Jumat, 10 Desember 2010

“Menjadi Keluarga Nir-kekerasan” Kejadian 37:1-36

Di seluruh dunia terjadi begitu banyak kekerasan. Sejauh mata memandang, gambaran dominan yang kita dapati adalah gambaran kekerasan. Berikut adalah fakta yang barangkali akan membuat kita terkejut, 50% kekerasan terjadi pada diri sendiri misalnya bunuh diri, 30% terjadi dalam relasi antara sesama manusia, dan 20% adalah kekerasan kolektif misalnya tawuran atau perang, bayangkan 80% kekerasan terjadi di lingkungan terdekat kita. Setiap 18 detik seorang perempuan mengalami kekerasan psikis dan fisik, setiap 2 juta anak mengalami kekerasan baik secara fisik maupun emosional oleh orangtua, guru dan teman-temannya. Di setiap negara yang penduduknya diatas 80 juta jiwa, 2 juta anak tidak punya rumah, 500.000 diantara yang 2 juta itu berusia di bawah 21 tahun, ¾ dari yang 500.000 adalah anak-anak dari keluarga yang retak, dan ¼ nya melarikan diri dari rumah karena siksaan pisikis dan fisik oleh orangtuanya. Satu dari lima anak mengalami siksaan, satu dari sepuluh orangtua pernah dipukul oleh anak mereka karena tidak tahan atas siksaan yang mereka terima dari orangtuanya. Pada setiap detik orang dewasa yang pernah menjadi korban kekerasan waktu kecil melampiaskan kekerasan itu pada orang-orang di sekitarnya. Hal ini senada dengan pendapat Ibu Teresa bahwa banyak perilaku kekerasan yang terjadi di sekitar kita sebagian besar berasal dari keluarga yang mempraktekan tindakan kekerasan.
Tema Dwi Pekan Keluarga GKI Mojokerto tahun ini adalah “Menjadi Keluarga Nir-kekerasan” atau keluarga anti kekerasan. Sebuah panggilan bagi keluarga, dimana keluarga seharusnya menjadi pangkalan belas kasih bagi seluruh anggota keluarganya sehingga gaya hidup nir-kekerasan itu memancar ke luar. Lebih mudah menyumbangkan semangkuk sayur dan sepiring nasi kepada orang lain untuk meringankan rasa lapar, daripada meringankan rasa kesepian dan sengsara seseorang yang hidup serumah namun tidak dicintai. Keluarga adalah lingkungan terkecil dan terdekat untuk dijadikan tempat berbagi kasih, perhatian, pengampunan. Sehingga keluarga nir kekerasan, keluarga yang anti kekerasan itu bisa terwujud.
Setelah sedikit menyinggung fakta bahwa kekerasan paling banyak terjadi dan dialami oleh orang-orang yang berada dalam lingkup terdekat kita, dalam hal ini keluarga, maka sekarang perkenankan saya mengajak kita semua untuk merenungkan satu pertanyaan, “apa itu kekerasan?” Apa definisi kekerasan? Kekerasan adalah sesuatu yang sangat luas cakupannya, sehingga dia bersifat multidimensional. Memang salah satu bentuk nyata dari kekerasan adalah ketika kekerasan itu telah menjadi tindakan. Namun, kalau mau dicermati lebih lanjut sejak masih dalam tahap potensi pun sesuatu sudah dapat dianggap sebagai kekerasan.
Kekerasan di dalam bahasa Inggris berarti “Violence” yang berasal dari bahasa latin “vis” yaitu daya, kekuatan dan “latus” yaitu membawa. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta merumuskan bahwa kekerasan adalah sifat atau hal yang keras, kekuatan, paksaan, desakan atau tekanan yang keras. John Galtung dalam “Violence, Peace and Peace Research”mengemukakan definisi kekerasan secara maknawi. Menurutnya, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensial, kekerasan terjadi bila ada peristiwa yang bisa diatasi atau disingkirkan tetapi tetap dibiarkan. Contohnya, bila di jaman sekarang, masih ada orang meninggal karena penyakit TBC, itu kekerasan. Sebab potensi medis untuk mengatasi TBC pada jaman sekarang sudah jauh lebih baik. Secara sederhana prinsip dari definisi John Galtung tentang kekerasan adalah: jika kita tahu kita bisa berbuat sesuatu untuk kebaikan orang lain tetapi kita memilih tidak melakukannya, itu disebut kekerasan.
Memang kekerasan adalah soal yang pelik namun sering dianggap “lumrah” terjadi di dalam dunia manusia, sebab kekerasan memang makanan harian kita. Apalagi jika kita menggunakan definisi John Galtung yang menggugah kita memeriksa relasi-relasi harian kita, khususnya relasi di dalam keluarga kita. Seberapa sering kita membiarkan anak-anak dengan aktivitas mereka masing-masing dengan dalih kita terlalu sibuk, terlalu lelah. Terlalu lelah bahkan untuk sekedar menanyakan “bagaimana harimu?, bagaimana sekolahmu hari ini?” Terlalu sibuk bahkan untuk sekedar memberikan pelukan atau ciuman atau mengucapkan, “Papa dan mama sayang kamu”. Padahal kalau mau jujur, kita semua bisa melakukan itu, tetapi memilih tidak melakukan…bukankah dengan demikian kita sudah berpotensi melakukan tindakan kekerasan? Begitu juga terhadap pasangan kita, seberapa sering kita mengucapkan terimakasih pada pasangan kita untuk sesuatu yang dia lakukan bagi kita? Seberapa sering kita meluangkan waktu bersama? Betapa kita sebenarnya bisa melakukan itu semua…namun memilih menuruti kesibukan kita…bukankah dengan demikian kita sudah berpotensi melakukan tindakan kekerasan? Begitu juga ketika kita mencermati relasi kita dengan pembantu rumah tangga yang juga adalah anggota keluarga kita. Seberapa sering sich kita mengucapkan terimakasih atas bantuannya? Seberapa sering kita mengucapkan kata tolong ketika kita membutuhkan bantuannya? Prinsipnya adalah: jika kita bisa berbuat baik, membagikan kasih, kepedulian pada anggota keluarga tetapi memilih tidak melakukan maka kita sudah berpotensi melakukan tindakana kekerasan atauh bahkan sesuatu yang sifatnya potensi itu sudah berubah menjadi tindakan kekerasan jika suami membentak istri, istri membentak suami, orangtua membentak anak-anak, suami atau istri saling memukul, orangtua memukul anak-anak, orangtua atau anak-anak membentak atau memukul pembantu….dan masih banyak lagi.
Agaknya perjuangan untuk menyatakan kerajaan Allah semakin memanggil-manggil kita justru ketika kehidupan kita penuh coreng moreng dengan kekerasan. Tidak hanya pada tataran tindakan namun sejak di area potensi bahkan kekerasan itu sudah bisa ada. Lalu darimana kita mulai mengolah-mengelola-menggarap agar keluarga kita menjadi keluarga nir-kekerasan? Jawabannya adalah sejak dari dalam batin, pergumulan untuk pantang kekerasan atau tunduk pada kekerasan telah dimulai. Oleh sebab itu diperlukan keberanian untuk menelanjangi diri dan masuk dalam segala kekelaman kita sendiri untuk mengkaji hidup kita sendiri. Berani melihat bagaimana relasi-relasi kita selama ini dengan suami, istri, anak-anak, pembantu, kakak, adik, paman, bibi di dalam keluarga.
Sekarang saya akan mengajak Anda melihat Kejadian 37:1-36. Kejadian 37 yang menjadi bahan pembacaan kita pada hari ini masuk dalam Kejadian 12-50 yang biasa disebut sebagai “Kisah Para Bapa Bangsa”. Sebab dalam Kejadian 12-50 kita hanya akan menjumpai kisah keluarga. Hanya 4 generasi yang dikisahkan disana yaitu: Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf. Ke-4 bapa bangsa ini merupakan tokoh-tokoh penting dalam sejarah bangsa Israel karena mereka dianggap sebagai nenek moyang bangsa Israel.
Tidak seperti “Kisah Para Bapa Bangsa” sebelumnya yang aslinya merupakan cerita sepotong-potong yang kemudian dipersatukan oleh redaktur, maka kisah Yusuf adalah suatu kisah yang utuh, kecuali Kejadian 38 dan 46:1-27. Katakanlah seperti sebuah novel, maka ketika membaca kisah Yusuf kita mendapati alur cerita yang jelas. Orang tidak dapat mengambil satu bagian dari kisah Yusuf tanpa merusak seluruh alurnya. Dalam novel itu Yusuf diperkenalkan sebagai seorang yang merupakan orang pilihan Allah, yang mengalami banyak kesusahan dan kesulitan tetapi berkat perlindungan Allah, dia dapat mengatasi segalanya dan menjadi penyelamat bagi keluarga Yakub. Sehingga gagasan mengenai penyertaan Tuhan kiranya menjadi benang merah dalam seluruh kisah Yusuf.
Kita akan mencermati Kisah Yusuf dalam koridor tema. Yusuf ditampilkan sebagai anak kesayangan Yakub karena ia lahir dari isteri yang paling dicintai oleh Yakub yaitu Rahel dan Yusuf lahir ketika Yakub sudah memasuki usia lanjut. Yusuf sering melaporkan perbuatan jahat kakak-kakaknya kepada Yakub (ayat 2) yang diduga ini juga akibat ayahnya membiasakan Yusuf untuk mengamati kakak-kakaknya dan melaporkannya pada Yakub (ayat 12-14). Saudara-saudara Yusuf yang lain mulai membenci Yusuf ketika mereka melihat perlakuan yang berbeda dari ayahnya terhadap Yusuf, Yusuf begitu dicintai sehingga dia memiliki jubah maha indah (ayat 3-4). Barangkali itulah “starting point” dari kebencian kakak-kakak Yusuf terhadap Yusuf yang dikemudian hari kebencian itu berubah menjadi tindakan anarki. Kata kebencian yang muncul dalam ayat 4 adalah sānē’ (syaw-ne) yang berarti “hate, to be hateful” yang menunjukkan ekspresi atau perilaku emosional seseorang terhadap orang lain sebagai lawan dari mengasihi. Dan perhatikanlah ayat 11, Yakub mengakui bahwa dia tahu bahwa perlakuannya yang berbeda terhadap Yusuf telah menimbulkan iri hati (qānā’/ kaw-naw adalah bahasa ibrani untuk iri hati) yang menumpuk pada diri saudara-saudaranya, namun Yakub tidak mengambil tindakan apapun.
Dan pada ayat 20, saudara-saudara Yusuf mulai merealisasikan kebencian dan iri hati yang menumpuk itu dengan ide membunuh Yusuf. Apakah Yusuf berhasil dibunuh? Tidak. Rupanya Ruben mencegah ide saudara-saudaranya untuk membunuh Yusuf. Dia mengusulkan agar Yusuf dilemparkan saja ke dalam sumur, tetapi jangan dibunuh. Karena Ruben punya rencana lain, ia akan menyelamatkan Yusuf nanti. Namun rupanya, Yehuda merasa tidak ada untungnya membiarkan Yusuf di buang ke dalam sumur, maka ia dan saudara-saudara lainnya minus Ruben, menjual Yusuf ke para saudagar. Dan pada akhirnya saudara-saudara Yusuf pulang dengan menyusun skenario untuk menutupi perbuatan mereka.
Dari sini kita dapat lihat bahwa perlakuan Yakub yang membedakan Yusuf ternyata menimbulkan kebencian. Kebencian ini semakin menumpuk dan berkembang menjadi iri hati lalu berubah menjadi tindakan kekerasan. Dalam realita sesehari, ada orang-orang yang merasa “diabaikan, dibanding-bandingkan, diperlakukan berbeda” sehingga munculah rasa benci, iri hati dan melahirkan tindakan kekerasan. Dalam cerita ini, kita tidak bisa serta merta menyalahkan para saudara Yusuf, namun ingat ada campur tangan Yakub sebagai orangtua yang memperlakukan Yusuf secara berbeda sejak dia masih kecil sampai dewasa. Dalam konteks cerita ini, maka kita sebagai orangtua patut waspada untuk tidak ikut-ikutan menyemaikan bibit-bibit kebencian. Maka panggilan bagi setiap anggota keluarga adalah perlakukanlah satu sama lain sesuai dengan karakter dan keunikan masing-masing. Jangan sekali-kali membandingkan antara anak A dengan anak B. Tetapi hargailah mereka sebagai individu yang unik. Kalau kita mau jujur, seberapa sering kita berkata, “Ini lho, kakak, dia jago main piano, beda sama adiknya, boro-boro jago main piano, disuruh les aja susahnya minta ampun.” Atau, “Kalau yang bungsu itu pinter matematika, fisika, kimia, tapi kalau yang tengah itu aduh…payah. Dia ndak bisa kena hitung-hitungan begitu.” Padahal sangat mungkin saja si anak tengah itu pandai di bidang lain. Pada prinsipnya: janganlah menumbuhkan bibit-bibit kebencian dalam diri anak-anak, atau anggota keluarga yang lain. Karena bibit-bibit kebencian itu berpotensi untuk mewujud dalam tindakan kekerasan.
Suatu hari jumat di tahun 1999, seorang guru sedang mengajar bahasa Inggris untuk murid SMP kelas 3 di Manja, Madagascar. Guru tersebut melihat seorang ibu yang memukul seorang anak yang mungkin baru berusia lima tahun. Kebetulan rumah ibu tersebut berhadapan langsung dengan SD-SMP St. Yoseph tempat guru tersebut mengajar. Karena anak itu menangis sangat keras akibat dipukul pakai sebilah bambu oleh ibunya, guru tersebut keluar dari kelas. Dia menggendong anak itu dan menegur ibu tersebut, “Mengapa tidak kau bunuh saja anak ini!” Bagi orang Manja, Madagascar, kata membunuh atau voona sangat menyakitkan sekaligus menakutkan. Ibu tersebut meminta maaf pada si guru, namun guru tersebut berkata, “minta maaflah pada anakmu.” Ibu itu lalu bercerita bahwa dia memukul anaknya karena jengkel dengan tangisan anaknya. Anak itu meminta makan, padahal si ibu sedang merebus gaplek.
Pengalaman yang nampaknya sepele ini ternyata membekas dalam ingatan si guru. Ketika membaca pesan Ibu Teresa bahwa cinta terutama dimulai dalam rumah, si guru teringat akan anak kecil tersebut. Anak itu menjadi trauma, dia tidak pernah mau menangis lagi jika lapar, dia takut dipukul ibunya. Pengalaman-pengalaman cinta dalam keluarga adalah pengalaman yang dasariah bagi seorang anak. Pengalaman ketika pertama kalinga dia menerima dan mengalami cinta kasih dari orangtua dan dari saudara-saudarinya. Kita menyaksikan maraknya kejahatan, kekerasan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi di dalam masyarakat pertama-tama karena mereka tidak mendapatkan cinta kasih yang pantas dan cukup dalam keluarga. Mereka belajar berbuat jahat, brutal, penuh dengan kekerasan sejak di dalam rumah, karena itulah pengalaman hidup yang mereka gulati dan hidupi.
Bukankah seharusnya keluarga menjadi tempat bersemainya cinta, kasih, saling menghormati, kejujuran, kesetiaan, kelemahlembutan? Sehingga dari dalam keluarga mengalirlah kedamaian, keadilan, kejujuran, penghargaan atas hidup dalam masyarakat. Keluarga adalah sumur cinta yang mengalirkan kesejukan. Keluarga adalah dapur doa tempat orang memasak syukur dan permohonan, pujian dan keluhan kepada Sang Hidup.
Amin

Tuhan, dengarlah aku…

Tuhan…
Aku menjumpaimu di dalam ketakutanku.
Maafkan jika aku mencarimu dikala aku merasa takut saja.
Menjadikanmu sandaranku jikalau jiwaku galau.
Mungkin aku satu dari sekian banyak penyembahmu
Yang mencarimu jika ada perlu dan maunya saja.
Tuhan…
walaupun mungkin Engkau sedang memalingkan wajahMu dariku
tapi aku mohon dengarkanlah aku…
dengarkanlah aku…
aku tahu, permintaanku ini berlebihan
berlebihan untuk seorang penyembah yang datang kalau ada maunya saja.
Tapi pada siapa jiwaku harus berteduh…
Pada siapa jiwaku bersandar sehingga tenang…
Aku mencari ke penjuru mata angin, namun jiwaku masih galau…
Jiwaku takut dan gentar…
Tuhan…
Aku cukup tahu diri…
Maka aku tidak memohon agar Engkau mengabulkan semua pintaku…
Tapi cukup dengarkanlah aku…
Dengarlah kegalauan jiwaku….
Terimakasih.




Y.Defrita R.
[Yogyakarta, 1 Desember 2010]