga dengan-Mu...

Tinggalah bersama Aku di dalam doa...

di dalam doa...

duh, Tuhan...erang kami marah!

tak bisakah Kau biarkan kami  istirahat barang sejenak? keluh kami...

tiada Kau geram...

walaupun erang dan keluhan kami  membuyarkan teguran-Mu,"tak bisakah kalian berjaga-jaga barang sejenak?"

Tinggalah bersama Aku di dalam doa...

di dalam doa...

Malam ini Kau berdoa...

malam ini kami terbuai mimpi...

malam ini Kau ajak kami turut serta dalam doa-Mu...

malam ini kami tampik undangan-Mu...

Ampuni kami ya Tuhan...

ampuni kami yang tidak pernah sanggup Kau ajak berjaga-jaga...

ampuni kami yang tidak pernah ikhlas memberikan waktuku untuk bersama dengan-Mu...

ampuni kami yang tidak pernah tahan satu jam bersama-Mu...

ampuni kami karena kami tahu apa yang aku lakukan...

membuat-Mu pilu...

membuat-Mu luka...

tanpa pernah Kau lampiaskan pada kami..

Tinggalah bersama Aku di dalam doa...

di dalam doa...

teladan sudah Kau beri

dan kini barulah kami mengerti...

Kau sanggup menanggung semua derita dunia dalam pundak-Mu

karena Kau  berjaga-jaga di dalam doa...

sungguh lain dengan kami punya tingkah...

Ya Tuhan Yesus...

bantulah kami untuk turut serta dalam doa bersama-Mu

bantulah kami untuk mau berjaga-jaga dengan-Mu...

karena hanya dengan bertelut bersama dengan-Mu

kami memiliki kekuatan untuk berjalan...

Tinggalah bersama Aku di dalam doa...

di dalam doa...

 

 

 

 

 

 

 

 Y.Defrita R.

Refleksi pribadi Malam Getsemani-Kamis Putih

Darmo Satelit, 21 April 2011

 


 



 

Kartini's Day ^^

Saya masih ingat setiap tanggal 21 April, saya yang masih SD bersama dengan jutaan anak-anak SD di seluruh pelosok Indonesia memperingati HARI KARTINI. Salon-salon dan penyewaan pakaian adat laris manis bak kacang goreng. Sedari pagi, para orangtua disibukkan dengan antar anak ke salon, siapkan bekal dan menemani anak-anak berparade dengan pakaian adatnya masing-masing. Ada yang memilih menggunakan kebaya putih, sanggul cemplon di belakang dan make-up yang niscaya jauh dari kesang anggun hanya untuk merepresentasikan sosok Kartini. Ada pula yang memakai baju dari Sulawesi, Kalimantan, Ambon, dan masih banyak lagi. Dan siaplah kami berparade keliling jalan protokol dengan kostum dan aneka atribut yang mewakili sekolah masing-masing. Dulu saya masih ingat, yang ikut berparade itu hanya anak-anak perempuan saja. Dulu, saya tidak merisaukan hal ini. Pokoknya mah dibawa enjoy aja. Tetapi sekarang saya bertanya-tanya, "Dulu itu pada kemana ya anak-anak lelaki?, lho emangnya yang ngrayain hari Kartini cuman khusus anak-anak perempuan aja yah? terus apa sih sebetulnya yang diperjuangkan oleh Kartini?" Coret-coretan saya kali ini mau membahas tentang sekelumit riwayat Raden Ajeng Kartini, Emansipasi, dan Potret perempuan Indonesia...hitung2 mengenang perjuangan dan pemikiran R.A. Kartini :)

Raden Ajeng Kartini-riwayatmu dulu...

Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Raden Ajeng Kartini lahir dalam keluarga bangsawan Jawa di Tanah Jawa saat masih menjadi bagian dari koloni Belanda, Hindia Belanda. Ayah Kartini, Raden Mas Sosroningrat, menjadi Kepala Kabupaten Jepara, dan ibunya adalah istri pertama Raden Mas ‘, poligami adalah praktik umum di kalangan bangsawan.

Ayah Kartini, RMAA Sosroningrat, pada awalnya kepala distrik Mayong. Ibunya MA Ngasirah, putri dari Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara, dan Nyai Haji Siti Aminah. Pada waktu itu, peraturan kolonial ditentukan bahwa Kepala Kabupaten harus menikahi seorang anggota bangsawan dan karena MA Ngasirah bukanlah bangsawan yang cukup tinggi.

 Ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah perkawinan kedua ini, ayah Kartini diangkat untuk Kepala Kabupaten Jepara, menggantikan ayahnya sendiri istri keduanya, RAA Tjitrowikromo.

Kartini dilahirkan dalam keluarga dengan tradisi intelektual yang kuat. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun sementara Kakak Kartini, Sosrokartono adalah seorang ahli bahasa.

Keluarga Kartini mengizinkannya untuk menghadiri sekolah sampai dia berumur 12 tahun, di antara mata pelajaran lain, ia fasih berbahasa Belanda, suatu prestasi yang tidak biasa bagi wanita Jawa pada waktu itu.

Setelah berusia 12 tahun ia harus berdiam diri di rumah, aturan di kalangan bangsawan Jawa pada masa tersebut, tradisi untuk mempersiapkan para gadis-gadis di usia muda untuk pernikahan mereka. Gadis pingitan yang tidak diizinkan untuk meninggalkan rumah orangtua mereka sampai mereka menikah, di mana titik otoritas atas mereka dialihkan kepada suami mereka.

Ayah Kartini memberikan keringanan kepadanya selama pengasingan putrinya, memberikan hak istimewa seperti memberikan pelajaran menyulam dan kadang-kadang tampil di depan umum untuk acara khusus.

Biografi Raden Ajeng Kartini
Selama pengasingan itu, Kartini terus mendidik dirinya sendiri. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, ia mendapatkan beberapa teman pena Belanda. Salah satu dari mereka, seorang gadis bernama Rosa Abendanon, menjadi temannya sangat dekat. Buku, surat kabar dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa, dan memupuk keinginan untuk memperbaiki kondisi perempuan pribumi, yang pada waktu itu memiliki status sosial yang sangat rendah.

Kartini membaca surat kabar Semarang De Locomotief, disunting oleh Pieter Brooshooft, serta leestrommel, sebuah majalah yang diedarkan oleh toko buku kepada para pelanggan. Dia juga membaca majalah budaya dan ilmiah serta majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie, yang ia mulai mengirim kontribusi yang diterbitkan. Dari surat-suratnya, jelas bahwa Kartini membaca segala sesuatu dengan banyak perhatian dan perhatian. Buku-buku yang telah dibacanya sebelum ia berusia 20 tahun dimasukkan oleh Max Havelaar dan Surat Cinta oleh Multatuli. Dia juga membaca De Stille Kracht (The Hidden Force) oleh Louis Couperus, karya-karya Frederik van Eeden, Augusta de Witt, penulis Romantis-feminis Mrs Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah novel anti-perang oleh Berta von Suttner, Waffen Nieder mati! (Lay Down Your Arms!). Semua berada di Belanda.

Keprihatinan Kartini tidak hanya dalam bidang emansipasi wanita, tetapi juga masalah-masalah masyarakatnya. Kartini melihat bahwa perjuangan bagi perempuan untuk memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum itu hanya bagian dari gerakan yang lebih luas.

Orangtua Kartini mengatur pernikahannya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Kepala Kabupaten Rembang, yang sudah memiliki tiga istri. Dia menikah pada tanggal 12 November 1903. Ini bertentangan dengan keinginan Kartini, tetapi dia setuju untuk menenangkan ayahnya yang sakit. Suaminya mengerti tujuan Kartini dan memungkinkannya untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks Kantor Kabupaten Rembang.

Kartini melahirkan seorang anak hasil pernikahannya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Kepala Kabupaten Rembang pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25. Dia dimakamkan di Desa Bulu, Rembang.

Terinspirasi oleh contoh Kartini, keluarga Van Deventer mendirikan Yayasan Kartini yang membangun sekolah untuk perempuan, ‘Sekolah Kartini’ di Semarang pada 1912, diikuti oleh sekolah-sekolah perempuan lain di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.

Sebagian besar dari kita hanya memahami Kartini sebatas kulit luarnya saja. Hanya sibuk dandan dan sewa pakaian lalu berlagak seperti Kartini di sepanjang jalan protokol. Sehingga tidak salah jika hari Kartini selalu identik dengan kebaya, kain jarit, konde dan pakaian adat yang lain. Atau yang lebih sedikit berbobot ya, setiap orang tahu kalau tanggal 21 April itu kita memperingati hari Kartini sebagai pahlawan emansipasi perempuan.  Sebagian besar dari kita tidak tahu perjuangan Kartini membangun peradaban bangsa Indonesia dalam kaitannya menciptakan ruang demi keleluasaan perempuan untuk berkiprah.
Padahal spirit perjuangan Kartini sungguh luar biasa, tidak hanya membebaskan perempuan dari bebatan belenggu adat yang memasung mereka selama berabad-abad, namun dia menciptakan ruang di bangsa ini demi keleluasaan perempuan dalam berkiprah bersama lelaki dalam relasi yang sederajat. Maka perjuangannya dalam menghapuskan diskriminasi adalah sebuah perjuangan untuk meletakkan pondasi bagi bangsa ini agar kelak bangsa ini hidup dan berkarya dalam relasi yang egaliter.
Drs Hadi Priyanto MM, penulis buku Kartini Pembaharu Peradaban, Kepala Bagian Humas Setda Jepara mengatakan demikian, 
Dalam surat-suratnya yang sangat panjang selama hampir 5 tahun, termasuk 2 notanya kepada pemerintah Hindia Belanda,  kita juga dapat belajar tentang paham nasionalisme yang disuarakan nyaring oleh Kartini. Juga perlawananya kepada kolonialisme yang dituduh Kartini berkeinginan agar bangsa Bumiputera tetap miskin dan bodoh sehingga tetap bisa dikuasai.

Karena itu Kartini telah ikut meletakkan fondasi dan spirit bagi perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kartini telah ikut menyemai tumbuhnya bunga-bunga nasionalisme dan patriotisme di tengah-tengah bangsa Bumiputera yang terjajah ratusan tahun. Dengan caranya sendiri, ia telah ikut mengobarkan api perjuangan dan keberanian melawan kolonialisme lewat ujung penanya..

Tak hanya Pahlawan Emansipasi yang layak disandangnya tetapi  ia juga layak mendapatkan anugrah sebagai Ibu Nasionalisme. Sebab jauh sebelumnya pergerakan itu menemukan momentumnya pada 1908, Kartini telah lebih dahulu melakukannya. Apa yang  dilakukan tidak hanya mampu memberikan inspirasi terhadap pejuang pergerakan Indonesia dan rakyat Bumiputera tetapi telah menumbuhkan  keberanian melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Memikul Beban Pokok-pokok pikiran Kartini pada tanggal 24 Desember 1911 telah diterima secara aklamasi sebagai richtsnoer atau  pedoman perjuangan Indische Vereeniging di Belanda, tempat berhimpunnya para mahasiswa Indonesia. Tahun 1924 organisasi ini  diganti dengan Perhimpunan Indonesia yang menjadi salah satu pelopor utama pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Sementara di Tanah Air terbitnya buku Door Duisternistot Licht  yang berisi kumpulan surat Kartini   disambut hangat oleh para tokoh pergerakan. Bahkan ada tanggal 24 Mei 1912, di surat kabar milik Dr Douwes Dekker, De Express, Dokter Tjipto Mangunkusumo menegaskan tiap halaman surat Kartini tertuang keinginan, harapan, dan perjuangan untuk mengajak bangsanya bangun dari tidurnya yang panjang yang telah beratus-ratus tahun.

Jauh sebelum Jong Java dideklarasikan tahun 1915 dengan nama Tri Koro Dharmo, 12 tahun sebelumnya dalam suratnya kepada Ny Ovink Soer tahun 1903, Kartini sudah mengungkapkan tentang para aktivis Jong Java yang menyebut Kartini dengan panggilan ayunda, tempat mereka mencurahkan persoalan dan keyakinannya  akan datangnya zaman baru  yang hanya bisa dicapai dengan persatuan para aktivis perjuangan.

Karena itu pewarisan nilai, semangat juang, dan pemikiran Kartini dirasakan perlu, bukan saja untuk menjaga agar momentum peringatan tidak salah arah dan terjebak dalam acara seremonial yang kurang bermakna melainkan agar dalam setiap zaman muncul anak-anak ideologis Kartini yang berani memikul beban zaman.

Agar upaya pewarisan itu bisa berjalan baik, sekolah bisa mengambil peran konstruktif dan edukatif dengan memasukkannya dalam muatan lokal. Termasuk pewarisan melalui organisasi perempuan yang sering kali bangga menyebut dirinya pewaris semangat Kartini.

Selain itu, jika kita menilik surat-surat Kartini-tentu saja bukan saya yang mbaca suratnya, lha wong saya ndak bisa boso londo kok-tapi dari memunguti informasi yang bertebaran, beginilah kurang lebih pokok-pokok pembahasan Kartini di dalam suratnya,

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.(sumber: wikipedia)

Inilah sekelumit tentang Kartini,pemikirannya, pilihannya dan segenap paradoks yang dia tampilkan. Terlepas dari pro kontra dan ketegangan yang terpotret dalam hidupnya dulu dan kini, kita patut berbangga kalau Indonesia pernah memiliki seorang perempuan kritis seperti Kartini.

R.A. Kartini, Emansipasi, dan Perempuan kini...

Saya googling dan menemukan arti kata emansipasi ini dari Mbah wikiped, demikian beliau bertutur, "

Emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu.

Di antara lainnya, Karl Heinrich Marx membahas emansipasi politik dalam esainya Zur Judenfrage (Tentang Masalah Yahudi), meski sering di samping (atau bertentangan dengan) istilah emansipasi manusia. Pandangan Karl Marx tentang emansipasi politik dalam karya ini diikhtisarkan oleh seorang penulis seperti memerlukan "kesamaan derajat warganegara perseorangan dalam hubungannya dengan negara, kesamaan di depan hukum, tanpa memandang agama, harta benda, atau ciri orang perorang 'pribadi' lainnya."[1]

"Emansipasi politik" sebagai frase kurang umum dalam penggunaan modern, khususnya di luar konteks akademik, asing, ataupun aktivis. Namun, konsep serupa dapat disebut dengan istilah lain. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, gerakan HAM yang memuncak dalam UU Hak Suara 1965, dapat dipandang sebagai realisasi lanjutan atas peristiwa seperti Proklamasi Emansipasi dan penghapusan perbudakan seabad sebelumnya.

Selama ini kata emansipasi memang selalu disematkan, dikaitkan dengan sepak terjang Kartini. Nyaris semua organisasi yang mengaku menjiwai spirit Kartini pasti mendengungkan semangat emansipasi. Emansipasi yang seperti apa sih? Apakah sekedar keterbukaan dimana perempuan sekarang dapat bersekolah sampai setinggi-tingginya langit? atau kini perempuan sudah bisa memasuki sektor yang dulunya di dominasi kaum lelaki? atau karena kita pernah punya presiden perempuan dan menteri perempuan yang handal dan mumpuni? apakah itu emansipasi?
Barangkali kalau ditilik daricontoh-contohnya ya bisalah itu dibilang emansipasi..namun saya cenderung melihat sesuatu yang bukan tampak luarnya saja bermerk emansipasi. Apakah itu? yaitu kerangka berpikir yang masih androsentrisme. Kerangka berpikir ini yang pada akhirnya masih mempengaruhi cara pandang dan cara bersikap dari sebagian besar orang-orang di Indonesia (khususnya). Kerangka androsentrisme tidak hanya melulu melekat pada lelaki tetapi perempuan sekalipun bisa memiliki kerangka berpikir androsentrisme yang mengaminkan patriarki. Sehingga baik lelaki maupun perempuan yang memiliki kerangka berpikir androsentrisme adalah mereka yang masih mempertahankan dominasi patriarki entah secara terang-terangan atau gelap-gelapan.

Dengan demikian perjuangan emansipasi bukan hanya sekedar bicara soal kita dulu pernah punya presiden perempuan, menteri perempuan, sekian persen kursi di DPR diduduki oleh perempuan, bukan sekedar bicara kalau kita sudah memberikan "jatah" pada perempuan untuk berkiprah di kancah politik secara egaliter dengan perempuan...bahwa kita sudah memberikan ruang kepada perempuan di dunia politik dan kebijakan negara ya memang...tetapi kan bicara soal emansipasi bukan sekedar bicara soal prosentase perempuan di panggung politik saja. Hal yang mendasar justru tidak tersentuh yaitu membongkar kerangka berpikir androsentrisme dan menggantinya dengan kerangka berpikir holisme egaliterian yang membabat dominasi patriarki dan menjunjung relasi yang egaliter atas semua ciptaan.

Dan saya pikir perjuangan yang hendak digemakan dulu oleh Kartini adalah persoalan meletakkan pondasi holisme egaliterian sehingga lelaki dan perempuan itu sederajat dan memiliki kesempatan/peluang yang sama. Tetapi tokh kita juga musti jujur mengakui bahwa ini sebuah idealism tingkat tinggi. Sudah terlalu lama kita berada di balik tembok patriarki yang membuat kita tidak lagi kritis dan enjoy dengan zona ini. Masih banyak perempuan yang nyaman dijadikan warga kelas dua, haknya direbut, suaranya dibungkam, tubuhnya dijajah. Dan masih banyak lelaki yang merebut hak, membungkam suara, dan menjajah tubuh perempuan. Lalu apa makna dari pemikiran2 dan perjuangan R.A. Kartini? akankah tanggal 21 April hanya akan diisi oleh perayaan seremonial belaka yang mengarak anak-anak perempuan dengan kostum dan make-up di sepanjang jalan protokol? akankah makna perjuangan dan pemikiran Kartini hanya sampai pada pencapaian bahwa kita pernah punya presiden dan menteri keuangan perempuan? Barangkali kita perlu mengkaji dan memaknai ulang peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April sehingga spirit yang diperjuangkan dan dipikirkan Kartini dulu itu tetap hidup namun kontekstual terlepas dari sosok Kartini yang paradoksal...

Peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April bukan sekedar euforia pawai anak-anak perempuan dengan pakaian adat...bukan sekedar pidato-pidato tentang perempuan yang diulang-ulang dan selalu begitu isinya..bukan melulu bicara soal emansipasi yang sebagian besar dari kita tak tahu apa maknanya...bukan juga bicara soal kuota bagi para perempuan di kancah politik...tetapi mari kita bicara tentang androsentrisme yang mendarah daging dalam diri perempuan dan laki-laki yang terjebak dalam bingkai patriarki...mari kita bicara bagaimana caranya menyingkirkan dominasi patriarki...mari kita berjuang untuk mewujudkan gaya hidup holisme egaliterian..kita dibawa pada sebuah transformasi kesadaran yang radikal terhadap cara bagaimana kita memandang diri sendiri, relasi kita satu sama lain dan relasi kita dengan bumi ibu pertiwi kita. Pemaknaan semacam ini menawarkan pertobatan budi dan hati dari dualisme hierarkis dan antroposentrisme serta kerangka androsentrisme yang pada umumnya dianggap selalu benar kepada compassion-communio, solidaritas, berbagi hidup yang menjadi dasar relasi kehidupan yang harus dibangun oleh manusia modern dewasa ini untuk melawan kecenderungan memiliki semua...menumpuk semua...mengambil semua....menjajah semua....merampas semua dan membeli semua...Selamat menghayati dan menggali pemaknaan peringatan Hari Kartini... :)

Y.Defrita.R
Darmo, 21 April 2011

Selasa, 19 April 2011

Kar'na Kasih

Ada seorang anak lelaki berusia 10 tahun sedang berlibur bersama kedua orang tuanya dan seorang kakaknya di sebuah hotel. Hotel ini sangat indah, di kelilingi oleh tiga bukit dan hamparan kebun teh berhawa sejuk. Memang sungguh nikmat melepas lelah dengan berlibur ke tempat sejuk seperti itu.  Suatu pagi, mereka sarapan di serambi samping hotel yang persis menghadap ke arah tiga bukit itu. Anak lelaki berusia 10 tahun ini sangat tertarik dengan ketiga bukit itu. Padahal kalau dibandingkan dengan bukit-bukit yang lain, ketiga bukit ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bukit-bukit tinggi yang elok di Eropa sana. Tapi pagi itu anak ini menemukan sesuatu di ketiga bukit itu yang pasti tak dimiliki oleh bukit-bukit yang lain. Pada masing-masing bukit berdiri satu tempat ibadah. Di bukit sebelah kana, ada kuil Hindu yang dibangun tinggi di lerengnya, di bukit tengah ada bangunan mesjid, dan di bukit sebelah kiri ada bangunan gereja.

Keesokan harinya terdorong oleh rasa penasaran maka anak ini berpamitan ingin jalan-jalan. Namun dia justru melangkahkan kaki ke bukit yang sebelah kiri. Jangan tanya kenapa, dia sendiri tak tahu. Di tiba di depan pintu pastori. Pintunya terbuka. Dia mengintip ke dalam, tapi dia sembunyi lagi. Ada papan kecil bertuliskan nama penghuni pastori dan statusnya ada di tempat atau tidak. Dan hari itu tulisan yang tertera adalag "ada di tempat". Anak ini masih tidak berani masuk. Dia mengintip dari jendela. Dia menyaksikan seorang lelaki sedang membaca buku tebal, di mejanya penuh buku, dan lembaran-lembaran kertas. Sesekali dahi lelaki itu mengkerut dan sesekali dia menyeka keringatnya. Lalu anak ini berjalan ke arah gereja. Pintu gereja sedang dibuka. Dia masuk ke dalam. Dinding dalam gereja bercat biru muda pucat, berderet-deret kursi kayu tua, kaca jendela warna-warni dengan gambar-gambar yang tidak dikenali si anak. Dan pada bagian altar, dia menyaksikan salib besar dengan seorang lelaki tergantung di sana. Dia takut dan sedih melihat lelaki itu. Dia bertanya mengapa lelaki itu harus disalib, tidak adakah yang mau menolong dia? Anak ini sangat penasaran namun tidak tahu harus bertanya pada siapa. Maka dia pun kembali lagi ke hotel dengan tanda tanya berkelebatan di kepalanya. Dia tak berani bertanya pada orangtuanya.

Keesokan harinya setelah sarapan, kembali dia pamit ingin jalan-jalan sendiri. Sekali lagi, dia lari ke arah bukit sebelah kiri. Kali ini dia tak mau pulang dengan mengandung tanda tanya yang sungguh membuat dia enggan makan padahal sajian hotel sangat nikmat berselera dan membuat tidur tak nyenyak. Dia sudah berniat untuk bertanya pada siapapun orang yang dia jumpai di gereja itu. Sesampainya di gereja, dia segera masuk ke dalam.Dia memberanikan diri melangkah dan mengamat-amati setiap detail di dalam gereja dengan seksama. Namun selalu saja pikirannya melayang ke arah lelaki yang di salib itu. Di tengah kekhusyukannya mengamati itu, pundaknya ditepuk oleh seorang lelaki. Dia menengok, agak takut, namun segera dia tersenyum. Lelaki itu adalah pendeta yang bertugas di gereja tersebut. Alih-alih takut dimarahi, si anak justru senang karena si pendeta mengajaknya ke pastori.

Di dalam pastori itu si anak dijamu dengan teh dan biskuit juga manisan pemberian jemaat setempat. Anak ini sangat terkesan dengan keramahan si pendeta. Setelah berbincang cukup lama termasuk berbincang tentang sosok Yesus Kristus. Akhirnya si anak berani bertanya, "Apa? manusia berdosa, tapi yang menanggung akibatnya adalah Anak Allah?...ini tidak masuk akal sama sekali. Ini sama seperti, ada singa yang menyelinap masuk ke kandang hewan-hewan lain dan memakan habis mereka, lalu ayahku memanggilku dan berkata bahwa aku harus menjadi tumbal demi kesejahteraan semua. Dan aku tidak menolak justru berkata "Ya ayah" dan ayah menyahut "haleluya"...ah sungguh tidak masuk akal pak pendeta."

Si pendeta menceritakan kisah yang lain lagi yaitu kisah penangkapan dan penyaliban Yesus Kristus. Si anak kembali bertanya, "Apa? Anak Allah itu mau menderita? mau mengalami kemalangan? pengkhianatan dan bahkan penghinaan? tak bisa ku bayangkan dewa sesembahanku merelakan dirinya ditelanjangi, dicambuk, diejek, diseret di jalan-jalan dan disalibkan oleh tangan manusia-manusia biasa. Padahal kan dia Anak Allah. Aku belum pernah mendengar ada dewa yang mau seperti itu. Seharusnya dia bisa pakai kekuatannya sebagai Anak Allah agar tidak mati. Allah seharusnya tidak boleh mati pak Pendeta. " Tetapi si pendeta meyakinkan si anak bahwa Allah orang Kristen membiarkan jelmaan diri-Nya mati. Dengan demikian Allah membiarkan sebagian diri-Nya sendiri mati, sebab jika sang Putra harus mati maka kematian ini tak mungkin direkayasa. Sebab kalau Allah di salib itu adalah Allah yang bersandiwara menampilkan tragedi manusia, maka Kasih Kristus menjadi sandiwara Kristus belaka. Kematian sang Putra adalah sungguhan, bukan sandiwara, demikianlah si pendeta meyakinkan si anak.

Si anak kembali bertanya, "Tetapi mengapa harus jalan itu yang dipilih? Kenapa Allah menginginkan hal seperti itu terjadi pada-Nya? Kenapa kematian itu tidak untuk manusia-manusia saja?" Si pendeta menjawab,"Kasih". Si anak bertanya, " Kenapa pula Anak Allah mau menanggung rasa lapar? menderita kehausan?bisa merasa lelah? sedih, cemas, dibelenggu, dilecehkan? mengapa dia tidak membuat keajaiban? atau menolong dirinya sendiri?" Si pendeta menjawab, "Kasih".  Si anak berkata, "Anak Allah ini sungguh aneh menurutku karena dia tinggal di daerah yang tidak populer, dia mati sebelum rambutnya memutih. Dia tidak meninggalkan keturunan karena dia tidak menikah. Dia tidak meninggalkan warisan harta, hanya kesaksian yang tidak lengkap tentang kisah hidupnya. Kenapa dia egois? Kenapa dia tidak mau memiliki keturunan seperti dewa-dewi ku?" Si pendeta kembali berkata, "Kasih".

Siang itu si anak kembali dengan perasaan yang semakin membuncah oleh penasaran akan sosok Anak Allah ini. Setiap hari dia terbakar oleh kemaraham terhadap Anak Allah ketika dia menjumpai kisah Yesus mengutuk pohon Ara di Betani. Si anak merasa bahwa Anak Allah ini adalah dewa yang temperamental, egois, aneh,  dan tidak bisa membela dirinya sendiri. Beberapa hari kemudian dia kembali berlari ke arah gereja dan menjumpai si pendeta dan berteriak, "Pak pendeta...aku mau jadi Kristen...tolong aku." Semua orang yang dia lewati dalam perjalanan ke gereja itu berdiri dan menengok dengan penuh tanda tanya, namun si anak terus berteriak seperti itu.  Pendeta menyambutnya di depan gereja. "Pak pendeta, aku mau jadi Kristen." Si Pendeta menjawab, "Kau sudah Kristen, di hatimu...sebab siapapun yang membuka hatinya untuk Kristus berarti dia menjadi Kristen." Si anak ini tersenyum bahagia.  Beberapa tahun kemudian dia dibaptis walaupun orang tuanya keberatan, namun si anak ini menjawab, "Aku hanya ingin mengasihi Kristus". Maka orangtuanya pun hadir dalam acara baptisan itu. Kini ketika dia mengamati sosok Yesus yang disalib di altar gereja, dia tidak lagi takut, dia terharu dengan pengorbanan Kristus dan dia memanjatkan doa-doanya kepada Kristus yang hidup.

Mengapa Yesus  turun dari sorga

masuk dunia g'lap penuh cela

berdoa dan bergumul dalam taman

cawan pahit pun dit'rima-Nya?

Mengapa Yesus menderita didera

dan mahkota duri pun dipakai-Nya?

MengapaYesus mati bagi saya?

kasih-Nya ya kar'na kasih-Nya.

Mengapa Yesus mau pegang tanganku,

bila ku di jalan tersesat?

Mengapa Yesus b'ri ku kekuatan,

bila jiwaku mulai penat?

Mengapa Yesus mau menanggung dosaku,

b'ri ku damai serta sukacita-Nya?

Mengapa Dia mau melindungiku?

Kasih-Nya ya kar'na kasih-Nya.

 

Y.Defrita.R

Darmo, April 2011

Senin, 18 April 2011

Sebuah Jeda

Di antara banyaknya aktivitas yang tertanda di buku agenda...

pikiranku melayang ke kejadian itu

dalam hari-hari menjelang kematian-Mu

apakah gerangan yang ada di benak-Mu wahai Yesus?

apakah Kau cemas?

apakah Kau takut?

apakah Kau tahu akan dikhianati?

bagaimana perasaan-Mu kala itu?

Dari kesaksian Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes

Kau dikabarkan mengisi hari-hari menjelang kematian-Mu dengan tetap berkarya

mengajar dan menyembuhkan

berkotbah dan memulihkan...

adakah Kau sedih kala itu?

apakah Kau tahu bahwa jalan yang Kau pilih itu dinilai bodoh dan lemah oleh mereka?

sungguh aku tidak mampu membayangkan beragam ekspresi yang barangkali berkecamuk dalam dada-Mu...

sungguh aku tidak mampu membayangkan senyum yang Kau tebar kepada mereka yang hari itu berteriak "Hosana..hosana!" dan beberapa hari kemudian berseru kesetanan, "Salibkan Dia! Salibkan Dia!"

Merenungkan-Mu siang ini...

membuatku bercermin diri...

bukankah aku seringkali sulit tersenyum ketika berhadapan dengan mereka yang tidak menyenangkan?

bukankah aku seringkali sulit untuk tetap tegar dalam berkarya?

bukankah aku seringkali mudah merasa cemas?

bukankah aku seringkali sulit mengampuni mereka yang pernah mengkhianati aku?

Merenungkan-Mu siang ini...

membuatku berbisik...

"Ya Kristus Tuhan ku...berjalanlah terus di depanku...supaya aku ikut langkah-Mu satu per satu..."

 

day by day...day by day

o dear Lord this is what i pray

to see Thee more clearly

to love Thee more dearly

follow Thee more nearly....

day by day....

follow Thee more nearly....

day by day....

amin....

 

 

(sebuah jeda di tengah tugas-tugas yang menyenangkan)

Minggu, 17 April 2011

Di Minggu Palma ini...

Enam hari sebelum Paskah

Engkau datang disambut hamparan palem

dan tak lupa tempik sorak para perempuan, lelaki, tua, muda, kecil dan besar

membentuk paduan suara nyaring gegap gempita

"Hosana bagi Anak Daud,

diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan,

Hosana di tempat yang mahatinggi!"

Tak putus-putusnya gelombang sorak itu menyambut kedatangan-Mu.

tetapi sungguh aneh jika saat itu masih ada yang bertanya, "Siapakah Dia?"

Sorak-sorai yang membahana menyambut-Mu barangkali lebih pantas dihaturkan untuk seorang Raja, Pahlawan atau tokoh terkemuka...

sementara Engkau bersahaja dengan menunggang keledai betina...

jauh dari kesan ponggah nan congkak, sarat kehormatan dan tahta...

Kau masuk dalam kesederhanaan-Mu...

 

Enam hari sebelum Paskah...

aku sibuk menyiapkan ini dan itu...

aku sibuk memikirkan dan mengerjakan kotbah-kotbah yang akan ku sampaikan

aku sibuk menyusun jadwal perkunjungan Paskah...

dan dalam kesibukan itulah, aku tersentak...

bukan dengan kotbah yang ku dengarkan...

bukan pula lewat buku yang ku baca...

bukan lewat lagu yang mengalun sedari tadi...

tetapi lewat sebuah kalender yang sudah ku tandai sebagai minggu Palma...

 

Enam hari sebelum Paskah...

di tengah segala kesibukan dan kelelahanku...

aku bertanya-tanya, "Ya Tuhan, jangan-jangan aku tak ubahnya dengan sekumpulan orang-orang di Yerusalem yang dengan antusias menyambut-Mu?"

sungguhkah aku antusias menyambut-Mu?

sunggukah pekerjaan-pekerjaan yang ku lakukan untuk-Mu itu ku lakukan hanya untuk-Mu saja?

sungguhkah aku mengerjakannya dengan kerendahan hati?

Enam hari sebelum Paskah...

aku ingin menyambut-Mu dengan sukacita yang tulus...

aku ingin mengerjakan bagianku dengan rendah hati...

aku mau menghayati penderitaan-Mu...

aku mau meneladani pribadi-Mu yang sederhana nan bersahaja...

walaupun kesibukan dan kelelahan adalah dua sisi sekeping koin dalam seminggu ini...

 

 

terimakasih Tuhan...

amin.

Jumat, 15 April 2011

MENEMUKAN ALLAH

Waktu itu Sang Guru sedang ceramah. Sang Guru berkata, "Kehebatan seorang komponis diketahui lewat nada-nada musiknya tetapi menganalisis nada-nada tersebut tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Keagungan penyair termuat dalam kata-katanya, namun mempelajari kata-katanya tidak akan mengungkapkan inspirasi. Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam ciptaan tetapi dengan meneliti ciptaan secermat apapun kamu tidak akan menemukan Allah. Demikian juga bila kamu ingin menemukan jiwa melalui pemeriksaan cermat terhadap tubuhmu."

Pada waktu sesi tanya jawab, seorang murid bertanya, "Kalau begitu bagaimana kami bisa menemukan Allah?"

Sang Guru menjawab, "Dengan melihat ciptaan, tetapi bukan dengan menganalisisnya."

"Dan bagaimana seseorang harus melihat?"

Sang Guru menjawab, "Seorang petani keluar untuk melihat keindahan pada waktu matahari terbenam, tetapi yang ia saksikan hanyalah awan, matahari, langit dan cakrawala sampai ia memahami bahwa keindahan bukan "sesuatu" melainkan cara khusus melihat. Kamu akan sia-sia mencari Allah sampai kamu memahami bahwa Allah tidak bisa dilihat sebagai "sesuatu". Yang diperlukan ialah cara khusus untuk melihat mirip seperti cara seorang anak kecil yang pandangannya belum diganggu oleh pelbagai ajaran dan keyakinan yang telah dibentuk sebelumnya."

(Anthony De Mello, Berbasa-basi Sejenak 1)

 

Hidup manusia itu tidak linier, tetapi lebih mirip spiral. Ada saatnya kita di atas, ada saatnya kita terjun bebas ke bawah. Pada saat yang sama hidup manusia adalah sekumpulan paradoks yang saling bertentangan, dan apa yang kita harapkan tidak selalu terjadi...apa yang kita inginkan tidak selalu kita miliki. Hal-hal yang nampaknya baik sekalipun kadangkala menyimpan konsekuensi yang tidak menyenangkan. Pendek kata, hidup manusia ini mirip orang yang lagi naik roller coaster. Kadang menanjak sampai musti tahan napas ...kadang meluncur bebas tanpa kendali. Di dalam rupa dan gerak kehidupan yang penuh dengan kejutan itulah muncul sebuah pertanyaan "Bagaimana kita menemukan Allah?" Tulisan yang disampaikan oleh Anthony De Mello ini pernah saya share ke murid-murid katekisasi tatkala kami sedang berdiskusi tentang "apakah Allah ada?".  Tulisan ini merangsang para murid-murid katekisasi untuk menceritakan pengalaman otentik dari hidup mereka tatkala mereka mampu menemukan Allah dalam babak-babak hidup mereka. Sekaligus menantang mereka untuk tetap bisa menemukan Allah dalm episode hidup selanjutnya. Untuk menemukan Allah tidak dibutuhkan metode-metode tertentu atau syarat tertentu misalnya harus lulusan theologi atau seminari.. Menemukan Allah seperti diungkapkan oleh Anthony de Mello adalah soal cara pandang kita terhadap hidup ini, bagaimana kita masih bisa menemukan Allah ketika hidup kita meluncur bebas ke titik yang paling bawah? bagaimana kita masih bisa merasakan Allah ketika yang kita harapkan dan rencanakan tidak terjadi? Ada sebuah kalimat yang saya jumpai dalam sebuah pameran buku di Jogjakarta, kalimat itu ditulis dalam bahasa Jawa yang artinya, "Temukanlah Allah dalam setiap gerak hidupmu". Wuihhh....ini tantangan buat kita semua, entah mereka yang mengklaim diri sebagai para rohaniawan, aktivis ataupun bukan keduanya....menemukan Allah dalam aktivitas harian kita sekalipun aktivitas itu tidak terkait dengan kegiatan gerejawi, menemukan Allah dalam air mata kita, menemukan Allah dalam derai tawa, menemukan Allah dalam sakit, menemukan Allah dalam rasa kehilangan, menemukan Allah dalam setiap warna kehidupan kita....Yang dibutuhkan adalah kepekaan hati yang menolong cara pandang kita dalam melihat kehidupan dan kiprah Allah di dalamnya.

 

Rabu, 13 April 2011

PUASA (Matius 2:18-22)

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Puasa, apa yang ada di benak kita begitu mendengar kata “Puasa”? ada bermacam-macam tanggapan. Ada yang langsung mengkaitkan dengan kegiatan tidak makan dan tidak minum pada waktu-waktu tertentu, pantang terhadap makanan tertentu atau kebiasaan tertentu. Namun saya yakin ada beberapa di antara kita yang juga bingung memaknai puasa a la Kristen. Ada yang bingung apakah pake acara buka dan sahur seperti yang dilakukan oleh umat Muslim? Apakah puasa dapat menjadi sarana agar segala keinginan kita terwujud? Atau mencari pahala?

            Puasa yang dipraktikkan oleh gereja kuna mempunyai makna yang berbeda dengan puasa yang dilakukan agar memperoleh pahala atau puasa dengan tujuan mendapatkan keinginan-keinginan pribadi. Puasa Pra-Paskah ini sedapat mungkin menjadi sarana pembinaan hidup spiritualitas yang sehat yakni pribadi yang seimbang dalam memberikan perhatian kepada Tuhan, sesama dan diri sendiri. Sebab pada umumnya manusia itu mahluk yang egosentris-cenderung memikirkan dirinya sendiri. Tentu ini tidak seimbang. Berpuasa berarti memberi perhatian lebih banyak lagi kepada Tuhan dan kehendakNya serta lebih memperhatikan sesama kita manusia dan alam sekitar.

            Di dalam Perjanjian lama (PL) bahasa ibrani untuk kata puasa yaitu tsum, tsom, dan ‘inna nafsyo memiliki arti harafiah yaitu merendahkan diri dengan berpuasa.  Berikut ini beberapa pandangan di PL mengenai puasa:

·         Orang-orang Ibrani berpuasa pada Hari Pendamaian (Im. 16:29, 31; 23: 27-32; Bil. 29:7).  Di dalam Im. 16:29 dan 31 kata yang dipakai adalah ta’anit yang berarti merendahkan diri. Kata ini memiliki akar kata yaitu ‘ana yang berarti humble dan dari akar kata inilah muncul kata anaw  yang berarti humble dan ani  yang berarti poor. Hari Pendamaian dirayakan pada bulan ke-7 tanggal 10 dan dirayakan setahun sekali. Pada hari tersebut orang-orang merendahkan diri dengan berpuasa dan mengadakan pendamaian dengan Tuhan (Kel. 30:10).

·         Ada juga puasa yang bersifat individual misalnya saja dapat kita temukan dalam 2 Sam. 12:22 dan kadang-kadang dilakukan pula secara bersama-sama (Hak. 20:26).

·         Di dalam PL, berpuasa dimaknai sebagai bukti lahiriah dukacita (1 Sam. 31:13, 2 Sam. 1:12; 3:35; Neh. 1:4) dan pernyataan pertobatan (1 Sam. 7:6; 1 Raj. 21:27; Neh. 9:1-2).  

·         Tak jarang puasa juga dimaknai sebagai ganjaran yang ditimpakan pada diri sendiri selain juga dilakukan agar mendapat bimbingan dan pertolongan Allah (Kel. 34:28; Ul. 9:9; 2 Sam. 12:16-23).

·         Ada pula orang-orang yang berpikir bahwa dengan berpuasa maka dengan sendirinya menjamin bahwa Allah mendengar (Yes. 58:3-4). Untuk menentang hal ini para nabi menyatakan bahwa tanpa kelakuan yang benar, maka tindakan berpuasa adalah sia-sia (Yes. 58:5-12; Yer. 14:11-12; Za. 7).

Namun secara umum, PL memaknai puasa sebagai tindakan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Sekarang bagaimana Perjanjian Baru memaknai puasa? Khususnya perikop Markus 2:18-22…

            Di dalam Perjanjian Baru (PB), bahasa Yunani yang dipakai untuk kata puasa adalah nesteuo, nestesia dan nestis sedangkan di dalam Kis. 27:21, 33 kata yang dipakai adalah asitia dan asitos. baik nestuo, nestesia, nestis, asitia dan asitos sama-sama memiliki arti the state of being very hungry or lack of food for a considerable period of time and as the result of necessity rather than choice. Di dalam PB, satu-satunya puasa yang disinggung adalah puasa Hari Pendamaian (Kis. 27:9). Selain itu, digambarkan bagaimana orang-orang Farisis ketat berpuasa tiap hari senin dan kamis (Luk. 18:12).  Praktik berpuasa yang ketat inilah yang barangkali dijadikan tolok ukur orang-orang Farisi menilai kehidupan murid-murid Yesus yang tidak berpuasa. Namun Yesus memberikan pandangan kritis terhadap praktik berpuasa yang dilakukan semata-mata hanya sebagai sebuah tradisi atau ritual tanpa makna.

            Di dalam perikop yang menjadi bahan PA hari ini, kita dapat melihat bahwa setidaknya disinggung adanya 3 golongan religius di masyrakat saat itu. Ada golongan Farisi, golongan Yohanes dan Yesus serta murid-muridNya. Ke-2 golongan yang disebutkan pertama itu melakukan praktik puasa sedangkan Yesus dan para murid tidak melakukan praktik puasa. Walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Markus, dalam rangka apakah mereka berpuasa. Padahal puasa adalah bagian dari ritual keagamaan sejak jaman PL yang dilaksanakan oleh bangsa Israel. Mengapa murid-murid Yesus tidak berpuasa?? Apakah Yesus dan para muridNya hendak membangkang dari tradisi keagamaan yang sudah mendarah daging itu? Atau Yesus dan para murid hendak mengubah aturan-aturan hukum Taurat? Orang-orang Farisi ini penasaran dengan pendapat Yesus yang melatarbelakangi aksinya untuk tidak berpuasa.

            Yesus menjawab dengan menggunakan perumpamaan mengenai tradisi pernikahan yang diwarnai dengan sukacita. Mempelai, para sahabat dan tamu makan dan minum dengan gembira. Lalu bagaimana mungkin pada saat sukacita seperti itu, para sahabat berpuasa? Melalui perumpamaan ini Yesus mengindentikkan dirinya sebagai Mempelai Laki-laki dan para muridNya sebagai sahabat-sahabat mempelai laki-laki sedangkan keberadaan dan pelayanaan Yesus di muka bumi, Dia hayati sebagai sebuah “Pesta Keselamatan” yang perlu dirayakan dengan sukacita. Pelayanan-Nya di muka bumi dihayati Yesus dengan sukacita bukan dukacita. Lantas apa pendapat Yesus tentang Puasa?

            Jawaban selanjutnya juga masih memakai perumpamaan. Inilah sikap dan pandangan Yesus tentang praktik berpuasa, secarik kain dan anggurnya masih ada artinya puasa juga tetap ada dan perlu dilakukan. Namun sekarang secarik kain itu harus ditambalkan dalam kain yang baru dan anggur dituang dalam kantung yang baru. Puasa dengan penghayatan seperti yang dilakukan oleh orang Farisi yang mengikuti kebiasaan yang dikritik oleh nabi Yesaya (Yes. 58:3-4) harus diganti dengan penghayatan dan konsep puasa yang baru.  Secara tidak langsung, Yesus mengumandangkan kembali apa yang dikatakan nabi Yesaya dalam Yes. 58:6-7 (versi Bahasa Indonesia Sehari-hari) yaitu Inilah puasa yang Kukehendaki: Lepaskanlah belenggu penindasan dan beban ketidakadilan, dan bebaskanlah orang-orang yang tertindas. Bagilah makananmu dengan orang yang lapar, terimalah orang-orang gelandangan di rumahmu. Berilah pakaian kepada orang telanjang, dan jangan menolak saudaramu yang perlu ditolong. Puasa dan keadilan erat kaitannya.  Puasa di dalam Yes. 53:7 menggunakan kata ta’anit yang dikaitkan dengan Mesias yang afflict Himself for the sins of His people. Puasa adalah pengosongan diri agar orang lain (terutama mereka yang menderita dan tertindas) mendapat tempat dalam hati dan hidup kita.  Jadi, puasa bukan lagi sebuah kewajiban agama melainkan suatu kerelaan hati untuk terbuka di hadapan Tuhan dan sesama, dengan belajar mengurangi sikap yang mementingkan diri sendiri.  Puasa = mengurangi sikap mementingkan diri sendiri dan menambah sikap perhatian terhadap Tuhan, sesama dan alam semesta misalnya dengan mengurangi hobby merokok dan menyisihkan uang rokoknya untuk diberikan pada mereka yang membutuhkan, mengurangi kebiasaan shoping dan mengalokasikan dana shoping untuk pengembangan gereja, mengurangi kebiasaan marah, menggosip namun semakin banyak meluangkan waktu untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan. Selain itu mulai peka dengan kondisi lingkungan sekitar, misal dengan belajar untuk taat membuang sampah pada tempatnya, membersihkan saluran atau selokan yang mampet, belajar membedakan sampah plastik, kertas, dan organik, sehingga lingkungan jadi lebih sehat. Pilihan ada pada kita apakah kita akan berpuasa sehari suntuk, atau pakai acara buka dan sahur, atau kita berpantang tidak makan makanan favorit atau pantang untuk melakukan kebiasaan buruk. Tidak masalah bentuknya apa yang terpenting adalah esensinya yaitu, mengurangi sikap mementingkan diri sendiri namun belajar untuk mengutamakan Tuhan, sesama dan alam semesta.

 

Y.Defrita R.

Minggu, 10 April 2011

Berburu Harta Karun

Bila hati terasa berat

tak seorangpun mengerti bebanku

ku tanya Yesus, "Apa yang harus ku buat?"

Dia berfirman, "Mari datanglah!

Dia s'lalu pedulikan aku

ku datang Yesus, Dia pikul s'gala bebanku.

Sujud di altarNya, ku bawa hidupku

ku t'rima anugerahNya

Dia ampuniku dan bebaskanku

Dia ubah hidupku, bah'rui hatiku

sesuatu terjadi saat datang di altar-Nya

 

Tok...tok...tok! Ada suara ketukan dari luar pintu kamar saya. Di balik pintu sudah menunggu seorang pendeta perempuan sekaligus mentor saya yang mengajak saya "berburu harta karun". Ini terjadi 3 tahun lalu ketika saya sedang melayani di sebuah gereja untuk beberapa bulan. Saya sebetulnya agak bingung dengan ajakan beliau untuk berburu harta karun di pagi buta seperti ini. Tetapi dengan beribu tanda tanya di kepala dan nyawa yang masih harus diabsen satu per satu mirip anak sekolah minggu, saya berjalan bersama dia dalam keheningan. Langit masih gelap, waktu itu sekitar pukul 5 pagi tapi langit masih gelap. Kami berjalan dalam kesunyian yang membuat saya merasa tidak nyaman. Setelah berjalan kurang lebih 5 menit, pendeta saya ini bersiul-siul lalu huming suatu lagu yang saya tidak terlalu paham ini lagu apa. Lagi-lagi saya diam. Saya manut saja sama dia, diajak jalan ya hayu...diajak belok ya monggo...betul-betul tidak tahu ini mau kemana dan ngapain. Setelah perjalanan 10 menit barulah saya tahu dia mengajak saya kemana. Dia mengajak saya ke gereja. Tapi tanda tanya itu masih menggelayut. Dalam hati, "Astaga bu...rajin sih rajin bu...eniwei ini kan gak ada jadwal doa pagi...lha ngapain kita ke sini bu...katanya cari harta karun..lha ngapain ke sini.." Dia tersenyum menatap saya lama. Dalam hati saya (lagi), "Haduh...gaswat...jangan-jangan si ibu tahu lagi hati saya ngomong apa...haduh..diem..diem.." Setelah dia membuka pintu gerbang gereja, dia mengajak saya naik ke ruang kebaktian.

Satu tanda tanya sudah terjawab, tapi masih bejibun tanda tanya yang gelantungan di otak saya. Si ibu, "Nik, koranmu dibeber di sini ya." Oh ya saya lupa, tadi si ibu instruksikan saya untuk bawa koran buat dua orang. Waktu dapat instruksi itu saya mikir dalam hati, "Emang sejak kapan sih nyari harta karun pake koran segala...si ibu mah ada-ada aja."  Akhirnya saya bentangkan korang itu di tempat yang dia pilih. Mau tahu dimana? Di gereja tersebut ada altar yang cukup luas dan dingin, dinding depan altar alias belakang mimbar itu ada salib besar menjulang di sana. Saya duduk di atas koran itu. Satu tanda tanya gugur. Saya tahu kenapa saya disuruh bawa koran dan dibentangkan disini...lantainya dingin, bisa-bisa masuk angin. Saya tadnya berpikir si ibu akan duduk di samping saya, tapi ternyata dia malah main piano dan mulai menyanyikan lagu yang mengantar ke suasana teduh dan khidmat. Setelah kurang lebih 10 menit kami berdua hanyut dalam puji-pujian, barulah si ibu duduk di samping saya. Mau tahu berapa lama kami duduk di sana? 20 menit kami duduk di sana tanpa bicara...tanpa saling melirik...hanya diam saja menatap salib di depan kami.

Setelah itu kami berjalan lagi kembali ke pastori. Di dalam perjalanan itulah satu tanda tanya besar terjawab. Si ibu bertanya, "Nik. dapat harta karun apa tadi?" Saya bilang, "Jujur bu, tadi saya belum "ngeh" saya diajak ngapain. saya cuma merasa nyaman saja berdiam seperti tadi. Dia tersenyum dan berkata, "Di dalam hidup kita, sediakan waktu untuk diam di bawah kaki-Nya..karena seberapa sering kita berlutut di hadapan-Nya itu menentukan seberapa kuat kita berjalan dalam hidup ini."

 

Berburu harta karun...nah sekarang pertanyaannya, apa sih harta karun yang saya dapat dari moment itu?

saya mendapatkan makna dari Yesaya 50:4-9 dari peristiwa 3 tahun lalu itu. Ada apa dengan Yesaya 50:4-9? Yesaya 50 ini biasa disebut sebagai nyanyian Hamba Tuhan walaupun tidak secara eksplisit dijelasakan siapakah yang dimaksud dengan hamba Tuhan dalam nyanyian tersebut. Ada yang mengatakan itu adalah bangsa Israel, ada yang mengatakan itu adalah si nabi sendiri dan bahkan ada yang mengatakan bahwa hamba Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan Yesus. Tetapi saat ini kita tidak sedang memperdebatkan siapakah sosok hamba Tuhan yang dimaksudkan itu.

Pada bagian Yesaya 50:4-9 kita menemukan bahwa sosok hamba Tuhan ini digambarkan sebagai seorang murid yang kemampuan untuk menghibur, memberi semangat pada orang yang letih dan berbeban berat. Wuiiiihhhh...hebat tenan! Lha kok bisa gitu ya? apa rahasianya? perhatikan: dia mampu seperti itu karena setiap pagi dia mendengarkan Tuhan.

Di dalam bahasa Ibrani, kata "mendengarkan" itu adalah "syama" yang memiliki dua arti yaitu "mendengarkan" dan "taat". Sedangkan di dalam bahasa Yunani, kata yang dipakai adalah "hupakouo" yang berarti "mendengarkan di bawah..." Ide yang di dapat dari kata-kata tersebut adalah: seseorang yang mendengarkans sesuatu dan taat pada si pembicara yang didengarkan". Di dalam bahasa Inggris lebih jelas lagi perbedaannya: "to hear" dan "to listen". "To hear" adalah "mendengar sambil lalu" sedangkan "to listen" adalah mendengarkan...melibatkan tidak hanya telinga saja tetapi hati dan pikiran.

Ternyata kalo diusut lagi, si hamba Tuhan yang mampu menghibur dan memberi semangat ini adalah mendengarkan...dan akar dari kemauan untuk mendengarkan adalah ketaatan pada si pembicara yaitu Tuhan sendiri. Dia mendengarkan Tuhan setiap pagi, mengapa setiap pagi? Pagi hari adalah waktu dimana kita belum disibukkan dengan ini dan itu. Pagi hari adalah garis start kita selama satu hari itu. Pagi hari idealnya adalah saat yang relatif lebih hening walaupun ada juga yang justru setiap pagi ribut kayak pasar ikan kena gusur. Tetapi sejatinya pagi hari adalah "starting point" kita. Bahkan ada yang bilang begini, "Kalau pagi hari mood kita sudah jelek, niscaya seharian itu bawaannya sensi dan bad mood". Kalau mau jujur, saya dan Anda pasti pernah merasa seperti ini, pagi hari uring-uringan dan mood jelek seharian.

Oleh sebab itu si hamba Tuhan ini memilih untuk tidak mau menjalani sisa harinya dengan mood yang jelek. Maka dia setiap pagi menyediakan diri untuk menemui Tuhan dan bercakap-cakap dengan Tuhan. Dia tahu betul ini adalah modal bagi dia untuk menjalani sisa hari itu dan dia paham betul bahwa hanya Tuhan yang memampukan dia untuk dapat menghibur dan memberikan semangat bagi mereka yang letih dan berbeban berat. Menghibur dan memberikan semangat kepada mereka yang letih dan berbeban berat bukan pekerjaan mudah. Energi dan bahkan keseluruhan diri kita terserap di dalamnya. Tanpa bertelut setiap pagi di hadapan Tuhan, kita tidak akan memiliki energi untuk menghibur dan memberikan semangat kepada mereka yang letih dan berbeban berat, bisa jadi malah kita yang jadi letih dan berbeban berat karena setiap saat melayani orang. Ibu Teresa pernah ditanya oleh seorang wartawan tentang sumber kekuatannya dan ordonya. Dia mengatakan bahwa setiap pagi dia dan para suster yang lain bersimpuh di depan salib Yesus sambil memandang wajah Yesus yang sayu di salib itu. Mereka berdoa agar Yesus Sang Sumber Cinta Kasih mengisi hati mereka dengan cinta-Nya yang mengaliri tangan, kaki, dan seluruh diri mereka sehingga hari ini mereka mampu melayani sesama...mengasihi sesama sampai sehabis-habisnya. Dan mereka memohon agar setiap mereka berjumpa dengan orang lain mereka melihat mereka dan memperlakukan mereka seolah-olah mereka adalah Yesus sendiri. Dengan kata lain Ibu Teresa dan para suster ini menyadari bahwa sumber kekuatan mereka adalah ketaatan mereka untuk berjumpa dan mendengarkan Yesus sebelum mereka melakukan karya pelayanan sehari itu.

Well, ini adalah harta karun yang luar biasa buat saya. Nggak sebanding dengan tiket liburan pulang pergi keliling Eropa plus akomodasi dan konsumsinya seklaipun. Ini harta karun yang everlasting. Kalo mau jujur ya, sebagai orang-orang yang sibuk dengan segala macam urusan dan pelayanan, seberapa sering kita bertelut di hadapanNya sebelum memulai aktivitas kita? seberapa sering kita datang padaNya dan bertanya, "Tuhan, Tuhan mau apa dari hidupku?", Seberapa sering kita datang kepadaNya dan berkata, "Tuhan, salib yang ku pikul berat dan tidak seorang pun yang tahu bebanku ini?"

Manusia modern, ya kita ini sudah larut dan hanyut dalam segudang aktivitas...kerja..kerja..pelayanan...pelayanan...dan akhirnya kita "burn out". Kita capek sendiri padahal tugas kita menghibur dan memberi semangat pada orang lain yang letih dan berbeban berat, tapi kita sendiri sedang letih plus berbeban berat, gimana mau menghibur dan ngasih semangat?

Sujud di hadapan Tuhan bukan cuma kalo sedang butuh ini dan itu. Tetapi sujud dihadapan Tuhan adalah sebentuk ketaatan yang konstan. Ketaatan yang dilatih setiap hari. Sehingga dari ketaatan itu tumbuh sikap mau menghampiri dan mendengarkan Tuhan. Di sanalah letak kekuatan kita...

seberapa sering kita berlutut di hadapan-Nya itu menentukan seberapa kuat kita berjalan dalam hidup ini....

 

Darmo Satelit, 10 April 2011