Jumat, 24 September 2010

RITUAL OF EYE

An eye for an eye, we lose our mind

An eye on an eye, we see each other’s smile

An eye to an eye, we deliver the message of love.

There are many eyes

Blue eyes, brown eyes, green eyes, gray eyes,

black eyes, and red-eyes.

There are eyes of clearness,

Eyes of happiness, eyes of careness, eyes of love.

Thousand of eyes together become a kaleidoscope.

Enjoy colors of the world!

Milions of eyes together remold a telescope,

Look ahead to the future of hope.

Wu, Fu-Ya

(puisi ini dimuat di majalah “In God’s Image, Vol.14, No.1. 1995 hlm.73)

Sebentuk Bulir Kebijaksanaan Kahlil Gibran


Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan,

melainkan bagaimana kamu mengerti.

Bukanlah apa yang kamu lihat tetapi apa yang kamu rasa.

Bukanlah bagaiman kamu melepaskan tetapi bagaimana kamu bertahan.

Mungkin akan tiba saatnya dimana kita harus berhenti mencintai seseorang bukan karena orang itu berhenti mencintai kita, melainkan karena kita menyadari bahwa orang itu akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya.

Kadangkala orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu, karena takut kau berpaling dan memberi jarak, dan bila suatu saat kau pergi, kau akan menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau sadari.

[Kahlil Gibran]

Sebuah catatan bulan Oktober 2009 yang kembali ditemukan....

Aku tidak sedang jatuh cinta.

Kata jatuh membuat kesan tak akan bangkit.

Walaupun bisa juga sebaliknya.

Tetapi aku tidak demikian.

Aku sedang membangun cinta.

Bayangkanlah jika dalam setiap tarikan nafasmu,

Engkau menyadari bahwa ada orang yang begitu mencintai dirimu.

Bayangkanlah jika setiap pagi dia memberimu nyawa

Sehingga kau berani menapaki hari itu.

Bayangkanlah jika setiap hari dia tidak pernah melupakanmu.

Mengingat tiap hal dari dirimu jauh melebihi siapapun.

Bayangkanlah jika kau harus melewati lembah kelam dan dia menemanimu.

Dia tidak hanya hadir dalam setiap derai tawamu tetapi dalam rinai air matamu.

Apalagi yang ku perlukan jika aku tahu bahwa dia mencintaiku?

Apalagi yang ku takutkan jika cintanya senantiasa menghidupkanku?




Yogyakarta-Pulanggeni, Akhir Oktober 2009

Yohana Defrita Rufikasari

(dengan cinta yang teramat dalam pada Dia sang sumber cinta dan dia yang ku cintai)

TIGA POTRET PEREMPUAN DALAM BINGKAI MATA PEREMPUAN…





Namaku Agni Prameswari. Ibu memberiku nama Agni dari bahasa Sansekerta yang berarti api dan Prameswari yang tak ku tahu apa artinya. Yang aku tahu dengan pasti, nama itu sudah melekat sebagai identitas diriku selama tiga puluh tahun ini. Sehari-hari aku bekerja sebagai editor di sebuah majalah fashion yang cukup terkenal. Tapi jangan kau pikir aku ini seorang fashionista yang khatam dengan beragam mode dunia yang sedang up to date. Atau jangan kau kira aku seorang perempuan yang mempresentasikan busana abad ini di setiap kesempatan lewat aneka busana dan aksesories yang ku pakai. Tidak, sama sekali tidak. Pekerjaan ku sama sekali tidak mempengaruhi gayaku berbusana, tetapi bukan berati aku tidak menikmati pekerjaanku.

Sebagai seorang fashion editor di majalah fashion yang menjadi kiblat selebritis, tuntutan untuk tampil elegan, charming, dan eye catching jelas menjadi sorotan utama, tapi tidak bagiku. Aku mempunyai idelogi tersendiri soal fashion, soal makanan, soal apapun dalam koridor hidupku, dan tak boleh seorangpun atau apapun mempengaruhinya. It’s all about being myself and enjoy it as much as I can. Justru karena itulah aku bertahan bekerja disini selama belasan tahun tanpa pernah menuai kutukan dari para pemuja fashion. Aku bersyukur untuk yang satu itu.

Bekerja di dunia fashion menghantarkan aku untuk menelusuri berbagai motif kain, menyelami makna yang tersembul dari warna, memahami sejarah suatu kebudayaan lewat pakaian, aksesories dan tentu saja membawaku berjumpa dengan banyak orang di balik kata FASHION. Mulai dari mereka yang fanatik dengan kiblat fashionnya dan jelas tidak dapat diganggu gugat, sampai mereka yang terlihat tidak punya pendirian dalam fashion, mulai dari yang smart dalam menentukan jenis fashion sampai yang asal barang high branded itu nempel di tubuhnya. Ya itulah….Fashion is my passion, barangkali itulah tagline dalam diri ku.

Siang ini seusai menuliskan sapa redaksi, aku menyeduh kopi untuk menyegarkan badan. Ini juga termasuk fashion…menyeduh kopi kapanpun aku butuh. Menyeduh kopi sambil ditemani alunan lembut musik jazz di ruangan berpendingin AC yang sudah ku sulap jadi sangat homy membawa ku pada ingatan akan perjumpaanku dengan beberapa perempuan. Barangkali ingatan ku ini dipicu oleh editorial yang aku tuliskan barusan yang membahas soal perjumpaan dengan banyak perempuan. Ya, ingatan ku ini bagaikan membawaku menelusuri tiap motif dan tekstur kain, mencecap tiap warna yang tersirat dan ini semua tentang perempuan. Di antara sekian perempuan itu ada beberapa yang membekas dalam otakku. Salah satunya tanteku.

Tante Lastri

Tante Lastri seorang perempuan dengan tinggi badan di atas rata-rata tinggi badan perempuan Indonesia. Dikaruniai kulit putih bak boneka porselen dan rambut hitam bergelombang. Sesehari tante Lastri tampil sederhana, berbusana sederhana. Barangkali dia tipe perempuan yang tahu betul bahwa di dalam tubuhnya tertimbun karunia Tuhan yang luar biasa mempesona, sehingga kain dan aneka aksesories tak lagi diperlukan sehingga tampil dalam balutan daster batik motif Pekalongan sekalipun dia tetap mempesona. Tante Lastri adalah kakak perempuan ayahku. Dia anak pertama, dan aku memanggilnya Tante Lastri. Aku mengenalnya waktu aku berusia 5 tahun dan tinggal satu atap dengannya.

Tante Lastri dan Ayahku pada mulanya tinggal satu atap di rumah nenek (ibu dari ayah). Tante Lastri dan suaminya beserta ke-3 anaknya menempati bagian depan rumah besar nan kuna itu, sedangkan ayah dan ibu beserta ke-3 anaknya tinggal di bagian tengah rumah besar, lalu di bagian belakang tinggallah nenek dan kakek beserta pembantu setia keluarga kami. Awalnya keseimbangan itu mampu dijaga sampai suatu ketika, suami Tante Lastri memaksa istirnya untuk hengkang dari rumah karena malu. Malu lantaran tidak sanggup membeli atau menyewa rumah bagi Tante Lastri dan ke-3 anak mereka. Malu pada nenek dan kakek, juga malu pada ayahku. Padalah nenek dan kakek juga ayahku tidak pernah mempersoalkan Tante Lastri dan keluarganya tinggal di rumah ini. Tapi agaknya suami Tante Lastri kehilangan wajah sebagai lelaki jika tak sanggup hidup mandiri. Padahal kalau mau dilihat dari sudut manapun, suami bu de tidak akan sanggup sewa rumah apalagi beli rumah, begitu opini ayahku. Bagi ku yang masih berusia 5 tahun, opini ayahku ini tak dapat ku pahami apalagi ku saksikan secara nyata. Karena di mataku om orang yang sangat baik, suka memberiku coklat bulat berbungkus kertas emas dengan tulisan latin miring. Sangat elegan dan menggoda. Om memberiku dua butir coklat setiap dia pulang ke rumah sore hari.

Berbeda dengan om, Tante Lastri orangnya pendiam. Jarang berbicara dengan ayah dan ibuku, apalagi denganku. Dia paling banter Cuma tersenyum. Akhirnya setelah sekian tahun satu atap dengan kami, keluarga Tante Lastri pindah ke sebuah rumah kuna di dekat rumah Tante Sasmi yang tak lain adalah adik bungsunya. Jarak tempat mereka hanya 100 meter. Kepindahan Tante Lastri sekeluarga membuat keluarga ayah dan ibu pindah ke ruang depan.

Selang beberapa tahun sejak kepindahan Tante Lastri dari rumah nenek, dia berkunjung kembali tetapi tanpa suaminya. Memang sejak kepindahannya itu, inilah kali pertama Tante Lastri berkunjung tanpa suaminya, tetapi dia ditemani seorang lelaki yang tak kami kenal. Ketika dia dan lelaki itu berkunjung, ayah tidak ada. Hanya ada aku, ibu, nenek, kakek dan pembantu kami. Semua orang bingung dan menerka-nerka mengapa Tante Lastri membawa serta lelaki dari antah berantah itu.

Seolah membaca ribuan tanda tanya yang melayang di wajah kakek, nenek dan ibu, Tante Lastri akhirnya membuka mulut. “Ayah,Ibu dan dik Retno, kenalkan ini Mas Utomo. Dia suami saya.” Bak orang kesamber geledek, wajah kakek, nenek dan ibu pucat pasi mendengar proklamasi dari Tante Lastri. Suami? Iya, seorang suami bernama Utomo. Lalu bagaimana dengan nasib Om alias suami pertama Tante Lastri? “Aku tahu kalian pasti bingung. Mas Utomo adalah suami saya. Saya kawin siri sama dia. Tetapi saya tidak juga bercerai dengan Mas Jhon. Cuma sekarang ini saya sudah tidak satu ranjang dengan Mas Jhon. Tapi kami tinggal bertiga di rumah yang sama.” Alamak, deskripsi Tante Lastri yang meluncur bening tanpa dinodai keraguan membuat merebak tanda tanya di udara rumah. Nenek yang sedari tadi mencoba diam kini tak dapat lagi menahan diri. “Anak kurang ajar!!!!! Perempuan macam apa kamu ini? kawin dua kali dan hidup seatap dengan kedua suamimu!!!!! Perempuan laknat!!!! Aku malu sudah melahirkan perempuan setan seperti kamu!!!! Tidak pernah sekalipun aku mendidikmu untuk binal dan menjadi jalang!!!!!” Nenek sangat histeris sedangkan kami tercekat. Aku lihat ibu bersusah payah menopang dan menenangkan nenek yang sudah mencak-mencak bak penari kecak. Menerima semprotan berupa caci maki dari nenek, Tante Lastri dan suaminya itu hanya diam. Kini giliran kakek yang angkat suara, “Las, kamu itu kesurupan apa kok sampai kawin dengan lelaki ini? memangnya Jhon sudah tidak bisa membahagiakan kamu hah? Jawab Las!!!!” Aku menangkap nada kecewa yang muncul lewat untaian tanya dari kakek.

Setelah membisu, akhirnya Tante Lastri menjawab, “Ayah, Ibu, dik Retno…saya mau tanya sama kalian, apakah salah kalau saya menikah dua kali? Apakah hanya lelaki saja yang boleh menikah lebih dari sekali dan tinggal bersama dengan istri-istrinya? Tidak! perempuan pun bisa dan boleh berlaku seperti itu! Kalau di luar sana lelaki boleh memiliki dua istri lantas mengapa saya tidak boleh punya dua suami? Apakah ayah dan ibu merasa saya ini sudah menjelma menjadi perempuan setan? Lantas berniat menyadarkan saya yang binal ini dengan seperangkat ajaran agama? Tidak! saya sudah tidak peduli apa kata agama! Agama hanya saya perlukan untuk pernikahan saya saja, selebihnya semua itu omong kosong! Jadi jangan coba-coba menasehati saya dengan ajaran agama apapun, saya tidak peduli!! Keputusan saya untuk memiliki dua suami bukan karena Mas Jhon tidak bisa membahagiakan saya, bukan itu. Ada keunggulan dalam diri Mas Jhon yang tidak ada dalam Mas Utomo demikian sebaliknya. Dan ada kelemahan dalam diri Mas Jhon yang dapat ditutupi oleh Mas Utomo demikian sebaliknya. Saya membutuhkan dua lelaki agar hidup saya sempurna! Dan hak saya sebagai perempuan untuk menikah lebih dari satu kali! Ini hidup saya, bukan hidup kalian. Saya permisi!!!” Walaupun dipenuhi amarah yang menggelegak, namun kecantikan tidak sirna dari wajah Tante Lastri yang siang itu langsung menarik tangan Om Utomo dan pergi meninggalkan kami yang melongo.

Pernyataan hidup Tante Lastri tergolong revolusioner untuk perempuan di jamannya. Bayangkan saja dia merasa kalau menikah dua kali itu tidak Cuma hak lelaki tetapi perempuan juga. Aku tidak tahu harus menggolongkan dia dalam kategori perempuan dengan perspektif feminis seperti apa. Dia menerabas tembok patriaki yang mensahkan lelaki kawin mawin dengan banyak perempuan. Dia berpikir “out of the box”, barangkali begitu istilahnya sekarang. Dan untuk keputusannya yang revolusioner itu dia harus menanggung “kutukan” sosial dari warga sekitar. Tetapi dia tetap bertahan dengan keputusannya untuk hidup dengan dua lelaki di rumahnya.

Diam-diam aku salut terhadap Tante Lastri. Dia perempuan yang memperoleh pencerahan akan identitas dan haknya sebagai perempuan walaupun caranya tidak sesuai dengan prinsip ku. Keputusan Tante Lastri yang revolusioner itu agaknya didasari akan kesadarannya terhadap tubuh perempuannya. Dia memiliki tubuh indah dan dia adalah nyonya atas tubuhnya. Oleh karena itu, haknya juga sebagai nyonya atas tubuhnya untuk melampiaskan kebutuhannya akan tubuh lelaki lain. Tubuhnya tidak hanya memerlukan tubuh Om Jhon tetapi juga Om Utomo. Menurutku tidak banyak perempuan yang menyadari bahwa dirinya adalah nyonya atas tubuhnya sendiri. Dirinya yang paling berkuasa atas tubuhnya dan mengerti apa yang diperlukan tubuhnya. Dan dalam kasus ini, tubuh Tante Lastri membutuhkan dua tubuh lelaki agar menjadi sempurna menurut definisi Tante Lastri.

Kembali ke Tante Lastri. Sepengatahuanku, mereka bertiga hidup rukun walaupun ternyata Om Utomo masih punya istri. Namun sulit dijelaskan logika dan diterima nalar bahwa mereka bertiga sanggup menjaga keseimbangan itu sedemikian rupa. Keseimbangan yang hanya mampu diciptakan dan dijaga oleh Om Jhon, Tante Lastri, Om Utomo dan istrinya. Aneh. Tapi justru dalam keanehan itulah mereka hidup dan bertahan. Ayah pernah bilang padaku kalau Om Jhon adalah orang yang paling menderita. Betapa tidak, tiap malam Om Jhon mendengarkan istrinya bergulat dalam nafsu dan cinta bersama lelaki lain yaitu Om Utomo. Kamar Om Jhon yang tepat ada di sebelah kamar mereka telah menjadi saksi bisu betapa Om Jhon mungkin tersiksa mendengar setiap lenguhan, erangan, dan mungkin desahan yang bersumber dari aktivitas suami-istri di kamar sebelah. Tapi Om Jhon tidak pernah berkomentar apapun soal itu. Ayah pernah melihat semalaman Om Jhon duduk di serambi depan rumah mereka sambil merokok. Ketika ayah tanya mengapa dia tak pergi tidur, Om Jhon hanya menjawab bahwa dia sulit berkonsentrasi untuk tidur jika kamar sebelah belum tidur. Ayah Cuma bisa menepuk pundak Om Jhon.

Entah apa yang menggerakan nenek hingga siang ini dia bergegas naik becak pergi ke tempat Tante Lastri. Sesampainya di sana, nenek sudah naik pitam tak terkendali. “Lastri, keluar kamu!!!! Lastri!!!” tapi yang dipanggil tak muncul, yang muncul justru Om Jhon. “Ibu, kemari, apa kabar?”

“Jhon, tidak usah basa-basi, mana Lastri istrimu?”

“Lastri se…se…”

“Hah..kelamaan…aku cari sendiri!”

Dengan amarah yang menunggu tumpah itu nenek menarik lengan ibuku dan mengajaknya serta mencari Tante Lastri. Sesampainya di kamar tengah, BRRRRRAAAAKKKKKKK. Nenek menggebrak pintu kamar Tante Lastri dan naasnya pintupun terbuka. Sehingga kami semua dapat menyaksikan dengan gamblang apa yang sedang dilakukan oleh kedua orang tersebut di atas tempat tidur. Seolah tak terganggu oleh kehadiran kami, Tante justru menyuruh Om Jhon menutup kembali pintu kamar. Nenek hampir pingsan melihat kelakuan anak perempuannya itu. Dia segera dipapah dan didudukkan di kursi depan. “Jhon, apa tiap hari mereka kayak gitu?” Om Jhon terdiam. “Jhon, tidak usah malu…cerita saja. Memang ibu sadar, kalau anak ibu ini bejat!”

“Ibu…ya, ya memang tiap hari mereka seperti itu, entah siang atau malam. Mereka begitu. Saya mencoba tetap sabar karena bagaimanapun saya mencintai Lastri dan ingin Lastri bahagia walaupun kebahagiaannya itu justru diraihnya dengan lelaki lain. Saya ikhlas bu. Saya bertahan di sini demi anak-anak.” Duh Gusti, kok ya ada suami macam Om Jhon begini. Sudah tahu istrinya bergumul siang dan malam dengan lelaki lain dan bahkan kadang berhari-hari tidak keluar kamar hanya untuk memuaskan nafsu mereka tetapi bisa-bisanya Om Jhon bilang dia masih mencintai istrinya. Aduh, aneh betul pola pikirnya. Tapi barangkali ini keseimbangan yang diciptakan dari pihak Om Jhon. Dan kau tahu, sampai akhir hayat Tante Lastri, dia tetap tidak mau seranjang dengan Om Jhon. Tante Lastri hanya mau dirawat oleh Om Utomo. Menurut nenek, Om Utomo tidak benar-benar mencintai Tante Lastri, karena saat sakit diabetesnya sudah parah, Tante Lastri tetap dipaksa melayani Om Utomo. Aku tidak tahu ini benar atau tidak, yang aku tahu Tante cukup bahagia saat meninggal karena dikelilingi oleh dua lelaki yang berhasil dia taklukan. Yah, itulah tanteku yang cantik, kontroversial dan revolusioner walaupun sembrono. Tapi kehadirannya menyadarkan aku bahwa perempuan adalah nyonya atas tubuhnya. Dia bisa menolak tubuh lelaki, dia juga bisa menerima tubuh lelaki. Hanya dia yang berhak memutuskan, karena dia sang pemilik tubuh. Biarlah Tante Lastri pergi dengan segenap ambivalensi yang menggelayut di benak ku namun setidaknya aku belajar sesuatu dari dia.

Kenanganku tidak hanya berlari-lari kepada Tante Lastri namun juga melayang pada ibuku sendiri.

Ibu

Ibuku bernama Retno Wulandari. Perempuan berkulit kuning langsat dan berwajah sangat Jawa. Garis wajahnya lembut tapi kokoh. Ditopang dengan bentuk tubuh yang semampai dan gemulai. Benar-benar tipikal wajah perempuan Jawa, padahal dalam dirinya ada sekian persen darah Cina peranakan. Tetapi tampaknya darah cina yang hanya sekian tetes itu melebur dalam raga perempuan Jawa. Selain penampilan jasmani ibu yang khas perempuan Jawa, perangainya pun khas perempuan Jawa idaman semua mertua perempuan. Mengapa? Ibu itu perempuan penurut. Enggan bercekcok ria bersama suami dan mertuanya. Dia lebih memilih diam walaupun air mata mengalir deras dan hati bak ditikam pisau. Jarang aku lihat ibu teriak-teriak melampiaskan kemarahannya pada ayah atau membicarakan kebenciannya pada ibu mertuanya. Sama sekali tidak pernah aku lihat. Barangkali dia juga dikaruniai bakat menyembunyikan perasaan sehingga sulit terdeteksi oleh anak-anaknya, suaminya, orangtuanya dan bahkan mertuanya.

Sosok ibu yang lemah lembut dan tidak banyak tingkah itu jangan dikira akan meredam naluri kelelakian ayah untuk tidak mencari perempuan lain di luar ranjang pernikahan. Salah besar jika ada paham seperti itu. Sebab yang aku lihat adalah yang sebaliknya. Ibu yang 24 jam melayani anak-anaknya, suaminya dan mertuanya itu harus menerima kenyataan bahwa suaminya lebih banyak menghabiskan waktu dalam pelukan perempuan lain. Ibu sudah tahu hal ini sejak lama, tapi tidak ada tanda-tanda serangan balik dari ibu. Setiap ayah pulang malam, ibu sudah berjaga di ruang tamu. Dia membukakan pintu bagi ayah, membimbing ayah ke kamar, menyiapkan air hangat untuk ayah mandi, menyiapkan pakaian ganti untuk ayah, menyiapkan makanan jika ayah lapar dan kadangkala masih harus melayani ayah walaupun ibu tahu bahwa sekujur tubuh ayah sudah dipenuhi aroma perempuan lain. Tapi dasar ibu, dia tetap mau melayani ayah apapun kondisi ayah dan bagaimanapun kondisi ibu.

Tak jarang di malam-malam itu aku mendengar isak tangis ibu di ruang tengah. Ayah dan ibu sering bertengkar, dan aku saksi yang tak pernah mereka sadari. Biasanya mereka akan bertengkar seputar kecemburuan ayah pada ibu. Selalu soal itu. Tapi tak pernah ibu menggugat ayah atas perselingkuhan yang dilakukan ayah. Ibu hanya diam setiap ayah menamparnya dan menghujaninya dengan tuduhan dan makian. Setiap malam, drama kekerasan dan kepatuhan yang ku saksikan. Jauh sebelum sinetron menjajah mental bangsa ini, aku sudah menyaksikan drama kehidupan riil yang menguncang batin.

Entah sudah berapa puluh perempuan yang singgah di tubuh ayah, hanya ayah dan ibu yang tahu. Tapi sekali lagi keluh ibu tak pernah keluar. Sampai suatu ketika aku sudah dewasa dan ayah sudah lama meninggalkan dunia, aku bertanya setengah menuduh, “Ibu ini bodoh. Kok mau-maunya setia dan patuh sama lelaki macam ayah yang brengsek!” Ibu tersenyum dan menjawab, “Ya mungkin saja bagimu ibu ini jenis perempuan bodoh. Perempuan bodoh yang masih mau melayani suaminya yang sudah jelas-jelas tidur dengan banyak perempuan. Apa daya nak, ibu mencintainya…ibu sudah melahirkan anak-anak dari dia…maka ibu harus mengabdi seumur hidup ibu pada dia. Tidak ada pilihan.”

Astaga! Perempuan macam apa yang sudah melahirkan dan menyusi aku ini. Haduh Gusti, ketaatan apa yang sedang dipresentasikan. Aku benar-benar kesulitan memahami kepatuhan luar biasa dari ibu. Benar-benar tipikal perempuan yang melihat dirinya sebagai hamba bagi lelaki. Aku tidak bisa mengerti. Tidak, aku tidak bisa. Bagiku ibu membiarkan dirinya…tubuhnya dipenjara oleh ayah yang dominan dan mendominasi nasib ibu sehingga ibu menganggap tidak lagi ada pilihan. Aku benar-benar tidak tahu harus salut atau bertelut melihat perempuan renta di depanku ini.

Sangat kontras dibandingkan dengan Tante Lastri yang kelewat revolusioner dengan keputusannya, ibu ibarat perempuan yang setia mempraktekan prinsip 3 M ala Jawa, Macak, Masak, Manak dimana areal hidup ibu di seputar Sumur, Dapur dan Kasur! Aku benar-benar heran melihat masih ada perempuan yang rela digampar, ikhlas diselingkuhi, rela berbagi suami dengan sembarang perempuan semata-mata karena doktrin patriaki bahwa perempuan diciptakan untuk mengabdi pada lelaki. Amit-amit!!! Walaupun ibu mengatasnamakan cinta sebagai motif dari sikapnya yang taat itu, tetap aku yakin hakul yakin kalau ibuku ini memang menghalalkan sistem patriaki yang mewujud dalam diri ayahku.

Di satu sisi aku memang mencemooh kepatuhan tolol yang dipentaskan ibuku dalam panggung rumah tangganya, namun di satu sisi aku salut. Salut karena aku sendiri tak akan sanggup taat pada lelaki yang hanya memanfaatkan tubuhku untuk kepuasaannya sendiri. Aku salut pada ibu yang bertahan demi kami anak-anaknya. Tetapi ke-salutannku ini bukan berarti aku permisif. Aku tetap tidak setuju dengan sikap taat yang dipraktekkan ibu kepada suami yang tidak memperlakukan dia dalam relasi yang egaliter. Dan aku yakin ibu ku hanya salah satu dari sekian ratus juta perempuan di luar sana yang bersikap taat, patuh dan penuh pengabdian pada suami yang bejat sekalipun.

Ingatan tentang Ibu mau tidak mau membawaku pada cerita-cerita tentang seorang perempuan yang melahirkan ibu. Perempuan yang dikemudian hari aku panggil nenek sampai akhir hayatnya. Awalnya aku tidak tahu apa-apa tentang perempuan tua renta yang ku panggil nenek itu, namun cerita yang disampaikan oleh ibu membantuku mengenali sosok perempuan yang ku sapa nenek.

Nenek

Namanya Ratihna. Perempuan berperawakan kecil dengan kulit putih padahal dalam darahnya hanya ada darah Jawa ini lahir dan menjalani sebagian besar tahun-tahun umurnya di Kota Pahlawan. Konon, sejak dia masih gadis, dia sudah diusir oleh keluarganya karena dianggap “binal”. Kebinalannya inilah yang masih menyimpan tanda tanya di benak ibu. Dugaan ibu, dia dianggap binal karena sejak masih gadis sudah punya bakat gonta-ganti lelaki bahkan sampai hamil di luar nikah. Oleh sebab itu dia diusir dari rumah dan mulai menyewa sepetak rumah yang hanya terdiri dari satu ruangan dan satu kamar mandi. Di sana dia mengalami keguguran, begitupun tak seorang sanak keluarga yang mendatanginya. Dia bak lenyap di depan mata keluarganya. Tak lama setelah melewati masa keguguran itu dia kembali ke gaya hidupnya yang lama. Gaya hidup lama yang aku maksudkan adalah dia suka bepergian dan bersenang-senang dengan teman-temannya.

Gaya hidupnya yang lama ini membawa dia bertemu dengan lelaki berdarah Tionghoa dan menikah dengannya. Bertahun-tahun menikah dengan lelaki ini, nenek dikarunia dua orang anak lelaki. Yang pertama berusia dua tahun waktu nenek meninggalkan lelaki berdarah Tionghoa yang hingga kini tak ku ketahui namanya. Nenek meninggalakan lelaki itu karena lelaki itu gila. Entah gila yang seperti apa aku dan ibu tidak pernah mendapat penjelasan yang lebih detail dari nenek, seolah dia hendak menutup cerita itu. Saat nenek meninggalkan lelaki itu dia membawa serta anak lelakinya yang nomor dua yang berusia 8 bulan. Alih-alih diasuh, anak berusia 8 bulan itu dititipkan nenek pada adik perempuannya dan tidak pernah ditengoknya. Tak lama kemudian datanglah kabar yang menyatakan bahwa anak lelaki yang dia tinggalkan bersama suaminya yang gila itu sudah meninggal dunia karena sakit tifus. Nenek pun tidak menjenguk apalagi menangisi anak yang dia lahirkan susah payah itu meninggal. Dia diam tanpa ekspresi. Sedang dalam waktu itu nenek kembali lagi dalam pergaulan bebasnya pada masa itu dan tiba-tiba saja dia sudah ditemukan dalam keadaan hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan yang menjadi ibu ku. Sampai detik ini nenek masih merahasiakan siapa lelaki yang sudah turut serta membentuk bayi perempuan itu. Nenek hanya bilang kalau lelaki itu orang Tionghoa peranakan yang sudah lama tinggal di Kota Pahlawan. Tapi sulitlah bagi ibu atau bagi ku untuk melacak keberadaan ayah dari ibuku karena nyaris tak ada satupun benda-benda yang mampu membawa kami untuk berjumpa dengan lelaki yang menjadi ayah dari ibuku. Kenangan tentang lelaki itu hanya ada di kepala nenekku yang sekarang sudah berkalang tanah.

Ketika ibu lahir, nenek kembali lagi pada pergaulan bebasnya dengan teman-temannya dulu. Dia tidak pernah mempedulikan ibu. Sehingga sejak kecil ibu terbiasa mencari makan sendiri, membeli buku dan seragam sendiri. Nenek pergi pagi-pagi sekali bersama teman-temannya sementara ibu masih lelap. Selama bertahun-tahun itulah yang terjadi. Nenek tidak pernah tahu dan mau tahu dengan apa yang dialami oleh ibu, yang dia tahu dia bahagia dengan pilihan hidupnya yaitu bersenang-senang dengan teman-temannya. Bahkan ketika ibu memutuskan untuk menerima lamaran ayahku, dia juga tidak peduli.

Aku sering melihat ekspresi kecewa tatkala ibu berkisah tentang ibunya yang sudah wafat itu. Ibu sering berkata lirih, “Aku, aku tidak pernah memohon untuk dilahirkan dari rahimmu. Aku tidak punya pilihan untuk itu. Aku juga tidak pernah meminta dirimu menjadi ibuku. Aku tidak pernah benar-benar mengerti dan mengenali ibuku. Jika kau tidak menghendaki aku lahir, mengapa kau lahirkan aku untuk kau tidak pedulikan?” namun sampai nenek meregang nyawa,ibu masih tidak tahu siapa ayahnya.

Kadangkala aku bingung melihat narasi tentang nenek yang dituturkan oleh ibu sebagai satu-satunya saksi hidup tentang nenek yang aku kenal. Aku bingung dengan apa yang ada di dalam batok kepalanya. Mengapa dia lebih memilih hidup bebas merdeka ala generasi gypsi. Tetapi di satu sisi, nenek telah menjadi simbol kebebasan bagi ku. Bebas dalam arti dia berani menentukan jalan hidupnya sendiri walaupun itu merugikan orang lain, bebas yang kebablasan juga tidak baik. Nenek lahir sebagai perempuan yang mengendalikan hidupnya sendiri dan meyakini langkah-langkah yang dia buat demi mencapai tujuannya-walaupun aku tak tahu apa tujuannya itu, apakah kebahagiaan, entahlah. Dan langkah-langkah yang dia buat sudah mencetak parut yang dalam di diri keluarganya, suaminya, anak lelakinya yang meninggal, lelaki tionghoa yang menjadi ayah dari ibuku dan juga ibuku. Tapi dia tetap melangkah. Sekali lagi aku yang lahir sebagai perempuan tidak tahu harus berkata apa…memuji atau mencaci.

Tok!tok!tok!

Kenanganku buyar dengan tiga ketukan di pintu kantorku. “Masuk.”

“Bu Agni, apakah editorialnya sudah selesai?”

“Sudah. Silahkan dibawa.”

“Terimakasih bu.”

Hah, segelas kopi, alunan lembut jazz dan setangkup kenangan akan perempuan-perempuan yang pernah berlintas jalan denganku membuatku merenung. Betapa perempuan-perempuan ini hidup dalam penjara patriaki. Ada yang berusaha menerobosnya sehingga menjadi sosok kontroversial, walaupun pada akhirnya menjelma menjadi sebentuk ambivalensi. Ada yang tidak mau menerobos tetapi memilih untuk bertahan saja dengan kondisi penjara patriaki yang mengekang kebebasannya sebagai perempuan yang berkuasa atas jalan hidupnya dan atas tubuhnya sendiri. Sungguh, tarik menarik di ranah itu seolah tak lekang oleh gerusan jaman dan pemikiran. Bukan berarti tidak ada sosok perempuan yang memperjuangkan suara perempuan, ada. Tetapi tokh rupanya perempuan kita ini sudah lama hidup di dalam penjara patriaki. Sehingga bagi perempuan sendiri kadangkala memandang sinis para perempuan yang menyuarakan nasib kaumnya. Aneh? Menurutmu ini aneh? Ini sudah lumrah kawan! Perempuan-perempuan semacam itu sudah terlanjur nyaman di dalam penjara patriaki, sehingga sulit melihat bahwa dirinya sudah dijajah berabad-abad oleh dominasi lelaki. Berhadapan dengan perempuan-perempuan yang terlanjur nyaman dan aman di dalam penjara patriaki jauh lebih sulit ketimbang berhadapan dengan lelaki yang patriaki sekalipun.Naas, hanya itu yang dapat ku katakan untuk mereka.

Dengan latar belakang seperti itulah aku tumbuh sebagai perempuan. Perempuan yang pada akhirnya mampu berdamai dengan parut masa lalu, berdamai dengan kodrat ke-perempuananku serta kritis melihat nasib perempuan di sekitarku. Sungguh tidak mudah, benturan-benturan pemikiran akan selalu menggelayuti langkahku…suaraku dan perjuanganku. Jika sekarang aku duduk di perusahaan majalah fashion ternama, dan bergulat dengan hidup perempuan, aku jadikan ini mercu suar yang menerangi perempuan…yang menyuarakan perempuan. Semua demi perempuan….




Yohana Defrita Rufikasari

Awal September 2010

Banyuurip