Selasa, 20 Juli 2010

CINTA


Cinta mempunyai mata yang sangat baik, ia mampu melihat keindahan yang tidak dilihat oleh orang lain, mampu melihat kemampuan yang tidak dilihat orang lain. CINTA bukan nafsu.

Ia mempunyai telinga yang sangat baik, ia mampu mendengar apa yang tidak didengar oleh orang lain ...

TERIMAKASIH


Kepada mereka yang meninggalkanku seorang diri,

tanpa kalian aku tidak akan pernah menemukan diri…

Kepada mereka yang mencelaku,

tanpa kalian aku tidak pernah memperbaiki kesalahanku.

Kepada mereka yang menghakimiku,

dari kalian aku belajar untuk tidak melihat penampilan dari luar saja

Kepada mereka yang menganggap aku tak berdaya,

dari kalian aku bisa belajar untuk berharap kepada Tuhan saja

Kepada mereka yang melecehkanku,

dari kalian aku belajar menghargai orang lain

Kepada mereka yang menjatuhkanku,

karena kalian aku belajar berdiri kembali dari jatuh

Kepada mereka yang mengkhianatiku,

karena kalian aku belajar mengenal saudara dan sahabat

Kepada mereka yang mentertawakanku,

tanpa kalian aku tak akan pernah terpaksa mengintrospeksi diri

Kepada mereka yang menyakitiku,

tanpa kalian aku takkan pernah belajar mengampuni

Kepada mereka yang telah mengecewakanku,

tanpa kalian aku takkan pernah belajar memahami orang lain

Kepada mereka yang berpikir bahwa aku tidak dapat melakukan sesuatu,

tanpa kalian aku takkan pernah terdorong untuk mencoba melakukannya dan berjuang untuk mampu melakukannya

terimakasih….

My Spritual Journey to Find The Peace Inside of Myself (Sabtu, 17 Juli 2010 di Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Yogyakarta)

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Ku pasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Ku pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan”

Matius 11:28-30


Setiap orang siapapun dia pasti suatu ketika mengalami kelelahan. Bukan hanya perkara kelelahan fisik yang dapat dipulihkan dengan beristirahat, namun kelelahan jiwa. Jiwa yang lelah karena sudah menempuh banyak peristiwa dan babakan kehidupan. Dan tak terkecuali saya yang juga sedang mengalami kelelahan jiwa. Sungguh bukan sebuah kebetulan dari milyaran kemungkinan bahwa saya memilih mengunjungi Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran untuk beristirahat sejenak. Ada peristiwa atau suasana yang saya alami yaitu kelelahan jiwa yang mendorong saya menghampiri tempat ini. Bukan sekedar sebuah perjalanan dari Yogya ke Ganjuran, namun ini sebuah perjalanan ke dalam diri saya sendiri. Perjalanan yang membawa saya untuk menjumpai situasi rasa yang saya alami yaitu merasa penuh namun kosong, dan demikian sebaliknya. Saya merasa penuh dengan rencana dan segala macam pikiran yang sesak sekaligus saya merasa kosong melompong. Situasi yang benar-benar sulit dijelaskan.

Saya melihat dan menyadari bahwa situasi semacam itu terjadi karena keletihan mengayunkan langkah tanpa pernah sedetikpun berhenti dan menimba air kehidupan. Saya sudah lelah!!! Saya letih!!! Saya capek dengan segala hal yang datang, yang terlewat, yang pergi…dengan apapun juga yang terjadi dalam lintasan hidup saya saat ini!!! Tidak, saya tidak hendak menyalahkan orang lain atau Tuhan untuk momen yang saya alami sekarang. Saya yang salah, seharusnya saya lebih bertanggungjawab dalam melakonkan peran sebagai diri saya di muka bumi ini. Artinya, saya yang harus bertanggungjawab atas semua pilihan-pilihan yang saya buat dalam hidup ini. Termasuk pilihan bahwa saya sudah menempuh puluhan atau ratusan kilometer namun memilih tidak berhenti sejenak dan mereguk segarnya air kehidupan. Saya tolol? Ya, saya memang orang yang tolol! Jiwa sudah letih tetapi saya mengabaikan Sang Hidup yang terus menerus mengundang, ““Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Saya mengabaikan undanganNya untuk berhenti sebentar dan menerima seteguk air yang membasuh letihnya jiwa yang akan memampukan saya menempuh ribuan mil berikutnya.

Duduk di deretan bangku-bangku kosong di depan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus menjadi begitu berbeda dengan kunjungan saya sebelumnya. Hati saya tergetar tatkala menerima undanganNya dan berhadapan dengan Dia yang selalu menawarkan air kehidupan pelepas letih lesu namun sering saya abaikan. Saya pun di sini berhenti sejenak, mereguk air kehidupan itu dan berbincang dengan Dia. Ada perasaan malu dan merasa tidak layak saat bertemu dan menerima segelas air dari-Nya, namun tokh rasa malu itu terpatahkan dengan fakta bahwa saya membutuhkan damai yang menjelma ketenangan dalam jiwa saya. Sayup-sayup hati saya bernyanyi,

Hanya dalam Tuhan jiwaku tenang

Damai dalam Tuhan.

Hanya Tuhanlah sumber pengharapan

Damai dan tenang.

Dinding hati saya terus menggemakan doa permohonan damai sejahtera dari Sang Damai, Tuhan Yesus Kristus. Dan kesadaran akan damai itu memenuhi setiap celah jiwa saya. Betapa jiwa ini memerlukan damai yang memampukan saya melewati berbagai pasang surut peristiwa hidup. Air mata yang mengalir menemani senandung hati melompat tak terbendung, betapa saya merindukan kesegaran dan ketenangan semacam ini. Saya perlu belajar dari Dia yang taat menyediakan diri disapa dan menyapa Sang Hidup dalam peristiwa sesehari. Persoalan sapa dan menyapa ini menjadi begitu penting sebab jiwa yang mau beristirahat sejenak dan mereguk segarnya air hidup dan berkenan disapa dan menyapa dengan Sang Hidup akan mampu menanggung beban apapun yang disodorkan dalam peziarahan hidup, seperti yang pernah dikatakan Tuhan Yesus, “Pikullah kuk yang Ku pasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Memikul beban kita sehari-hari ternyata tidak akan membuat kita lelah jika selalu ada waktu untuk berhenti sejenak, menikmati segarnya air hidup dan belajar dari-Nya. Namun ini bukan hal yang mudah. Contohnya saja saya, alih-alih menyediakan waktu untuk melakukan apa yang dibutuhkan jiwa saya, saya malah asyik tenggelam dan hanyut dalam pelbagai rutinitas dan perkara-perkara lain yang semakin meletihkan jiwa. Dan pada suatu titik tertentu, jiwa ini sudah sampai pada batasannya menanggung segenap keletihan dan kelelahan hebat. Tetapi pertanyaannya, apakah selalu menunggu tiba pada moment itu untuk mau menyediakan diri disapa dan menyapa oleh Sang Hidup?

Bukan hanya saya seorang yang sedang terpekur di sini, ada banyak orang lain yang datang untuk memanjatkan doa dan mengambil air di Candi Hati Kudus Tuhan Yesus. Terlepas dari berbagai macam motivasi mereka datang ke tempat ini, ada satu hal yang saya pikir menyatukan kita semua yaitu kita sama-sama lelah dengan apa saja yang kita miliki. Saya dan mereka yang ada di sini sama-sama berhenti sejenak untuk mereguk segar dan beningnya air pengharapan dan belas kasih dari Dia yang menyembuhkan letihnya jiwa dan menyalakan api di atas abu keputusasaan. Dan dalam semua itu, saya dan Anda, kita semua perlu berhenti sejenak, mereguk airNya, dan berbincang-bincang denganNya seperti perempuan Samaria yang mengalami transformasi lewat perjumpaannya dengan Dia di pinggir sumur. Kita tidak perlu terburu-buru dalam mengayun langkah sehingga mengabaikan keletihan jiwa yang memerlukan tempat beristirahat sejenak. Jiwa yang letih, memerlukan kelegaan yang hanya dapat diberikan oleh Sang Hidup. Setelah jiwa ini lega, damai, dan tenang maka barulah kita dapat mengatakan, “Kuk yang harus dipasang pada kita itu enak dan beban yang harus kita tanggung itu ringan”.

Gusti Mberkahi.

Oleh:

Yohana Defrita Rufikasari

(Terimakasih yang terdalam untuk teman peziarahan saya, Abdismar Cordius Zandroto yang sudah berkenan menyediakan diri menemani saya dan mendengarkan jiwa saya, Gusti Yesus tansah mberkahi uripmu).

Jumat, 16 Juli 2010

DENGAN PEDIH DARI PALESTINA…

Berderak-derak langkah dan barang diseret. Sebetulnya bukan hanya langkah kaku dan barang beku yang diseret, tapi seonggok kehidupan yang diseret-seret tanpa arah. Dari satu tempat pengungsian ke tempat lain hanya untuk bertemu aman yang sementara. Hari-hari berlalu tanpa perbedaan. Jangan tanyakan hari ini atau hari kemarin pada orang-orang Palestina. Tidak ada bedanya. Setiap hari entah itu Senin, entah itu Jum’at pembantaian terus terjadi. Pengrusakan terus digulirkan. Memandang nanar dan pilu pada rumah batu tempat berteduh hancur lumat ditelan buldozer dalam hitungan menit. dan terus demikian dari satu rumah ke rumah lain. Tidak ada permisi atau pilihan, dan memang orang-orang Palestina hidup tanpa banyak pilihan dan tidak dapat memilih. Kaca-kaca berhamburan, barang-barang yang dikumpulkan dengan susah payah di negeri yang tak bersahabat itu hanya menjadi sebaris kenangan yang terukir dalam jiwa bocah-bocah lugu Palestina. Entah apa yang bisa mereka kenang dan petik dari peristiwa pedih yang menyayat sukma. Barangkali mereka akan belajar arti kata “sementara”. Sama seperti yang disenandungkan para ibu pada malam-malam mencekam di bawah guyuran tembakan brutal Israel.

Pagi hari, para lelaki dikumpulkan dalam satu tempat dan digeledah dengan paksa hanya mencari teroris, begitu kata militer Israel. Teroris seperti apa? Kata siapa ada teroris di sana? Tidak ada jawaban. Dan para lelaki itupun meregang nyawa tanpa sempat berpelukan dengan anak dan istri atau mengucapkan kalimat doa. Sungguh hidup orang Palestina tidak akrab dengan pilih memilih. Isak tangis anak, para perempuan, dan para lelaki yang masih bisa bernafas walau tersengal mewarnai hari demi hari di Palestina. Memandang penuh harap bahwa pertolongan akan datang segera. Memandang langit biru, memandang rumah rata dengan tanah…sambil menghayati arti kata “sementara”. Di belahan bumi yang lain, orang-orang tetap melaksanakan aktivitasnya. Sibuk membangun hidupnya sendiri. Hanyut dalam putaran waktu dan hingar-bingar hiburan. Telinga mereka tersumbat tak mampu mendengar kebrutalan militer Israel menghabisi banyak keluarga. Mata mereka tak mampu memandang wajah-wajah penuh harap di Palestina.

Lihat, coba lihat, tak satupun begawan dari semua negeri berani bersuara keras dan tegas membela kemanusiaan orang-orang Palestina. Semua diam, semua bungkam. Seolah apa yang terjadi di Palestina hanyalah kericuhan kecil yang terjadi di pojok gudang rumahmu. Ujung tombak penyambung suara mereka di Palestina ternyata mampu dibelokkan dan diolah oleh berbagai kepentingan. Sungguh berita duka yang mampu membuat hati terkoyak ternyata hanya menjadi bahan obrolan selama seminggu. Orang-orang lebih suka berbicara tentang urusan ranjang para selebritis yang sudah kadung tersebar. Orang-orang memang lebih suka segala urusan di antara kedua paha ketimbang berembuk membela kemanusiaan Palestina.

Dunia macam apa ini? dunia seperti apa yang sedang aku dan engkau diami? Dunia seperti inikah yang kita ciptakan untuk anak dan cucu? Mereka akan meradang dan menendang karena tak pernah diberi kesempatan untuk memilih dilahirkan di dunia yang brutal. Pedih hati ini melihat para begawan yang terhormat pikiran dan tutur katanya itu mendadak bisu, tuli dan lumpuh dari ujung kaki sampai ubun-ubun tatkala sepiring keluh-kesah nyata orang-orang Palestina disodorkan sebagai menu mereka. Kegeraman mewarnai nurani anak pertiwi. Demo digelar dengan acara tetap yaitu membakar bendera Israel, dan bahkan ada yang kelewat tolol sampai memboikot satu gerai makanan cepat saji asal Amerika. Sungguh malang betul intelktualitas orang berjas almamater ini. Demo semacam ini pun Cuma bertahan satu minggu. Wahai saudara-saudariku di Palestina, inilah rupa dunia. Rupa dunia kita yang mudah melupakan tangisanmu.

Ditingkah kebisuan dan keberangan manusia berjas almamater, seorang perempuan berusia 23 tahun asal Amerika pergi ke Palesitina. Di saat para begawan itu diam tak berkutik, dia justru mengirimkan dirinya pada medan pembantaian dimana manusia tak lebih dari sekedar debu yang diterbangkan angin sore. Namanya Rachel Corrie. Dia jengah dan resah dengan kebiadaban militer Israel dan kebisuan para begawan itu. Dia memilih takdirnya pada hari minggu 16 Maret 2010. Dia memberikan dirinya menjadi tameng bagi sebuah keluarga Palestina yang akan dihancurkan rumahnya. Jaket oranye menyala yang dia pakai tak jua membuat sopir buldozer itu membelokan atau menghentikan buldozernya. Bunyi kertak remuk rangka Rachel Corrie adalah hal yang paling memilukan hati. Seorang perempuan berusia 23 tahun yang dengan tegas menyatakan posisinya. Dengan tegas menyatakan keberpihakannya pada mereka yang tertindas. Sungguh Rachel adalah manusia yang menggunakan hak pilih nuraninya. Syahdan, berita kematian perempuan muda ini hanya diliput sesaat di media cetak dan elektronik. Jangan berharap ada pawai dukacita atau protes di negara Rachel, yang ada CNN dan banyak orang Amerika menyalahkan sikap Rachel yang diberi label tolol. Sudah meninggal masih pula dipersalahkan, itulah guratan nasib Rachel. Dia dinilai salah karena berdiri di posisi yang salah. Dan sungguh tak ada yang menuntut kematiannya. Semua kembali diam…semua kembali bungkam dalam saat hening panjang yang memilukan karena disana, saudara-saudari kita orang-orang Palestina sedang meregang nyawa….

Yogyakarta, 14 juni 2010

Yohana Defrita Rufikasari